"Pak, saya ingin hubungan kita seperti dulu."
Kata-kata itu begitu saja meluncur dari mulut Mayang. Betapa wanita itu sudah tidak bisa menahan segala yang mendera hatinya.
Marwan tidak segera menjawab. Sejenak dia memandang ke arah istrinya yang tertidur. Lantas, membimbing Mayang menuju taman di samping rumah. Pria itu dengan cueknya tidak memakai pakaian, padahal malam sangat dingin.
"Maksud Bu Mayang hubungan yang kayak gimana?" Marwan balik bertanya.
Mayang mendesah. Pertanyaan yang wajar dilontarkan Marwan karena memang mereka sebenernya tidak ada hubungan apa-apa selain sama-sama melampiaskan nafsu. Namun bagi Mayang yang melibatkan perasaan. Tidak mudah menghilangkan rasa nyaman yang Marwan ciptakan. Sekalipun pria itu menganggapnya biasa saja.
"Aku ingin kita menjalin cinta seperti yang dulu, Pak." Mayang berkata dengan nada penuh permohonan. Berharap Marwan menangkap maksud darinya. Dia sudah tidak peduli akan harga dirinya. Apa gunanya dia mempertahankan gengsi kalau kenyataannya dia sangat membutuhkannya. Butuh pria matang yang lebih mampu menggayominya. Memuaskannya!
"Cinta? Memang sejak kapan kita menjalin cinta Bu?" Marwan terkekeh. Menganggap enteng apa yang baru saja dibicarakan Mayang.
Mayang menatap nanar Marwan. Pria di hadapannya ini seperti tidak punya perasaan. Padahal Mayang membicarakan hal yang sangat krusial.
"Tega sekali Bapak bicara seperti itu! Bapak sudah melakukannya sampai saya hamil!"
"Tapi, kita melakukannya kan karena sama-sama ingin, Bu. Kita juga tidak ada komitmen kan sebelumnya. Lagipula, masing-masing dari kita sudah mempunyai keluarga. Bu Mayang sendiri yang meminta untuk mengakhiri semuanya karena alasan itu?"
Mayang bungkam oleh fakta yang diungkap Marwan. Pria itu tidak salah. Mayang yang salah karena terlalu melibatkan perasaan. Dan dia menginginkan Marwan mengerti akan hal itu.
Hening.
Marwan memperhatikan Mayang yang tertunduk di hadapannya. Menunggu wanita berbadan aduhai itu berbicara. Marwan sudah sering menghadapi wanita yang baper dengannya. Terutama, wanita yang sudah berhasil dia jajaki. Namun bagi Marwan. Cukuplah bersenggama. Jangan lebih dari itu.
"Sekarang mau Bu Mayang bagaimana?"
Mayang langsung mendongak. Ditatapnya dalam-dalam mata lebar nan tajam Marwan. Menggali keseriusan dari pertanyaan Marwan barusan. Yang tentu saja sangat penting bagi Mayang. Ini saatnya dia harus mengeluarkan apa yang selama ini dia pendam. Keinginan terdalam.
"Saya mau Bapak menikahi saya."
Marwan terbengong sesaat. Namun, dia segera menyamarkannya dengan berdeham. Ajakan menikah memang sering dilontarkan oleh wanita yang sering ditidurinya. Termasuk empat wanita yang sekarang menjadi istrinya. Merekalah yang dulu meminta untuk dinikahi Marwan. Dan sekarang ada lagi satu orang yang meminta untuk dinikahi.
"Ibu serius dengan ucapan Ibu?"
Mayang mengangguk dengan mantap. Tidak memikirkan Sapto lagi. Yang ada hanya pria di hadapannya ini yang selalu mengisi fantasinya setiap saat. Dia ingin keseriusan pria itu. Ingin menjadikan pria ini miliknya juga. Pak Marwan sayang.
"Tapi, ibu tahu sendiri kan kalau istri saya empat. Ibu mau menjadi yang…." Belum sempat Marwan meneruskan kata-katanya. Tiba-tiba Mayang menyambar karena teringat sesuatu.
"Sari, istri pertamamu selingkuh dengan Sapto suami saya, Pak!"
Marwan mengernyit dahi, "Selingkuh?"
"Iya, Pak. Hampir saja aku lupa bilang. Sekarang mereka sedang ada di rumah saya."
"Jangan becanda, Bu."
"Seriusan Pak. Kalau Bapak tidak percaya. Boleh check sendiri."
"Ok, sebentar. aku pake celana dulu." Marwan bergegas masuk ke dalam kamarnya. Tubuh bongsornya terlihat lucu berlari sambil sesuatu yang bergelantungan. Tidak berapa lama, dia pun sudah menggunakan celana pendek. Dan segera menuruti langkah Mayang menuju rumah.
Di ambang pintu, raut wajah Marwan langsung berubah. Wajah hitamnya merah padam. Tanpa babibu, pria bertubuh kekar itu langsung menerobos masuk. Memisahkan Sapto yang sedang menyatu dengan Sari.
"Brengsek! Beraninya kamu menggagahi istri saya! Bruk!"
Pukulan bogem langsung menghentam pipi Sapto yang kurus. Kerasnya pukulan membuat tubuhnya terlempar ke sisi ranjang.
Mayang terlihat biasa saja. Sama sekali tidak berniat untuk membela Sapto. Malah senang karena pria tidak tahu diri itu dihajar begitu.
"Stop! Jangan sakiti dia Marwan!" Bentak Sari yang menjadi tameng bagi Sapto. Marwan yang hendak meninju mengurungkannya. Sepertinya pria itu anti untuk menganiaya wanita.
"Kamu wanita tidak tahu diuntung. Bisa-bisanya kamu selingkuh dengan dia!" Marwan berusaha tidak meluap-luap sekalipun Mayang tahu kalau Marwan sangat ingin membunuh keduanya.
"Memangnya kenapa? Dia jauh lebih kaya dan mapan! Tidak seperti kamu yang ngasih uang belanja pas-pasan."
Mayang terpana. Rupanya, ada kebutuhan yang belum dipenuhi sepenuhnya oleh Marwan. Kebutuhan lahir yang kurang. Bisa dimaklumi karena dia hanyalah kepala sekolah yang nekad memperistri sampai empat orang. Tentu membutuhkan uang yang sangat besar melebihi gajinya sebagai kepala sekolah.
Membuat Mayang seketika sadar bahwa Marwan bukanlah sosok yang sempurna. Secara batin sangat bisa memuaskan keempat istrinya. Namun tidak dengan nafkah lahiriyah. Kebalikannya dari Sapto. Masing-masing dari mereka ada kekurangan dan kelebihan.
Kalau Mayang, tidak perlu ditanya apa yang dia butuhkan sekarang. Tanpa pemberian dari suamipun sebenernya dia sudah bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Jadi kalau toh kalau semisal dia menjadi istri Marwan, tidak akan menjadi masalah baginya. Duh! Kenapa Mayang bisa berpikir sejauh itu.
"Jadi alasan kamu selingkuh karena kamu kekurangan uang begitu?" Marwan menegaskan. Pria itu sangat terkendali meski terlihat tangannya mengepal kuat.
"Jelas! dan Mas Sapto yang selama ini mencukupi kebutuhanku asalkan kamu tahu." Sari berkata dengan pedenya. Tipe-tipe wanita pelakor yang mengincar harta suami orang. Namun, Mayang sama sekali tidak merasa marah maupun kehilangan. Kalau toh Sari mau mengambil Sapto ambil saja. Mayang sudah tidak butuh. Harta bukan segala-galanya baginya.
"Ok, kalau begitu aku talak kamu." Marwan berkata dengan santainya. Seolah menceraikan istri bukan beban berat baginya. Ya, maklum saja dia masih punya cadangan tiga. Dan sepertinya Mayang menjadi kandidat istri berikutnya.
Sari tampak kegirangan. Dia terlihat memegang tangan Sapto.
"Akhirnya, kita bisa bersatu Sayang."
Sedangkan Sapto tampak menoleh ke arah Mayang yang terlihat memalingkan muka. Entah apa yang ada di pikiran pria itu. Namun, terlihat sekali dia tidak rela kalau kehilangan Mayang.
"Tapi, sebelum itu. Aku seret kalian ke kalayak umum. Buat dipermalukan." Marwan meneruskan perkataannya. Tidak bisa dibayangkan betapa piasnya wajah sejoli selingkuhan itu.
Belum sempat mereka menanggapi. Marwan sudah terlebih dahulu menyeret tangan mereka berdua. Masih dalam keadaan telanjang bulat. Mayang mengekorinya dari belakang. Kebetulan kompleks malam itu masih ramai orang. Mendapat penjelasan dari Marwan, mereka langsung turun dan berduyun-duyun mengarak pasangan mesum itu.