Pulang dari bekerja, Mayang langsung menuju ke mobilnya. Tanpa Mayang sadari hujan mulai turun. Terpaksa Mayang berlarian dengan menutupi kepalanya dengan menggunakan tas. Tergopoh-gopoh sampai-sampai bumi mau gempa. Bagaimana tidak! dada dan bokong Mayang yang aduhai juga ikut bergerak-gerak. Membuat semua lelaki menelan ludah dibuatnya.
Namun naas bagi Mayang, ketika akan memasuki mobil. Tiba-tiba pandangannya melihat ban depan bocor. Dia merutuk sesaat. kenapa bisa bocor padahal pagi tadi baik-baik saja.
Mayang mendecak kesal padahal dia seharusnya langsung menuju ke sekolahan Novi untuk menjemputnya. Malah terkena ban bocor seperti ini.
"Terus bagaimana ini bengkel jauh." Mayang kebingungan. Dia langsung menyebarkan pandangan. Melambai kepada sekuriti muda. yang kebetulan sedang berada di depan.
"Ada apa Bu?"
"Mas, tolong saya. Ban saya bocor."
"Bocor?"
Pemuda itu mengernyitkan dahi sambil melihat ke arah Ban yang ditunjuk Mayang. Dia yang sedari di depan tidak menyadari akan hal itu. Mungkin bocornya sewaktu berangkat kerja.
"Ibu ada dongkrak atau ban serep?"
Mayang mengingat-ingat sejenak. Selama ini kalau urusan mobil dia selalu membawanya ke bengkel. Dia hanyalah seorang wanita yang tidak mengerti apa-apa tentang otomotif. Biasanya Sapto yang mengurusnya. Tapi ini berhubung Sapto jauh, jadi terpaksa Mayang mengurusnya seorang diri.
"Sebentar saya check dulu, Pak."
Mayang bergegas ke belakang. Benar saja di sana sudah ada perlengkapan yang dikatakan oleh pemuda tadi.
"Ada semua, Pak."
"Bagus, terus alat-alatnya?"
Mayang seperti kebingungan. Jelas dia tidak punya alat yang dimaksud oleh pemuda itu.
"Tidak ada, Pak."
"Waduh, kalau seperti itu gimana bisa mencopot bannya." Pemuda it uterus berseloroh.
"Terus bagaimana Pak?"
"Gini aja Bu Mayang. Mobilnya serahkan kepada saya. Nanti saya panggil orang bengkel untuk menanganinya."
Mayang yang tidak punya pilihan lain terpaksa menurut. Dia sangat percaya dengan sekuriti itu tidak akan mungkin membawa kabur mobilnya. Selain terikat kontrak, juga alamat rumahnya sudah diketahui pihak kantor.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang yang menegurnya.
"Mobilnya kenapa, Bu?"
Mayang sedikit terperanjat langsung menoleh ke belakang. Terlihat pria jangkung yang ketika berdiri Mayang hanya sebatas lengannya. Pikiran Mayang langsung menjadi aneh. Membayangkan bagaimana kalau tubuh semampainya digendong oleh Stevan.
"Ini, Pak. Mobil saya bocor." Mayang berucap setelah menyerahkan kunci mobilnya kepada pemuda itu.
"Oh, kalau begitu bagaimana kalau saya antar Bu Mayang pulang?" Stevan menawarkan diri. Mungkin pria itu membatin rezeki nomplok ini.
"Tapi, kan rumah kita berlawanan arah, Pak." Maya berusaha menepis. Kalau bisa dia lebih baik naik bus saja untuk pulang ke rumah. Daripada dengan si buaya Stevan. Yang entah kenapa sejak kejadian di kamar mandi, Membuat Mayang basah kuyup. Bukan hanya bagian bawahnya. Juga dadanya seolah rindu ingin disedot oleh Stevan lagi.
"Itu bukan menjadi masalah, Bu. Mau kemana saja. saya bersedia mengantarnya."
"Sudah, Bu. Mending Ibu terima ajakan Pak Stevan. Enggak baik kalau menolak kebaikan orang." Pemuda itu mendukung. Mayang seolah tidak punya pilihan lain selain ikut.
"Ayo Bu." Stevan mempersilakan. Mayang pun mengikuti ke mobil Stevan.
Fortuner dengan bodi besar memang sangat cocok dengan pribadi Stevan. Terlebih saat Mayang masuk ke dalamnya. Menguar segar aroma kopi yang menusuk hidung. Mayang sama sekali tidak pernah mencium bau itu dari Stevan. Mungkinkah itu hanya pengharum khusus mobil?
Stevan mulai menggerakan mobilnya. Membelah jalanan ibu kota yang sudah mulai padat. Pun hujan yang sudah tidak sederas tadi.
Mayang terus memandang ke depan. Meskipun dia tahu kalau Stevan beberapa kali sedang mencuri pandang ke arahnya. Seolah Ingin mengajaknya mengobrol, tapi Mayang cuek saja. Pikirannya ingin segara sampai ke rumah secepatnya.
"Bagaimana masih keluar ASI-nya Bu?"
Mayang langsung menoleh ke Stevan. Baru menyadari sesuatu kalau dalang dari ASI-nya yang terus keluar adalah Stevan. Gara-gara jamu yang Stevan berikan.
"Kamu kurang ajar ya? Menjebak saya dengan minuman itu?" Mayang berkata dengan nada meninggi. Bukannya merasa bersalah, Stevan malah terkekeh.
"Tapi enak kan Bu, disedot tadi?" Stevan menimpali dengan santai.
Wajah Mayang memanas. Dia tidak menampik kalau sempat menampilkan wajah erotis tadi. Sial betapa dia tidak bisa menahan diri karena rasa nikmat yang Stevan ciptakan. Gara-gara pria itu, dia merasakan kegatelan sekaligus nikmatnya sensasi disedot oleh pria lain.
"Akui saja, Bu. Saya tahu kalau suami anda jarang di rumah. Makanya anda kesepian kan. Sayang sekali kalau tubuh seksi seperti itu terus dianggurin."
Mayang mengeratkan rahangnya. Kenapa sih, banyak pria yang frontal sekali melecehkannya ketika suaminya tidak ada. Begitu rendahnya semua pria memandangnya seolah daging segar yang dibiarkan begitu saja. Namun menjadi rebutan banyak orang.
Dan lagi, dia tidak punya kata-kata yang bisa menampik perkataan itu karena memang itu adanya. Justru kalau dia menampik. Malah semakin beringas para buaya itu menggodanya. Membuatnya semakin tidak berdaya.
"Makanya, Bu. Jangan sok jual mahal. Apalagi menolak saya mentah-mentah. Nanti ada karmanya lho. Bu Mayang malah butuh saya terus setiap waktu."
"Bisa hentikan saja enggak mobilnya. Saya mau turun di sini saja!" Mayang berseru. Sejenak suasana hening karena Mayang yang menatapnya dengan tajam.
"Bu Mayang yakin mau turun di sini? Enggak di hotel saja?" Stevan tidak gentar menggoda.
Mayang hendak menghardik. Namun amarah yang menggebu memunculkan rasa gatal yang luar biasa itu lagi. Bagaimana dadanya mendadak mengencang dengan ujung yang mencuat. Mayang yakin kalau ASI kembali mengalir deras.
Stevan terkekeh. Sepertinya ramuan itu kembali bereaksi. Ramuan yang dia dapatkan dari tukang jamu kepercayaannya memang sangat manjur. Membuat Mayang menjadi tidak berdaya di dekatnya.
"Kenapa, Bu?" Stevan pura-pura bertanya.
Mayang yang sedang menyandarkan tubuhnya di jok sambil meringis. Sekilas melihat ke arah Stevan. Kata-kata makian yang hendak terlontar berganti menjadi kata-kata permohonan. Apalagi ASI mulai membasahi kemejanya.
"Pak, tolong bantu saya, Pak. Saya sudah tidak tahan lagi."
Stevan ingin bersorak dengan riang. Akhirnya setelah sekian lama, Mayang yang selama ini selalu menolaknya, sekarang terang-terangan memohon kepadanya. Apalagi memohon untuk menyedot ASI, siapa yang tidak mau coba.
"Sebentar, Bu. Saya cari tempat yang paling aman." Stevan berkata dengan semangat. Dia terfokus ke depan sembari mencari kesempatan untuk terus menyalip. Mulutnya sudah gatal ingin merasakan Asi yang serasa strawberry itu.
Namun, mendadak Mayang meraih satu tangannya dan mendekatkannya ke dada yang bersembul itu. Awalnya Stevan terkejut, tapi lama kelamaan dia menikmatinya. Bongkahan yang mungkin berukuran 38 B cukup menawan dan enak kalau diremas. Walaupun tangannya tidak mampu menggenggam sepenuhnya.
"Bu, kok keluar banyak sekali?"
"Iya, Pak. Ini aja gatal sekali."
"Sabar ya, Bu. sebentar lagi sampai kok."
Mayang tidak mengetahui bahwa Stevan membawanya menuju sebuah hotel melati. Mayang yang sudah tidak memikirkan apapun asalkan rasa gatalnya hilang tidak peduli. Bahkan, dia pasrah saya saat Stevan membawanya menuju hotel tersebut.