Beberapa hari kemudian, setelah kejadian naas itu, Mayang sehat seperti sedia kala. Dia pun melakukan aktifitas seperti biasa. Sebenernya selama dia libur, bukan hanya fisiknya yang diobati melainkan hatinya yang memang sangat kacau. Setelah masa healing yang cukup melelahkan, dia siap untuk kembali menjalani aktifitas lagi.
Hal ini diuntungkan dengan dadanya yang tidak lagi gatal. Jadi dia tidak perlu repot-repot untuk memompanya. Dan setelah memeriksa keadaan rahimnya. Tidak terbukti ada benih di dalam sana. Membuat Mayang bisa bernafas dengan lega. Kini, dia bisa menjalani kehidupannya dengan sangat normal.
Di tempat kerjanya, ketika berhadapan dengan Stevan, dia bersikap sebiasa mungkin. Namun, matanya terus mengintai. Melihat pergerakan yang mencurigakan dari Stevan. Pria itu akan sangat berbahaya kalau dia sampai lengah. Dia tidak mau jatuh ke lubang yang sama.
Namun yang masih terngiang di benaknya adalah Marwan. Harus dia akui. Hanya pria itu saja yang membuat Mayang tidak berhenti berdenyut. Gaya permainan yang membuat Mayang selalu terbayang seolah meracuni alam bawah sadar Mayang. Sentuhan, cumbuan, hujamannya begitu pas. Tidak terlalu lembut dan berlebihan. Malah yang ada sekarang, dia rindu untuk disentuh oleh Marwan lagi.
"Tidak, aku tidak boleh begini terus. Aku harus bertahan demi Novi dan juga suamiku. Walaubagaimanapun, aku ingin rumah tangga ini utuh. Aku harus tegas memperingatkan Marwan supaya tidak macam-macam denganku."
Mayang membatin penuh keyakinan. Memang semua berawal dari dirinya yang memberi kesempatan kepada Marwan sehingga pria itu nekat dan terjadilah perkosaan itu. Dia harus lebih kuat. Harga dirinya lebih penting dari sekadar nafsu.
Jam menunjukan tengah hari. Sebentar lagi istirahat. Kesempatan buat Mayang ke sekolah dan berkata dengan tegas kepada pria tua itu. Memperingatkan. Kalau berani macam-macam maka dia tidak segan-segan menyeretnya ke kantor polisi.
Waktu istirahat tiba, Mayang langsung bergerak menuju sekolahan Novi. Dia tahu kalau ini bukan waktu yang tepat baginya untuk menjemput Novi karena putranya itu ada ekstrakurikuler. Tapi, dia memang berniat untuk bertemu dengan Marwan.
"Ini mungkin yang terbaik." Mayang membatin sambil berjalan menuju pelataran sekolahan. Dia terus memotivasi dirinya sendiri supaya lebih berani dan tidak lembek di hadapan Marwan.
"Mentang-mentang suamiku jauh, dia pikir bisa memanfaatkan aku. Aku bukan wanita murahan. Aku punya harga diri."
Mayang berjalan mantab menyebrangi lapangan tengah sekolah dasar itu lalu berjalan menyusuri selasar depan kelas.
Dia sudah hafal dengan ruangan di sekolahan Novi sehingga tidak sulit baginya untuk menemukan ruangan pak Marwan.
Tok tok tok
Mayang mengetuk pintu ruangan kepala sekolah yang terbuat dari kayu jati itu, dan menunggu jawaban dari dalam.
"Saya tidak akan membiarkan dia melakukan hal sama padaku." batin Mayang.
"Pak Marwan kemana ya?" Mayang bertanya-tanya setelah melakukan ketukan ketiga.
Pintu ruangan yang tidak tertutup sempurna membuat Mayang bisa melihat ke dalam ruangan kantor pak Marwan.
"Tidak dikunci?"
Penasaran Mayang masuk ke dalam ruangan tanpa permisi lebih dahulu, hingga akhirnya sesosok tangan membekap hidung dan mulutnya.
tiba tiba rasa kantuk hebat menyerang Mayang hingga dia tidak sadarkan diri dan tubuhnya jatuh dalam pelukan seorang laki laki yang telah membekapnya.
Mayang terbangun dari tidurnya ketika cipratan air mengenai wajahnya yang putih nan ayu.
Sedikit demi sedikit matanya terbuka dan dia bisa melihat jelas sosok lelaki yang berdiri dihadapannya.
"Pak Marwan." Mayang terkejut melihat pak Marwan di hadapannya.
Lebih terkejut lagi Mayang ketika menyadari dirinya berada di tempat yang asing. Sebuah rumah besar. padahal dia ingat terakhir kali berada di sekolahan.
"Pak, saya di mana Pak?"
"Tenang, Bu Mayang. Tadi Ibu pingsan di ruangan saya. Terus, saya meminta kepada guru lain untuk membantu membawa ibu ke mobil saya dengan alasan saya akan mengantarkan ibu ke rumah, padahal ke rumah saya. hehehe…."
Mayang terpekur beberapa saat sebelum, matanya melotot. Dia ingat ada sebuah tangan yang membekapnya tadi. Tidak salah lagi, ini pasti scenario yang sudah direncakan Marwan.
"Ini pasti ulah Bapak yang menjebak saya kan?"
"Sengaja Bu. Saya tahu kedatangan Ibu ke sekolah karena ingin seperti yang kemaren kan?"
"Jangan asal bicara ya Pak? Justru saya ingin tegas berkata sama Bapak. Jangan ganggu saya lagi. Atau saya laporkan Bapak ke polisi."
Pria itu tertawa kencang. Tawa yang terdengar melecehkan. Seolah menganggap ancaman Mayang itu hanya angin lalu. Tidak berpengaruh baginya sama sekali.
"Laporkan saja, Saya tidak takut. Saya malah bisa membuat Novi jauh lebih menderita. Ingat masa depan Novi berada dalam genggaman saya."
Mayang tersinggung dengan ucapan Marwan. Siapa dia sampai bisa menentukan masa depan anaknya?
"Masa depan Novi tidak ditentukan oleh anda. Saya bisa dengan mudah memintanya untuk keluar dari sekolah Bapak dan memintanya untuk pergi ke papua menyusul ayahnya, setidaknya di sana dia jauh lebih baik."
Mayang sudah merasa lega telah mengungkapkan isi hatinya. Kekesalannya selama ini. Tidak ada keraguan lagi. Memang pria dihadapannya ini perlu ditindak tegas supaya tidak bertindak semena-mena.
Namun, sebaliknya Marwan hanya tersenyum. Membuat Mayang tampak mengernyitkan dahi. Betapa tidak. Sepertinya pria itu memiliki taktik jitu yang sangat membahayakan. Mayang harus waspada.
"Stevan!"
Mayang tercenung saat Marwan menyebut nama yang tidak asing. Stevan! Si jangkung mesum itu! Dia berharap bukan pria itu yang dipanggil Marwan.
Namun dugaannya meleset tatkala terlihat sosok jangkung itu muncul dari balik pintu. Pria itu tampak tersenyum mesum sambil memegang sebuah ramuan yang sama seperti kemaren lusa. Mayang panik. apa jangan-jangan dia akan dicekoki oleh wanita itu?
"Kamu pasti kenal dengan Stevan kan? Adik saya?"
Mayang lebih terkejut lagi saat mengetahui bahwa Stevan ternyata adik kandung dari Marwan. Sebentar, bagaimana bisa mereka dikatakan saudara kandung kalau secara fisik mereka berbeda. Marwan gemuk gempal hitam, sedangkan Stevan jangkung putih. Bahkan kalau di sejajarkan mereka mirip angka sepuluh.
"Ternyata kalian berdua kakak adek. Pantas saja sama brengseknya." Mayang berkata dengan frontal. Sekarang dia berani menanggung resiko. Tidak gentar dengan ancaman mereka.
Kedua pria itu tertawa terbahak-bahak. Bahkan tertawa jahat mereka hampir sama. Benar-benar kakak adek. Tapi, apa sebenernya yang mereka rencanakan?