Mayang berada di ruang tamu dalam keadaan tidak tenang. Bagaimana tidak, dari semalam Novi tidak pulang sama sekali. Kemana Marwan membawanya.
"Novi."
Mayang berbinar begitu melihat sang anak muncul dari balik pintu. Dia langsung menghampiri.
"Ya ampun, Nak. Kamu kemana saja. Ibu cemas memikirkan kamu."
"Novi sekarang kos, Bu."
"Apa? Kos?"
"Iya, supaya Novi bebas melakukan apa saja tanpa campur tangan ibu."
"Ini pasti Marwan kan yang menyuruh kamu?"
"Stop menyalahkan Pak Marwan, Bu! Ini semua kemauan Novi. Dan stop mencampuri semua urusanku termasuk dengan Pak Marwan."
"Novi malas bertengkar dengan Ibu. Novi mau ambil barang-barang Novi."
"Enggak, Ibu tidak mengizinkan kamu untuk ngekos. Kamu punya rumah Novi. Ngapain ngekos segala. Lagian kalau kamu ngekos, apa kamu enggak kasihan melihat Ibu sendirian?"
"Kan sudah ada Om Daud, berondong Ibu. Dan ibu sepertinya lebih nyaman dengan dia dibandingkan denganku."
"Astaga Novi, bicara apa kamu. Daud itu cuma rekan kerja Ibu."
"Rekan kerja kok pakai acara peluk-pelukan segala." Novi sinis.
Mayang memegang dadanya. Kepalanya menggeleng pelan. Inikah Novi anaknya? kenapa seperti orang asing bagi Mayang. Kelakuannya tidak ada tata krama sama sekali. Bahkan sekarang lebih berani kepada orang tua.
"Ya, udah deh. Kalau Novi tidak dibolehkan mengambil barang. Nanti Novi mau minta sama Mas Marwan."
"Novi, mau kemana kamu?"
Mayang tidak mampu mengejar Novi yang sudah menghilang di balik pintu gerbang. Novi benar-benar seperti orang asing baginya sekarang. Marwan memang tidak main-main menghancurkan keluarga Mayang.
Mayang tidak mau larut dalam kesedihan. Dia yakin bahwa ini semua tidak akan berlangsung lama. Semuanya pasti akan lekas membaik.
Mayang berangkat kerja seperti biasa. Dia bersikap sebiasa mungkin meskipun kondisi fisiknya kurang fit. Dia sudah mempersiapkan mental kalau nanti berhadapan dengan Daud.
Namun, saat duduk di kursinya, dia keheranan karena mendapati Stevan di sampingnya.
"Lho, Pak Daud kemana?"
"Dia resign mendadak pagi ini. Tidak tahu apa alasannya. Tapi yang jelas dia mendapatkan denda yang cukup besar karena mengundurkan diri tidak sesuai dengan prosedur." Stevan menjelaskan.
Mayang tercenung. Ini pasti gara-gara kejadian semalam. Mayang tidak menyangka kalau Daud sampai nekad mengundurkan diri. Demi menjauhinya.
Pria itu benar-benar ada rasa dengan Mayang. Penolakan kemaren tentu sangat menyakitkannya.
"Kenapa bengong, Bu? Jangan-jangan ini semua ada kaitannya dengan Bu Mayang?"
"Diam kamu!"
Stevan terkekeh. Mayang tidak mengubris tawa Stevan yang terdengar mengejek. Dia dibuat pusing dengan pikirannya sendiri. Ah, jika seandainya waktu bisa berputar. Dia tidak ingin Daud pergi.
*
Hari-hari Mayang selalu diliputi rasa kesepian. Setiap pagi dia selalu ke sekolah untuk melihat Novi. Gadis itu terlihat lebih bebas dan bahagia. Lebih mudah berbaur dengan teman-temannya. Bahkan penampilannya terlihat lebih modis. Hal yang tidak pernah Mayang lihat selama serumah dengannya.
'Apakah Novi masih membenciku? Apakah gadis itu tidak mempunyai rasa rindu sedikit pun terhadap ibunya?'
Mayang yang duduk di dalam mobil, terlihat mengelus-elus perutnya yang semakin membesar. Sudah empat bulan semenjak Novi memutuskan untuk pergi dari rumah. Selama itu, Mayang hanya bisa melihat Novi dari kejauhan, karena setiap kali melihat Mayang, rasa benci timbul dalam benak Novi. Membuatnya menjadi pribadi yang agresif dan tidak segan mengusir Mayang.
Sekarang Mayang tidak tahan lagi. Rasa rindu sudah sangat menghimpit dadanya. Dia pun memutuskan turun untuk menemui Novi.
"Ngapain ibu ke sini?" Gadis itu berdiri. Menatap sinis ibunya.
"Nak, Ibu kangen sekali sama kamu. Boleh ya, Ibu peluk kamu. Sebentar saja." Mayang membuka kedua tangannya sambil mendekat.
"Enggak! Aku enggak sudi punya ibu seperti kamu! Kata Marwan, Ibu tukang selingkuh. Gara-gara Ibu, keluarga kita hancur! Aku benci Ibu."
Mayang tidak memperdulikan ocehan Novi. Yang dia butuhkan hanya pelukan dari sang anak untuk menghapus dahaga rindunya. Berbulan-bulan dia tersiksa menahan rindu ini.
"Ibu, apaan sih!" Novi berusaha meronta berbanding dengan Mayang yang ingin memeluknya erat. Terjadi kemelut di sana yang menjadi perhatian banyak orang, termasuk Marwan yang mengawasi dari depan ruang kepala sekolah.
"Novi, tolong maafkan Ibu, Nak. Ibu enggak kuat kalau pisah lama-lama sama kamu. Kamu adalah harta ibu satu-satunya."
"Lepaskan! Sampai kapanpun, Novi enggak mau memaafkan ibu. Novi sudah menganggap ibu mati."
Tepat ketika Novi berteriak mati, tubuh Mayang terpelanting. Mayang yang tidak mampu menahan keseimbangan. Terjatuh dengan posisi tengkurap. Benturan perut Mayang langsung mengenai permukaan gamping yang keras. Rasa sakit luar biasa seketika menjalar ke seluruh tubuh.
"Itu akibat ibu yang keras kepala, jatuh kan akhirnya." Bukannya membantu Novi malah memaki-maki Mayang.
Sementara Mayang hanya meringis. Dia memegang perutnya yang kontraksi. Dengan pandangan yang agak kabur, samar-samar dia melihat kakinya bersimbah darah. Dia menjerit panik, setelah akhirnya pingsan.
Mayang terbangun di ruang ICU. Terlihat petugas medis sedang mengelilinginya. Raut wajah mereka tampak menunjukan empati yang dalam.
"Bayi saya mana, Dok?" Mayang berucap sambil mengelus-elus perutnya yang datar.
"Bayi anda sudah kami tempatkan di inkubator, Nyonya Mayang."
"Bagaimana keadaannya, Dok."
Dokter tidak segera menjawab. Dia menoleh ke arah suster di sampingnya, seolah tidak tega untuk mengatakannya.
"Bagaimana keadaan bayi saya, Dok? Apa dia baik-baik saja?"
"Mohon maaf sebelumnya, Nyonya. Bayi anda terlahir tanpa tempurung kepala. Dan karena lahirnya prematur, bayi Nyonya juga mengalami kelainan pada paru-paru dan jantung."
"Hah?" Mayang terkesiap. Dunia serasa mau runtuh saja. Bayi yang dia perjuangkan seorang diri harus mengalami kelainan seperti itu.
"Saya ingin bertemu dengan bayi saya, Dok."
"Sebaiknya jangan dulu, Nyonya. luka di perut anda belum kering sempurna. Kondisi anda juga belum pulih sebaiknya istirahat dulu."
"Bagaimana saya bisa beristirahat dengan tenang, Sus. Kalau saya sendiri belum melihat kondisi bayi saya bagaimana." Mayang berlinang tangis. Sakit yang dia rasakan tidak sebanding dengan penderitaan bayi itu kalau memang apa yang dikatakan dokter benar.
"Tadi, saya sempat merekam kondisi anak Ibu, Ibu bisa melihatnya sekarang." Seorang suster mendekat sambil mengulurkan ponselnya.
Alangkah hancurnya hati Mayang, Dokter tidak berdusta. Ya Tuhan, dosa apa yang Mayang lakukan sampai harus berimbas dengan bayinya yang tidak berdosa itu. Malang sekali nasibmu, Nak. Seandainya, Ibu bisa menggantikan penderitaanmu. Mayang membatin dalam tangisnya.