"Apakah aku salah mengakhiri semua ini? Semua kekhilafanku bersama para pria itu. Tapi, kenapa? Kenapa Seperti ada yang hilang dari diriku?"
Mayang masih di dapur. Mengintip Marwan yang sedang berolahraga mengangkat barbel di belakang rumah. Tadi setelah membantu memperbaiki kran, pria itu langsung meninggalkannya. Tanpa menggoda Mayang sama sekali. Padahal sejujurnya, Mayang merindukan lontaran kata-kata Marwan yang nakal. Rindu dengan tatapannya yang seolah ingin menelan Mayang hidup-hidup. Rindu untuk hanyut dalam gelombang asmara. Rindu untuk berkeringat bersama.
Namun kini, seolah ada jarak yang memisahkan. Baik Mayang dan Marwan seperti dua sosok asing yang tidak saling mengenal. Tentu hal ini sangat menyakitkan buat Mayang. Meskipun, dia yang menginginkan semua ini berakhir. Namun, kenyataannya, dia belum bisa lepas dari bayang-bayang Marwan. Pria itu terlalu sempurna untuk dilupakan.
'Apa mungkin semua pria seperti itu? Bisa melupakan dengan begitu mudah? Tidak seperti wanita yang selalu melibatkan perasaan dalam setiap hubungan?'
Mayang menghela nafas. Matanya masih lekat melihat Marwan yang dengan cueknya mengangkat barbell berukuran sepuluh kilo. Ototnya bersembul keras diiringi keringat yang membanjiri tubuh bongsor berototnya. Rasanya Mayang ingin mengulurkan handuk untuk mengelap tubuh Marwan yang perkasa.
Baru saja Mayang berangan-angan seperti itu, Tiba-tiba dari arah pintu dapur, muncul Sari yang membawakan Marwan minuman. Ada handuk kecil yang terletak didekat Marwan, digunakan oleh sari untuk kemudian mengelap kening pria itu. Mayang langsung menginjakkan kaki dengan gemas. Bibirnya menggerutu. Kenapa sih Sari yang melakukannya? Kenapa tidak dirinya saja?
Dan lagi, pemandangan mesra dipertontonkan. Seketika wajah Mayang memanas. Dia cemburu berat dengan Sari. Bagaimana wanita itu sangat beruntung bisa memiliki Marwan. Pria matang dengan sikap yang dewasa. Sikapnya yang hangat dan terkadang nakal. Tentu dambaan semua wanita. Ah, intinya Marwan itu paket komplit.
Di saat benaknya tidak karuan, tiba-tiba dia dikagetkan dengan suara dari belakang.
"Mesra sekali ya mereka."
Mayang tidak bisa bergerak lantaran suaminya yang bertubuh ceking itu memeluknya dari belakang. Hampir saja jantungnya copot gara-gara ulah suaminya itu. Membuat Mayang ingin marah saja rasanya. Terlebih lagi, kelakukan Sapto yang sok mesra membuat Mayang risih.
"Apaan sih!" Mayang melepaskan pegangan tangan Sapto. Membuat pria itu terheran-heran.
"Kamu kenapa sih Sayang? Bukannya kamu suka kalau bisa mesra seperti mereka?"
Mayang mencibir. Mesra dia bilang? Mesra sana sama selingkuhan kamu sana.
"Ada apa sih Sayang? kalau ada masalah cerita. kalau aku ada salah, ayo bicarakan." Sapto memegang tangan Mayang ketika wanita itu hendak pergi dari sana.
"Udah deh, enggak usah lebay. Aku itu lagi malas bicara." Mayang langsung menghempaskannya. Sapto memperhatikan mata Mayang lamat-lamat. Tengah mencari apa penyebab istri tercintanya marah.
"Aku tahu kalau wanita hamil emosinya cenderung tidak stabil. Tapi, aku lihat kemarahan kamu lain."
"Terus?" Mayang menaikan satu alisnya dengan nada suaranya meninggi.
Sapto menghela nafas. Harus lebih sabar menghadapi istrinya.
"Ya, aku minta kamu katakan sejujurnya. Kalau kamu memang marah sama aku. katakan apa salahku. Jangan kayak anak kecil."
"Anak kecil? Ya aku memang anak kecil yang tidak tahu kalau kamu bermain gila di belakangku!"
"Maksud kamu apa?" Sapto seperti terkejut, tapi dia pura-pura biasa saja.
"Ah, sudahlah. Aku malas berdebat dengan kamu." Mayang hendak berlalu tapi tangannya dicekal.
"Tunggu, Mayang. Kamu belum menjelaskan apa maksud perkataanmu."
"Harusnya aku yang menuntut penjelasan darimu. Kenapa kamu sampai bermain gila dengan wanita lain?"
"Kamu ngomong apa sih? aku enggak ngerti dengan jalan pikiran kamu. Kamu pikir aku selingkuh gitu."
"Jangan pura-pura deh, aku sudah tahu semuanya. Dan sekarang aku males ngomong sama kamu. Aku mau menenangkan diri di rumah orang tuaku."
"Aku ikut."
"Enggak usah! Biarkan aku pergi sendiri!"
Sapto pun tidak ingin melepaskan istrinya begitu saja. Dia hanya ingin menjadi suami siaga yang siap antar istrinya kemana saja. Namun, sepertinya istrinya sedang tidak ingin diganggu. Dan juga dia tidak mau memaksakan kehendak takut calon bayi yang ada di perut Mayang kenapa-napa.
Pria itu mengikuti Mayang sampai di rumah orang tua Mayang. Di sana, kedua orang tua Mayang dibuat keheranan dengan menantunya yang hanya memarkirkan mobil di pinggir jalan.
"Mayang, suami kamu kok enggak di ajak masuk?" tanya Satrio, Ayah Mayang yang sedang santai diteras.
"Iya, kamu juga ke sini naik taksi kan? Kenapa tidak bareng suami kamu." Endah menimpali.
"Enggak apa-apa kok Pak, Bu." Mayang berkata dengan singkat, dengan nada yang ditekan rendah. Tidak ingin terbawa emosi di hadapan keduanya.
"Kamu ada masalah dengan Sapto?"
Mayang tidak menjawab pertanyaan ayahnya. Dia langsung menerobos masuk menuju kamar di mana dia sering tempati kalau menginap di rumah ini. Memang dia anak ragil yang paling sering mengunjungi orang tuanya dibandingkan dengan saudara-saudara yang lain.
Baik Satrio dan Endah memahami apa yang sedang terjadi. Sepertinya Mayang butuh sendiri. Sang menantu yang sudah ada di depan mereka pun tidak bisa memaksakan.
"Sebenernya, apa yang sedang terjadi, Sapto?" tanya Satrio.
"Bukan apa-apa, Pak. Hanya salah faham saja, Bapak tahu sendiri kan kalau wanita hamil memang sensitive?" Sapto mengkambing-hitamkan Mayang yang sedang hamil. Dia tidak akan membeberkan apa alasan sebenernya Mayang marah. Bisa-bisa mertuanya itu memarahinya.
"Salah faham bagaimana?" Kini Endah yang bertanya.
"Ee, itu Bu. Mayang melihatku sedang ngobrol dengan wanita lain. Padahal kami hanya teman sekolah lho, tapi Mayang sudah berpikiran yang tidak-tidak."
Satrio dan Endah saling memandang. Alasan yang kurang logis sebenernya. Mungkin sebaiknya nanti mereka langsung tanyakan kepada Mayang kalau sudah tenang.
"Sebaiknya, kamu pulang dulu Sapto. Biar kami nanti yang akan berbicara dengan Mayang." Satrio menengahi dengan bijak. Dia tahu kalau menantunya itu adalah pria baik-baik. Tidak mungkin sampai selingkuh.
"Makasih ya, Pak. Tolong katakan kepada Mayang permohonan maaf saya. Sungguh tidak mungkin saya sampai selingkuh, apalagi dia sedang hamil." Sapto berkata sebelum undur diri dari sana.