Keesokan harinya,
Tidak seperti biasanya, pagi itu, Mayang masih tertutup selimut berbaring dia atas tempat tidurnya yang empuk dan nyaman.
Dia merasa badannya kurang fit setelah kejadian kemaren sore bersama preman durjana itu. Dia cukup syok akan kejadian itu, sampai sampai dia kepikiran semalam. Bagaimana kalau benih yang terlanjur ditanam menjadi kehidupan yang sempurna. Itu artinya dia telah melanggar ikatan suci pernikahan. Menodai kepercayaan suaminya.
'Tuhan, bagaimana kalau aku hamil.' Mayang terus meracau tidak karuan. Pikirannya panik berusaha mencari jalan keluar yang terbaik. Walau bagaimanapun dia tidak boleh hamil benih dari orang lain yang bukan suaminya. Dia harus cepat-cepat melakukan sesuatu supaya mencegah kehamilan ini.
Namun, dia berusaha supaya tidak overthinking. Untuk sementara, menghilangkan stressnya. Dia memaksimalkan libur yang hanya satu hari saja. Menenangkan pikirannya sebelum akhirnya bisa menghadapi masalah kembali.
Untuk keperluan Novi, dia juga sempat menyiapkan segala keperluannya, sarapan, bahkan mengantar Novi sampai depan pintu.
Matahari sudah semakin meninggi dan jarum jam dinding menunjukkan pukul sepuluh kurang lima belas menit ketika bel rumahnya berbunyi.
Mayang membuka matanya dan bangun dari tempat tidurnya, dia berusaha menyadarkan pikirannya yang masih belum kembali sepenuhnya.
"Siapa pagi-pagi bertamu?"
Mayang beranjak dari kasur dan berganti pakaian yang lebih sopan sebelum dia membuka pintu depan. Mayang lalu berjalan keluar kamar melewati ruang tengah untuk membukakan pintu bagi orang yang datang kerumahnya pagi itu.
'ting tong'
"iya sebentar," jawab Mayang setengah berteriak.
"Cklek." Mayang lalu membuka kunci pintu dan menarik gagangnya.
"Selamat pagi, Bu." Sesosok lelaki yang tidak lain adalah pak Marwan kepala sekolah tempat anaknya menuntut ilmu.
"Pak Marwan? Tumben pagi-pagi ini datang ke sini. Ada apa ya Pak? Oh, iya silakan masuk."
Mayang mempersilakan Marwan masuk. Dia berjalan terlebih dahulu dengan perasaan was-was. Biasanya kalau ada kepala sekolah datang, sang anak bermasalah. Tapi, mana mungkin anak sepintar Novi bermasalah?
Tanpa Mayang sadari, di belakangnya, Mata Marwan tidak lekat memandang postur tubuh belakang Mayang. Seksi dan cantik sekali. Membuatnya sampai menelan ludah. Namun, Dia tidak boleh gegabah walaupun sangat ingin.
'Benar-benar seksi, Bu Mayang.' Marwan tidak berhenti berdecak kagum.
"Silakan duduk, Pak."
"Oh, iya Bu. Makasih."
"Ada apa ya Pak? Kok tumben sekali datang ke rumah saya?" Mayang mengulangi pertanyaannya. Dia sudah tidak sabar mencecari tamunya dengan pertanyaan. Tanpa basa-basi.
"Jadi begini, Bu."
Marwan berubah menjadi serius, tangannya membuka map hijau yang sejak tadi dia bawa di tangannya.
"Ini soal, Anak Ibu."
Jantung Mayang langsung memompa dengan lebih cepat. Dia sudah menduganya kalau ini berkaitan dengan Novi. Tapi, kasus apa yang dilakukan anak itu sampai-sampai kepala sekolah datang ke rumahnya?
"Memangnya Novi kenapa Pak? Ada apa dengan anak saya?" Mayang mulai memasang wajah panik.
"Ini soal kasus anak ibu yang sengaja memberikan kunci jawaban kepada teman sekelas. Gara-gara anak ibu, semua siswa di kelas nilainya sama bagusnya semuanya."
Mayang tertegun. Dia baru tahu kalau ada kasus seperti itu. Dia tahu kalau anaknya memang sangat baik dan penurut. Mungkin atas desakan teman sekelasnya yang menganggapnya pandai makanya Novi mau saja memberikan kunci jawaban.
"Memangnya ada yang salah Pak? Bukannya itu adalah hal yang bagus karena Novi membantu teman sekelasnya." Mayang berusaha membela anaknya, sekalipun dia menyadari apa yang dilakukan anaknya adalah sebuah kekeliruan yang mungkin akibatnya bisa sangat fatal. Menurutnya, itu bukan masalah yang berarti karena Novi tidak melakukan kenakalan seperti remaja pada umumnya. Hanya memberikan kunci jawaban saja. Seharusnya bisa sedikit ditolerir.
"Ibu jangan menganggap hal ini sepele, Bu. Saya tahu kalau Novi anak yang cerdas. Tapi, dia sudah menyalahgunakan kecerdasannya untuk memanjakan teman-temannya. Ibu tahu ini sudah terjadi sejak lama. Para guru mengeluhkan akan hal ini." Marwan terlihat meninggikan nada bicaranya. Mayang mulai gelisah.
"Sebenernya, kami sudah menegur anak ibu. Tetapi sepertinya anak ibu itu tetap melakukan hal yang serupa. Menyepelekan semua guru. Merasa paling pandai. Kami sudah jengah dengan sikapnya, Bu."
Mayang mulai panik, "Maafkan kesalahan anak saya, Pak. Saya janji setelah pulang sekolah nanti, saya akan mencoba bicara dengannya."
"Sudah terlambat, Bu. saya dan dewan guru sudah melakukan rapat. Kami menyepakati untuk mengeluarkan anak ibu dari sekolah."
Mayang terdiam sesaat. Keluar sekolah bukan masalah besar. Lagipula anaknya pandai. Semua sekolah pasti akan menerima murid berprestasi seperti dia.
"Ibu, jangan berpikir bahwa anak ibu akan mudah diterima di sekolah lain. Kami akan membeberkan keburukan anak ibu supaya semua sekolah menolaknya."
Mayang mendelikkan mata. Marwan sepertinya mengantisipasi apa yang dipikirkan Mayang sehingga mengeluarkan sebuah kalimat yang membuat Mayang tidak berkutik. Ancaman seperti itu jelas sangat menakutkan. Novi akan kesulitan mencari sekolah lain, padahal dia baru menginjak kelas satu SMA.
"Pak, jangan begitu Pak. Anak saya masih kelas satu SMA. Masa depannya masih panjang. Apa tidak ada solusi lain?" Mayang mulai melakukan negosiasi. Sedikit merendah kepada kepala sekolah yang mungkin bisa melakukan sesuatu untuk anaknya.
Marwan diam sejenak. Terlihat berpikir keras. Tampak dari kerutan di dahinya yang mulai basah oleh keringat.
"Saya bisa usahakan anak ibu tetap bersekolah disini, tapi..."
"Tapi apa pak? Ada syaratnya? Apapun itu akan saya penuhi."
"Ibu Mayang harus mau tidur dengan saya."