"Maafkan saya, Bary."
Rania, yang entah dari mana datangnya, tetapi tiba-tiba pula ia sudah berada di belakangku. Aku sedikit terkejut, tetapi pikiran kosong lebih dominan dalam diriku. Aku tak menghiraukan Rania, padahal aku tahu ia terus saja memelaskan kata maaf yang ia sertakan dengan elusan di punggungku.
Pada suatu kesempatan, ia memintaku untuk berlapang dada. Mungkinkah? Mungkinkah rasa pilu yang tertancap ini akan dapat sirna dengan sebegitu cepatnya?
Sukar!
Tanpa menghiraukan Rania, aku kembali pada jasad bayi kami. Kusentuh ubun-ubunnya, lalu berpindah ke bagian yang lain, ke seputaran dada.
"Ya, Tuhan! Ini?" gumamku dalam hati.
Saat menyentuh bagian dada, jariku terperosok, sekonyong-konyong tidak ada lagi isi di balik dada bayi ini. Demi lebih meyakinkan, kembali kuraih teplok, lalu mendekatkannya ke jasadnya.
"Tidak salah lagi, ini pasti ulahnya. Tunggu kau!?" batinku penuh amarah.
Berpenerangkan cahaya teplok, di dadanya, tampak beberapa jejak lebam berwarna kemerahan seukuran uang logam.
Sudah menjadi rahasia umum jika yang mampu melakukan hal seperti ini dalam waktu singkat hanyalah makhluk jadi-jadian, yang di tanah ini menamainya Wurake.
"Tidurlah dengan tenang, Nak. Maafkan kelalaian bapakmu yang tidak berguna ini," sesalku dalam hati.
Puas menerawangi sembari menyesali ketidakbecusan dalam menjaga putraku sendiri, aku bangkit dari dudukku, berancang-ancang untuk beranjak menuju beranda belakang.
Sebelum berlalu, aku sempat beradu pandang dengan Rania yang duduk meringkuk di pojokan kamar.
Ada apa dengan Rania?
Sekilas pandang, seperti ada pendar cahaya api di dalam bola mata perempuan yang aku ninikahi satu setengah tahunan silam ini.
Merinding! Bulu kudukku sampai berdiri saat coba menantang tatapannya.
Sejenak, sempat terlintas pikiran aneh di dalam diriku. Akan tetapi, buru-buru pula aku menepis.
"Tidak! Tidak mungkin. Ini pasti hanya pikiranku saja," batinku sembari buru-buru beredar.
Nyaris semalam suntuk aku berpekur di beranda belakang. Bermacam prasangka berkecamuk dalam pikiranku. Bayang-bayang kematian putra kami, yang pagi ini seharusnya genap berusia tujuh hari, telah meraja di minda ini. Karenanya, aku tidak dapat memejamkan mata walau barang sekejap pun juga. Itu berlangsung hingga fajar menyingsing.
Malam telah berganti siang.
Dari mulut ke mulut, berita kematian bayi kami tampaknya telah beredar dengan sebegitu cepatnya. Ini bisa terlihat bagaimana hanya dalam hitungan jam, kabarnya sudah menyebar hingga ke desa tetangga. Entahlah jika desa tempat tinggal kami ini hanyalah sebuah desa kecil dengan penghuni kurang dari tiga ratusan Kepala Keluarga.
Entahlah pula jika ini adalah hal yang wajar bila ada berita apa pun, terlebih itu sesuatu yang dianggap tidak wajar, akan sesegera itu juga diketahui oleh penduduk setempat.
Akan tetapi, yang jelas, yang datang melayat di pagi ini, sebagiannya berasal dari desa sebelah.
Sekira pukul delapan pagi, para pelayat mulai berdatangan untuk menyampaikan belasungkawa. Semakin ke sini, semakin ramai.
Berhubung ada satu kebiasaan yang mungkin tidak lazim di daerah lain, tetapi menjadi seakan-akan wajib di kampung ini, yaitu tidak ada proses pemakaman jenazah di siang hari, dan hanya boleh dimakamkan di malam hari jika tidak ingin mendapatkan sesuatu yang sial, kononnya begitu, maka kami pun punya cukup banyak waktu untuk bertutur sapa.
Para pelayat, usai menyampaikan ucapan belasungkawa, ada beberapa di antaranya bertanya tentang bagaimana proses kematian bayi kami. Selain itu, ada juga yang menyinggung tentang kondisi Rania.
Kenapa Rania tidak keliatan? Di mana dia?
Usai mendapatkan pertanyaan yang berulang-ulang itu, barulah aku tersadar, jika Rania memang tidak terlihat sejak awal pagi tadi. Rania tidak keluar walau hanya sekadar untuk menemui para pelayat. Cemas, aku pun coba menemui Rania.
"Maaf, Bary! Tolong jangan ganggu saya!"
Kembali aku terpana dengan perubahan sikap dan keadaan Rania. Ucapannya, bisa kumaklumi. Siapapun pasti akan butuh ketenangan pasca kondisi seperti yang dialami oleh Rania. Seharusnya, aku pun demikian.
Akan tetapi, sorot mata yang tersembul di antara helaian rambut yang menutupi sebagian wajah Rania kala ia menatap, pagi ini, benar-benar membuat bulu romaku berdiri hebat. Bola mata itu seperti benar-benar mengeluarkan nyala api membara.
Ya, Tuhan, ada apa denganmu, Rania?
Gentar! Aku kian gentar bersitatap dengan Rania. Karenanya, kembali pikiran yang tidak-tidak merasuki otakku.
"Tapi tidak mungkin! Tidak mungkin!"
Kembali aku membatinkan kalimat senada demi meyakinkan diri bahwa Rania tidaklah seperti yang terlintas dalam benakku.
Seharian penuh Rania tidak beranjak dari kamar walau barang sedetik pun juga. Bahkan, ia tidak ikut pada prosesi pemandian jenazah. Rania juga tidak turut serta ke pemakaman.
Karenanya, sepanjang hari pula aku terpaksa mengarang jawaban sekenanya jika ada pelayat yang bertanya perihal dia.
: Rania lagi tidak enak badan. Maklum orang yang belum lama habis melahirkan. Demikian sedikit jawaban yang aku karang sendiri demi menjaga kehormatan Rania.
TIGA hari berselang setelah kematian putra kami, bertepatan dengan hari Kamis, siang hari sepulang sekolah.
Seorang anak lelaki, siswa Sekolah Lanjutan Pertama, dikabarkan, pagi saat berangkat ke sekolah, anak tersebut berangkat dalam keadaan segar-bugar tanpa ada keluhan sedikitpun. Namun, ketika pulang dari sekolah, setiba di rumah, anak tersebut langsung jatuh sakit.
Di rumah, hanya berselang sekira satu jam, usai mulut anak tersebut mengeluarkan busa, lendir, hingga yang tidak masuk akal, pada busa tersebut terdapat belatung dalam jumlah yang cukup banyak, pada akhirnya anak tersebut mengembuskan napas terakhirnya.
Sebelum ajalnya, nenek dari anak yatim-piatu yang malang itu, sempat bertanya perihal apa yang dilakukan cucunya dari pergi hingga pulang sekolah, termasuk dalam perjalanan sebelum mencapai rumah.
Si cucu menjawab, ia tidak melakukan apa-apa. Katanya, ia hanya melakukan aktivitas sebagaimana biasa di setiap harinya. Masih kata si cucu, ada satu hal yang ia lakukan, tetapi apakah itu mungkin sebagai penyebab muntah-muntahnya?
"Saya hanya makan satu biji Jambu Air yang dikasi Mama Yohana."
Demikian pengakuan si nenek yang konon menirukan ucapan cucunya.
Spontan kejadian ini membuat gempar warga sekitar. Apalagi, telah sekian lama warga menaruh curiga kepada Mama Yohana, seseorang yang berprofesi sebagai Dukun Beranak di kampung ini.
Sore itu juga pihak keluarga korban menyiapkan segala keperluan untuk proses pemakaman jenazah. Tidak lagi menunggu usai waktu isya seperti biasanya. Usai waktu salat magrib, jenazah langsung dikebumikan.
Aku yang ikut hadir sejak proses pemandian hingga pemakaman jenazah, tanpa sengaja mendengar kasak-kusuk yang mengatakan, bahwa akan diadakan perburuan.
Ritual yang penuh resiko ini, konon akan dipimpin oleh seorang sepuh yang paling dituakan di kampung ini.
Tetua yang dimaksud adalah seorang Modin. Ia terkenal sakti mandraguna di kampung yang masih kental dengan laku perpaduan antara pagan dan agama.
Usai proses pemakaman, aku tidak langsung pulang ke rumah, tetapi lebih dulu mampir di rumah duka. Di sini, aku mendapati para Tetua tengah duduk berbincang dengan wajah tegang. Bapak Modin yang dimaksud tadi juga tampak ada di antara orang-orang yang berbincang.
Demi menyimak jalannya pembicaraan, aku pun berbaur dengan para laki-laki yang ada di rumah duka.
Sekira satu jam kemudian, pada akhirnya, aku pun tahu jika pukul 12 malam, malam ini juga perburuan dimaksud akan dilakukan. Oleh Bapak Modin, makhluk yang diduga adalah makhluk jadi-jadian tersebut, akan dipancing keluar dari sarangnya.
Informasi lainnya yang aku dapatkan, dikarenakan sudah berusia lanjut, Bapak Modin hanya akan memimpin mantra-mantra. Sedang untuk eksekusi, akan dilakukan oleh laki-laki dewasa. Demikian kesimpulan serta keputusan yang tercapai.
"Ini pasti seru," batinku. "Saya tidak boleh melewatkan ini. Siapa tau ini adalah kesempatan saya untuk balas dendam."