Teman-teman Novi sudah hadir di acara ulang tahun itu. Terlihat Novi begitu antusias dan bersemangat. Mayang tidak pernah melihat Novi yang sebahagia itu. Mayang berusaha menepis pikiran yang tidak-tidak.
Terlebih lagi, Sapto yang tidak hadir di acara ulang tahun itu. Namun, Novi sepertinya biasa saja, bahkan tidak mempertanyakan kehadiran Sapto. Baguslah, Lagipula Mayang juga tidak mengharapkan pria yang masih menjadi status suaminya itu untuk datang. Biarlah dia bersenang-senang dengan selingkuhannya itu.
Sebenernya, Mayang ingi bertanya mengenai alasan kenapa Novi memajang foto Marwan di laptopnya. Tadi pagi, dia juga sempat melihat foto Marwan di layar ponsel Novi. Sebuah tanda tanya besar yang bergelantungan di benak Mayang. Namun, Mayang mengurungkan untuk menanyakannya. Takut merusak suasana, apalagi ini adalah hari bahagia Novi.
'Semoga saja tidak seperti apa yang aku pikirkan.' Mayang bergumam. Pikiran seorang ibu begitu kuatm tapi Instingnya sebagai seorang wanita juga tidak bisa diragukan. Dia cemburu kalau memang Novi ada rasa dengan Marwan. Pasti akan terjadi pertaruhan batin kalau seandainya Mayang harus mengalah demi Novi.
'Astaga, berpikir apa sih aku ini. Tidak, mereka tidak akan mempunyai hubungan sejauh itu.' Mayang menenangkan dirinya sendiri. Walau dia tidak memungkiri, bayang-bayang pikirannya itu selalu menghantui.
"Pak Marwan!"
Novi berseru tatkala melihat Marwan yang muncul dari balik pintu utama. Pria itu tampak menggunakan pakaian kasual. Membuatnya terlihat lebih muda dan tampan.
Novi keluar dari perkumpulannya dengan teman-temannya. Mendekati Marwan dengan langkah ceria. Namun, satu hal yang tidak disangka oleh Mayang. Novi terlihat memeluk Marwan.
"Saya senang Pak Marwan datang." Novi berbisik di balik dekapannya.
"Memangnya apa alasan yang sekiranya membuat saya tidak hadir di acara ulang tahun kamu, Novi." Marwan bertanya. Hangat sekali.
"Ini kan acara ulang tahun Novi, Pak. Yang datang semuanya teman-teman sekelas Novi. Ya, saya pikir bapak sebagai kepala sekolah tidak mau hadir." Kentara sekali dari nada bicaranya. Manja sekali. Mayang membatin. Kenapa anaknya bisa semanja itu.
"Ada-ada saja kamu, Novi. Ini Bapak bawa kado ulang tahun untuk kamu."
Novi melepas pelukannya. Dia menatap kado tersebut sesaat, baru kemudian beralih ke Marwan dengan kerling penuh arti.
"Ini apa Pak?"
"Nanti kamu juga tahu sendiri. Selamat ulang tahun ya." Marwan mengelus-elus rambut Novi. "Semoga kamu menjadi anak yang berbakti kepada orang tua. Bangsa dan Negara. Rajin belajar. Tingkatkan terus prestasimu."
"Iya, Pak. Saya janji akan belajar sungguh-sungguh sampai lulus sekolah nanti, supaya bapak mau memenuhi janji Bapak."
'Janji? Janji apa?' Mayang bertanya-tanya. Dia semakin tidak mengerti apa yang terjadi antara Mayang dan juga Marwan. Semuanya tampak gelap. Bahkan, Novi sama sekali tidak cerita apapun mengenai hubungannya dengan Marwan.
"Haha, Mana mungkin bapak berbohong. Asalkan Novi mau memenuhi apa yang bapak minta." Marwan meresponnya dengan santai. Dia tertawa menampilkan deretan giginya yang putih bersih.
Gila! Ini benar-benar Gila! Pikiran Mayang kemana-mana. Dia harus menanyakan apa yang sebenernya terjadi.
"Melakukan permintaan apa ya, Pak." Mayang nimbrung. Sudah tidak bisa menahan diri.
Marwan dan Novi menoleh ke arah Mayang.
"Bukan apa-apa kok Bu Mayang. Novi itu kan murid berprestasi. Saya hanya meminta dia untuk belajar sungguh-sungguh sampai lulus, karena saya akan sudah menjanjikan hadiah."
"Hadiah? Hadiah apa?"
Marwan dan Novi saling berpandangan. Saling melempar senyum. Gemas Mayang dibuatnya.
"Ada deh, Ibu mau tahu saja." Kali ini Novi menyela. Sungguh dia merasa terasing dengan anaknya sendiri. Justru anak itu lebih dekat dengan Marwan yang bukan siapa-siapanya.
"Ayo, Pak. Temani Novi tiup lilin."
Novi menarik pelan tangan kekar itu menuju kumpulan teman-teman Novi. Di sana, kue ulang tahun dengan angka lima belas tahun sudah tertera.
Benar 'kan? Bahkan Novi saja tidak menggubris adanya Mayang di sana. Padahal seharusnya, Mayang yang paling berhak untuk mendampingi Novi. Bukan Marwan.
'Ini sudah sangat kelewatan.'
Mayang mengepalkan tangan. Tapi, dia tidak bisa melakukan apa-apa. Hanya menyaksikan ketika Novi yang terlihat riang saat teman-temannya mulai menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Dia memejamkan mata setelah akhirnya meniup lilin.
"Potongan kue pertama buat Pak Marwan." Novi memberikan potongan kue tar kepada Marwan. Darah Mayang mendidih rasanya. Bertahun-tahun, setiap kali merayakan pesta ulang tahun. Dirinya lah yang mendapatkan potongan kue pertama itu. Mengingat Sapto, sang ayah selalu tidak ada di rumah. Dialah satu-satunya orang yang selalu ada di dekat Novi.
Namun predikat itu sekarang tersingkir oleh Marwan. Entah apa hubungan di antara mereka. Yang jelas, Novi terlihat begitu bahagia dengan adanya Marwan. Bahkan sampai mengabaikan semuanya, termasuk Mayang sang ibu.
"Potongan kedua buat ibu." Novi menyodorkan kue lagi kepada Mayang yang cemberut. Hal itu ditangkap oleh Marwan yang tampak tersenyum-senyum, seolah mengerti apa yang tengah dirasakan Mayang.
"Bapak apakan anak saya?" Mayang berbisik. Marwan terlihat menikmati kue sebelum menjawab.
"Nanti saya ceritakan."
Mayang tidak bisa bertanya lebih jauh karena Novi yang mengajak ngobrol Marwan. Mayang yang sudah tidak tahan lagi. Terpaksa meninggalkan mereka berdua.
'Awas saja kalau sampai mereka berhubungan yang tidak wajar. Aku sendiri yang akan memisahkan mereka.' Mayang berikrar ketika dirinya duduk di bangku taman. Lebih baik dia menjauh untuk sesaat daripada kehadirannya tidak digubris oleh Novi.
"Bu Mayang."
Mayang menoleh. Refleks berdiri. Terlihat berondong dengan perawakan atletis berdiri di hadapannya. Siapa lagi kalau bukan Daud.
"Ngapain ke sini? Acaranya sudah selesai." Mayang menyahut ketus. Dia bersedekap sambil membuang muka. Sekalipun Daud lebih tampan dan segar dibandingkan dengan Marwan. Perawakan tubuhnya ideal. Tetap saja Marwan yang selalu di hati. Lebih berkharisma dan menantang Mayang setiap waktu.
" 'kan saya niatnya ke sini untuk bertemu dengan Bu Mayang." Dia tersenyum penuh arti. Sekilas Mayang melihat dia menyembunyikan sesuatu di balik punggung lebarnya.
"Itu apa yang ada di punggungmu?"
Daud tidak segera menjawab. Perlahan dia menunjukan sesuatu di balik punggungnya.
"Untuk Bu Mayang?"
Mayang terpaku. Sebundel bunga dipersembahkan oleh seorang berondong. Pria yang pertama kali dalam hidupnya memberikan bunga? Seperti kisah romantis dalam film-film saja.
"Ini maksudnya apa?" Mayang bertanya tanpa ekspresi. Yah, jujur saja dia sama sekali tidak tertarik dengan bunga. Dia bukan tipe ibu-ibu mellow yang gampang dirayu hanya dengan perlakuan lembut berondong. Baginya semua itu hanya klise.