Turun dari mobil, Marwan dan Mayang berjalan beriringan menuju rumah sakit. Melihat pandangan aneh semua orang, Marwan yang semula mengabaikan Mayang, lantas menggandeng tangannya dengan mesra.
'Ih, romantis banget sih.'
Mayang menjerit dalam hati. Sedangkan Marwan masih dengan sikap tenangnya berjalan menuju dokter kandungan. Tidak ada perasaan yang gimana-gimana. Hanya Mayang yang terlihat berlebihan.
"Permisi, Pak. Istrinya saya periksa dulu." Tuh kan, Pak Dokter saja sampai mengira kalau Marwan adalah suaminya. Memang pada umumnya pria yang mengantar wanita hamil rata-rata suami. Masak iya suami tetangga, walau kenyataanya memang seperti itu.
"Iya, Dok. Silakan." Marwan hanya nyengir. Tidak mengiyakan maupun menolak atas anggapan dokter bahwa dia adalah suami Mayang. Mayang seperti merasakan perubahan di dalam diri pria bertubuh bongsor kekar itu. Secara perlahan, pria itu mulai menerima kehadiran Mayang dalam arti yang lebih dalam.
Mayang mengikuti langkah sang dokter untuk mengecek kandungannya yang memang sudah berjalan tiga bulan lebih.
Dokter terlihat mengukur detak jantung, tekanan darah dan melakukan usg untuk mengetahui keadaan jabang bayi dalam perutnya.
"Janinnya sehat. Tidak ada masalah." Dokter berkata.
"Syukurlah, saya senang mendengarnya, Dok." Mayang menyahut. Pandangannya teralih ke Manto yang terlihat serius melihat layar monitor.
"Kalau boleh tahu, jenis kelaminnya apa, Dok?" Giliran Marwan berkata.
"Belum bisa dipastikan, mengingat usia kehamilannya baru menginjak tiga bulan. Mungkin bulan depan baru bisa dilihat."
Marwan terlihat mengangguk kecil. Segitunya pria itu menanyakan tentang jenis kelamin bayi Mayang. Mayang terkekeh dalam hati.
"Ada yang perlu ditanyakan lagi?"
Mayang hendak bertanya, tapi ada sedikit rasa malu yang menggelayuti.
"Mungkin Bu Mayang mau bertanya?"
"E-ehm, itu Dok. masih bolehkah berhubungan badan?"
Dokter seperti menahan tawa. Bukan masalah pertanyaannya. Melainkan Mayang yang terlihat malu-malu, padahal sebenernya itu sama sekali bukan hal yang tabu dalam urusan rumah tangga.
Sebenernya itu adalah pertanyaan iseng saja yang ingin Mayang lontarkan. Walaubagaimanapun dulu dia pernah hamil Novi. Sah-sah saja berhubungan dengan Sapto. Bisa dikatakan dulu tenaga Sapto masih cukup mantap. Tidak ada keluhan bagi Mayang dalam urusan ranjang. Namun seiring berjalannya waktu, tenaga Sapto berkurang. Membuat Mayang tersiksa batin selama bertahun-tahun, apalagi sempat LDR.
Namun masalah tersebut bisa diatasi dengan kehadiran Marwan. Pria yang sangat sempurna bagi dirinya. Semakin tua semakin menjadi. Dan mungkin kedepannya, Mayang akan selalu minta kepada Marwan. Itulah alasan kenapa dia bertanya hal itu tadi.
"Boleh saja kok, Bu. Asalkan masih batas wajar."
"Maksudnya, Dok?"
"Disesuaikan dengan keadaan, Bu. Mungkin temponya yang harus dipelankan. Meskipun saya lihat kondisi janin Ibu Mayang sangat kuat, tapi jaga-jaga saja supaya tidak terjadi hal-hal yang bisa membahayakan janin. Kita semua tentu tidak ingin janin kenapa-kenapa kan?"
Mayang mengangguk mafhum, Meskipun ada kekhawatiran yang menggelayuti. Bagaimana bisa Marwan memelankan tempo kalau pria itu sendiri saja selalu kasar ketika memompa. Begitu juga Mayang yang tidak kalah liarnya mengimbangi permainan Marwan sampai-sampai perut kadang terguncang. Seandainya kalau janin yang ada di perutnya bisa bicara, tentu dia akan protes berat. Terlebih Marwan yang selalu memandikannya dengan benih yang bernas.
Untung saja, persenggamaan itu hanya terjadi sekali sewaktu di hotel. Selebihnya, Hanya sebatas permainan mulut saja. t
Namun, entah kenapa perasaan Mayang kuat mengatakan, bahwa setelah ini, Marwan pasti akan memangsanya terus menerus. Tidak dipungkiri sekalipun Mayang sudah berbadan dua, tubuhnya malah semakin seksi. Apalagi, Mayang yang sudah mulai mengeluarkan ASI. Tentu Marwan tidak akan menyia-yiakannya begitu saja. Terlebih kondisi Mayang yang kini sudah tanpa suami.
"Kamu ngapain bertanya seperti itu?"
Marwan menggerutu begitu mereka sudah keluar dari ruangan itu. Mayang yang tahu arah pertanyaan Marwan terlihat santai saja.
"Enggak apa-apa. Masa tanya saja enggak boleh."
Wajah tenang itu menyeringai, "Iya, memangnya kamu mau bersenggama dengan siapa? Suami saja diambil orang."
"Iya, enggak apa-apa. Lagipula, aku sudah tidak punya perasaan dengan Sapto. Jadi kalau dia selingkuh, aku tidak sakit hati."
"Iya kan kamu sukanya sama aku. Kamu lebih puas kalau denganku kan?" Marwan tanya dengan nada menggoda.
"Ih, apaan sih Pak Marwan. GR banget! Dasar Buaya." Mayang pura-pura merajuk, padahal sejatinya dia suka dengan lontaran kata-kata nakal seperti itu. Seketika darahnya berdesir-desir.
"Memang seperti itu kan kenyataannya. Kamu minta aku menikahimu dan tadi kamu mengikutiku diam-diam di stadion. Itu bukti yang tidak bisa dibantah."
'Tapi, kamu belum memberikan kepastian. Jelas-jelas anak yang ada dalam kandunganku ini anakmu, tapi kamu malah menuduhku yang tidak-tidak.' Kata-kata Mayang dalam hati. Nyeri kembali dia rasakan.
Perjalanan pulang, Mayang hanya terdiam. Tidak meladeni Marwan yang mengajak bicara. Agaknya pria itu tidak merasa bersalah sama sekali. Mayang trenyuh dengan dirinya sendiri. Apakah salah dia mengharapkan Marwan? Pria yang jelas-jelas menganggapnya mainan?
"Kamu kenapa diam saja?"
Marwan berkata setelah sampai di depan rumah. Mayang acuh saja. Berharap pria itu segara turun dan meninggalkannya.
"Kenapa diam saja Bu Mayang yang cantik?" Marwan mengelus pipi halus Mayang yang langsung ditepis oleh wanita itu.
"Jangan sentuh aku! dasar pria egois! Tidak punya perasaan!" Mayang membentak.
"Kamu kenapa sih? Kok mendadak ngambek seperti ini?" Marwan masih sempat-sempatnya berkata begitu.
"Turun sekarang!"
"Kamu enggak pengen kita bercumbu dulu begitu?"
Mayang mendengus kasar. Enak saja main cumbu. Kamu saja tidak memberikan kepastian.
Mayang yang sudah tidak tahan. Turun dari mobilnya sendiri. Dia membanting keras pintu mobilnya, sebelum melangkah cepat menuju rumah. Bodo amat dengan mobilnya yang dibawa Marwan. Dia sudah terlanjur sakit hati.
Mayang bersandar di balik pintu. Air matanya keluar. Meratapi kebodohannya yang menganggap Marwan akan membalas cinta yang sama seperti dirinya. Dia merasa jijik dengan dirinya sendiri yang begitu mudahnya menyerahkan badan kepada Marwan. Si bajingan tengik!
Mayang mengusap air matanya ketika teringat Novi. Jam sudah menunjukan pukul sembilan malam. Cukup lama dia bersama dengan Marwan sampai terlupa makan malam dengan anaknya.
Kamar Novi terbuka, Mayang menerobos masuk. Anak gadisnya itu sudah terlelap. Tapi laptopnya masih menyala.
"Novi kebiasaan lupa mematikan laptop." Mayang bergumam. Dia pun segera memposisikan duduk di depan laptop.
Namun, apa yang terpampang di layar membuatnya tidak bisa berkata-kata. Jelas sekali di hadapannya, Foto Marwan yang sama persis dengan yang ada di stadion tadi. Astaga, apa yang terjadi dengan Novi? Apakah anaknya itu menyukai Marwan?