Pagi itu semua berjalan dengan normal. Novi sudah tidak marah lagi dengan Mayang. Senyum gadis itu mengembang. Mayang senang melihatnya. Walaupun dia harus menahan rasa yang begitu bergejolak.
"Ma, Om ini siapa?" Novi bertanya ketika duduk di meja makan. Mayang juga mengajak serta Daud untuk sarapan bersama.
"Oh, kenalkan nama Om, Daud." Daud mengulurkan tangan.
Novi menyambutnya. Memberikan senyum sekedarnya. Gadis itu menunjukan ekspresi yang biasa. Padahal kalau dari segi penampilan. Daud lebih goodlooking dibandingkan dengan Marwan. Tapi entah kenapa kharisma Marwan itu tidak tertandingi, membuat Novi sampai tidak berpaling kepada lelaki manapun.
'Termasuk Aku.' Mayang membatin. Marwan sukses besar merampok hati Mayang dan Novi. Nyaris membuat ibu dan anak itu putus hubungan. Untung saja, Mayang mau mengalah. Dia merelakan Novi berhubungan dengan Marwan. Biarlah soal janin yang ada di dalam kandungannya ini menjadi urusan nanti.
"Teman kerja Ibu atau pacar?"
Mayang tersendak mendengar pertanyaan Novi. Tidak salah Novi berkata seperti itu karena semalam dia melihat Mayang sedang berpelukan dengan Daud. Padahal adegan itu jelas tidak sengaja, tapi Mayang yakin kalau Novi berpikir yang tidak-tidak.
"Hanya teman kerja saja kok. Semalam, Om yang menemani Ibu kamu ke rumah sakit dan mengantarkannya pulang. Soal Om yang pelukan sama ibu kamu, itu tidak sengaja. Ibu kamu kepleset." Daud menjelaskan panjang lebar.
Novi ber'o' pendek. Daud mengedipkan mata ke Mayang. Pertanda kalau dia berhasil meluruskan kesalahfahaman Novi. Mayang bisa bernafas lega.
"Novi berangkat bareng Ibu atau Pak Marwan?"
"Pak Marwan." Novi menyahut cepat. Hal yang tidak perlu dipertanyakan sebenernya. Semenjak kebersamaan dengan Marwan, Novi seolah mencurahkan segala perhatiannya hanya kepada Marwan. Sampai-sampai dia melupakan papa kandungnya sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara klakson dari depan. Novi yang hafal dengan suara itu. Bergegas menyelesaikan rotinya. Buru-buru minum susunya.
"Bu, Om, Novi berangkat dulu ya."
Novi mencium tangan ibunya dan juga Daud. Daud senyum-senyum sendiri. Dia merasa seperti bapak yang disalimi anaknya. Suami dari Mayang. Duh, indahnya angan pria tampan itu.
Dengan langkah riang, Novi berjalan menuju depan di mana Marwan sudah menunggu di mobilnya. Namun, tidak berapa lama, munculah sosok Marwan yang masuk ke rumah.
"Bu Mayang, saya izin berangkat dengan Novi ya."
Tumben, pakai izin segala. Tahu aturan juga Marwan. Membawa anak orang yang masih perawan. Mayang tersungut. Jujur, dia masih kesal dengan sikap istri Marwan yang entah siapa namanya itu yang menuduh Novi dengan julukan pelakor dan Mayang yang disudutkan sebagai ibu yang tidak bisa mendidik anak. Namun anehnya, istrinya itu tidak protes saat Marwan berangkat dengan Novi.
"Kamu Daud ya? teman kerjanya Stevan?" Marwan beralih ke Daud.
"Betul, Pak. Teman kerja Bu Mayang juga." Daud menyahut sopan.
Astaga, Mayang baru ingat kalau ada Daud di sampingnya. Jangan sampai Marwan berpikir yang macam-macam tentang kehadirannya di rumah ini. Jangan sampai Marwan menganggap bahwa Mayang adalah wanita gampangan yang suka berhubungan dengan pria mana saja. Hal itu nanti akan memperkuat bukti bahwa benih yang ada di dalam kandungannya ini bukan berasal dari Marwan.
"Kok bisa sarapan di sini?"
Marwan melontarkan pertanyaan yang jelas sangat menohok. Mayang sampai bungkam dibuatnya. Dia kebingungan sendiri bagaimana menjelaskan.
"Saya kesulitan membuat laporan, Pak. Makanya saya datang ke rumah Bu Mayang untuk meminta bantuan. Maklum saya pegawai baru. Kebetulan Bu Mayang juga mengajak saya sarapan."
Lagi-lagi Daud menyelamatkan citranya. Walau terkesan tidak masuk akal, tapi dari jawaban Daud yang tegas dan natural. Sangat menyakinkan.
"Oh, saya kira kamu tidur di rumah ini semalam." Marwan terkekeh. Wajah Mayang langsung memerah. Sedangkan Daud membalas dengan tertawa ringan.
"Mana mungkin saya berbuat serendah itu." Mayang refleks berkata. Sungguh dia tidak tahan ditertawakan seperti itu.
Marwan dan Daud tanggap. Serentak menghentikan tawanya. Mayang malah geli sendiri. Dua pria beda generasi. Dengan tabiat yang hampir sama. Player, Buaya, atau apalah namanya. Namun, di sisi lain, mereka juga paham menghadapi wanita yang sedang marah.
"Saya hanya bercanda, Bu. Jangan dimasukan ke hati." Marwan berucap. Tangannya memegang pundak Mayang yang langsung bergetar seluruh tubuh.
"Jangan sentuh saya."
Marwan langsung bungkam saat tangannya ditepis Mayang. Pria itu memandang Mayang sesaat. Lantas menundukan tubuhnya sampai sejajar dengan telinga Mayang.
"Enakan mana punyaku atau punya berondong di sampingmu itu?"
Mayang mendelik. Dia langsung menoleh tajam ke Marwan yang berlalu begitu saja sambil terkekeh. Ternyata Pria itu sama sekali tidak mempercayai penjelasan Daud. Malah menuduh Mayang berbuat yang tidak-tidak dengan berondong kekar itu.
"Ada apa, Bu?"
Mayang beralih ke Daud yang menatapnya dengan teduh. Dia terlihat menghela nafas. Menetralisir perasaannya.
"Enggak apa-apa. Ayo lanjutkan sarapan. Setelah itu berangkat kerja."
Daud mengangguk dan tidak mempertanyakan lagi. Meskipun dia tahu kalau Marwan membisikan sesuatu yang membuat Mayang marah. Sesuatu yang sifatnya kurang ajar dan tidak pantas.
Daud memang tidak mengenal betul siapa Marwan, selain sebagai saudara dari rekan kerjanya, Stevan. Namun, satu hal yang dia tahu. Pancaran wajah Marwan saat melihat Mayang begitu tajam nan liar. Tipe pria petualang yang tidak akan menyerah menaklukan wanita. Daud bukan asal mengira karena dia sendiri adalah pelaku, tapi dia merasa masih kalah pengalaman dengan Marwan. Masih kalah dalam hal menjajaki lubang kenikmatan.
Namun, yang menjadi pertanyaan besar. Apakah Mayang sudah tergoda dengan Marwan? Dan, Apakah masih ada hubungannya dengan janin yang Mayang kandung?