Chereads / Aku Bukan Istri Setia / Chapter 22 - Sebuah Keputusan

Chapter 22 - Sebuah Keputusan

Dua sejoli itu diarak menuju kantor polisi yang terletak tidak jauh dari luar kompleks. Mayang yang memperhatikannya. Timbul rasa iba. Walaubagaimanapun, Sapto adalah suami yang sudah membangun mahligai rumah tangga selama belasan tahun bersamanya. Bapak dari anak kandungnya, Novi. Hati kecilnya sebenernya tidak tega dia diperlakukan seperti itu.

Tiba-tiba, Sapto berhasil melepaskan diri dari pegangan orang-orang. Yang membuat Mayang terkejut pria itu bersimpuh di kaki Mayang.

"Maafkan aku, Sayang. Tolong jangan perlakukan aku seperti ini." Berhamburan air mata, Sapto memohon kepada Mayang.

Mayang langsung trenyuh dibuatnya. Dia tidak tega melihat lelaki yang masih menjadi suaminya itu mengiba di depannya. Sebenernya, dia hanya ingin pisah baik-baik dengan Sapto tanpa perlu ada arak-arakan seperti ini. Semua ini karena keinginan Marwan yang mau mempermalukan mereka.

"Berdiri kamu, Bajingan!" Marwan menendang kasar tubuh ringkih Sapto. Namun, dia tidak terjengkang karena berpegangan kuat dengan kaki Mayang.

"Pak! Tolong jangan kasar begitu!" Mayang membela Sapto. Dia tidak kuat lagi melihat Sapto dianiaya seperti itu.

"Mereka pantas diperlakukan seperti binatang karena kelakukan mereka melebihi binatang, Bu Mayang!" Marwan menyergah. Tidak sadar diri bahwa sebenernya dialah raja dari segala binatang. Karena tentu tidak terhitung berapa kali Marwan bersenggama dengan wanita lain. Hanya saja dia beruntung karena tidak pernah terciduk.

"Jangan begitu, Pak. Bukankah lebih baik kita selesaikan secara baik-baik. Memenjarakan mereka bukan solusi terbaik."

Marwan terdiam. Menimbang apa yang dikatakan Mayang. Beberapa saat kemudian, dia mengomando bapak-bapak yang ikut arak-arakan untuk bubar. Dia berubah pikiran ingin menyelesaikan semua ini secara baik-baik.

"Sekarang, kita kembali ke rumah Bu Mayang." Marwan memerintah. Kedua pesakitan itu tampak pasrah. Terlebih Sari yang sepertinya syok karena untuk pertama kalinya dalam hidup dipermalukan di depan khalayak ramai. Namun, masih beruntung karena mereka belum sampai di bawa ke polisi. Selain akan masuk penjara, aib itu akan terkenang seumur hidup.

Sari dan Sapto duduk berseberangan dengan Mayang yang duduk di sebelah Marwan. Siap menerima penghakiman dari mereka.

"Sekarang bagaimana, Bu Mayang?" Marwan meminta pendapat Mayang karena dialah yang menyuruh mereka bicara secara kekeluargaan.

Mayang menghela nafas. Ada sedikit ganjalan yang membenak. Namun, keputusan sudah mantap dia ambil.

"Karena saya tidak ingin Novi kecewa dengan ayahnya, atas perbuatan yang dia lakukan. Maka, aku tidak ingin dia di penjara, tapi tetap aku akan meminta cerai darinya."

Sapto yang bersimbah air mata langsung menggeleng-gelengkan kepala. Sumpah! Dia tidak rela kalau kehilangan Mayang.

Marwan yang segera mengetahui gerak-gerik dari Sapto langsung membentaknya.

"Suka tidak suka, terima keputusan Bu Mayang! Ini konsekuensi dari perbuatan kalian!"

Sapto langsung membungkam mulutnya. Rasa sakit masih terasa di wajah Sapto akibat hujaman pukulan Marwan. Dia tidak ingin mati konyol. Terlebih lagi, sekeras apapun usahanya untuk meminta Mayang mengurungkan niatnya. Percuma saja. Karena kecil kemungkinan Mayang mau menerimanya lagi.

"Kamu juga harus siap aku ceraikan, Sari. Setelah itu kamu bebas berhubungan dengan lelaki ini." Marwan menambahkan.

Tidak ada balasan dari mereka berdua yang membuat suasana hening. Suasana baru terpecahkan saat Mayang memanggil Sapto.

"Mas,"

Sapto mendongak. Matanya menatap penuh harap kepada Mayang. Berharap istrinya itu mengurungkan niatnya meminta cerai.

"Aku minta setelah berpisah nanti. Kamu harus sering mengunjungi Novi. Supaya dia tidak kehilangan sosok ayah kandungnya."

"Tapi, izinkan aku bersamamu sampai bayi kita lahir Sayang." Sapto masih mengiba.

"Ini bukan bayi kamu, Mas."

Sapto terbelalak. Tidak mengerti maksud dari perkataan Mayang.

"Maksud kamu apa? Kamu juga selingkuh?"

"Iya, dan ayah dari anak yang ada di dalam kandunganku ini adalah…Pak Marwan."

Bagai petir menyambar, baik Sapto dan Sari terbelalak. Rupanya, tanpa mereka ketahui Mayang dan Marwan melakukan perselingkuhan yang sama. Sekarang impas. Selingkuh dibalas selingkuh. Mereka kini seperti bertukar pasangan.

"Tidak usah marah, Mas. Anggap saja ini impas. Jadi Mas bebas menjalin hubungan dengan Sari. Begitupun aku bersama Pak Marwan."

Perasaan campuraduk terjadi di ruang tamu itu. Terlebih Sapto yang kecewa dengan Mayang yang ternyata selingkuh juga. Namun, dia tidak punya hak untuk marah. Semua sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur. Sepertinya mereka ditakdirkan untuk berpisah dengan cara seperti ini.

Setelah mengemasi barang-barangnya, Sapto pergi dari rumah itu bersama Sari. Rumah yang dia belikan itu atas nama Mayang, sehingga tidak mungkin dia mengusirnya. Tinggal mengurus perceraian saja. Mereka sudah resmi memiliki kehidupan masing-masing.

"Sudah selesai masalah, saya pulang dulu." Marwan berlalu dari hadapan Mayang. Namun langkahnya terhenti saat Mayang mencekal tangannya.

"Pak, terus bagaimana dengan kita?"

"Apanya yang bagaimana? Kamu kan harus menunggu anak itu lahir baru bisa menggugat cerai Sapto?"

"Tapi, aku minta kejelasan hubungan kita, Pak. Bapak lihat sendiri aku tadi sudah mengaku kalau anak ini adalah anakmu."

"Pengakuan tanpa bukti sama saja omong kosong. Lagipula belum tentu anak itu anakku. Bisa saja itu memang anak Sapto, atau mungkin ada lelaki lain."

Mayang terperangah. Setelah apa yang dia lakukan kepada Marwan, bisa-bisanya pria itu berkata seperti itu. Walaupun sebenernya ada kekhawatiran dalam benak Mayang, tentang siapa ayah dari janin yang dikandungnya. Entah Marwan, Sapto, atau preman pasar.

"Sudahlah kamu tenang saja. kalau semisal anak itu anakku terbukti dari tes DNA. Maka hari itu juga aku akan menikahimu. Tapi, kalau tidak, cari ayah lain yang sekiranya mau menerima anak orang lain."

Mayang terdiam. Sampai Marwan berlalu. Dia tidak bergeming dari posisinya. Apa yang terlontar dari Marwan sangat sarkas terasa. Menyindir dirinya yang pernah bersenggama dengan pria lain. Dan Itu memang faktanya. Mayang tidak bisa memungkiri. Marwan memang sangat jeli melihat wanita.

Kini, dia hanya berharap semoga anak yang ada dalam kandungannya ini adalah benih Marwan. Supaya Marwan bisa menjadi miliknya. Semoga saja.

Keesokan harinya, Mayang menjalani aktifitas seperti biasa. Dia sedikit agak aneh melihat Novi yang memegang kepalanya sambil meringis.

"Kamu kenapa Nak?"

"Kepala saya pusing, Bu. Sepertinya ini efek dari minum minuman dari Bu Sari semalam."

Mayang mencerna perkataan Novi. Pasti itu adalah minuman yang sudah dicampur dengan obat tidur dengan dosis yang lebih tinggi. Sengaja supaya Novi terlelap sehingga Sari dan Sapto bebas bersenggama.

"Oh, iya. Bapak mana Bu?"

Mayang menghela nafas. Belum saatnya dia mengatakan semuanya. Sejujur-jujurnya. Dia tidak ingin anaknya kecewa.

"Bapakmu lagi ada kerjaan di luar kota, Nak."

"Bapak bagaimana sih. Waktunya liburan kok kerja terus. Memangnya uang hasil kerja di Freeport kurang?" Novi merajuk. Mayang tersenyum sambil mengelus pelan rambut panjang anaknya. Dia mengerti kalau Novi sangat ingin menghabiskan waktu bersama dengan ayahnya. Hanya saja keadaan yang tidak memungkinkan sekarang.

"Sudah-sudah. Pagi-pagi kok cemberut gitu. Nanti cantiknya hilang lho. Sekarang lekas makan, setelah itu berangkat sekolah."

Novi menurut. Begitu selesai makan dan membereskan semuanya. Ibu dan Anak itu bergegas ke depan. Menuju mobil yang terparkir di garasi.

Saat akan memasuki mobil, tiba-tiba dari rumah sebelah, Marwan menyapa mereka.

"Novi, ikut sama bapak saja yuk."