Marwan masuk ke kamar mandi dan menutup pintunya. Dia bersiul-siul santai sambil hendak melepas pakaiannya, tanpa menyadari kalau ada seorang wanita yang berdiri mematung karena syok.
"Bu Mayang? Ngapain di sini?"
Pria itu tidak kalah terkejutnya. Alisnya yang tebal tampak naik sebelah. Wajah seramnya tampak keheranan dengan Mayang yang tanpa dia duga ada di stadion ini. Lebih heran lagi sekarang dia berada di toilet cowok.
"A-anu, anu." Mayang gelagapan. Dia memejamkan mata sambil menepuk jidat. Padahal, dia hampir selamat karena keluar dari kamar mandi cowok tanpa ketahuan. Sekarang justru dia berhadapan dengan Marwan, orang yang paling tidak dia ingin temui di stadion ini.
"Apa anu-anu? Ngomong yang jelas?" Marwan mempertegas ucapannya. Dari nada suaranya terdengar jelas bahwa dia kurang suka dengan kehadiran Mayang di sini.
Pria itu terlihat membalikan badan sejenak. Mengunci pintu toilet. Sepertinya dia tidak ingin ada orang lain yang mengetahui pembicaraan ini.
"I-itu, Pak. Saya tadi buru-buru ingin buang air, tapi saya malah salah masuk."
Marwan tidak segera merespon. Dia menatap tajam Mayang seolah ingin memakannya hidup-hidup. Mayang dibuat ketakutan karenanya.
"Terus, ngapain anda datang ke stadion ini?"
Mayang tersentak. Sumpah demi apapun, dia tidak mengantisipasi jawaban kalau sampai ketahuan seperti ini. Raut wajahnya memerah. Padahal, dia berniat mengikuti Marwan diam-diam, tapi malah ketahuan dengan cara yang memalukan seperti ini. di kamar mandi cowok lagi. Terlebih sekarang Mayang berhadapan dengan Marwan yang nyaris tanpa busana.
"Saya permisi keluar dulu, Pak."
Karena sudah tidak tahan menahan malu sampai wajahnya semerah tomat, Mayang menunduk dan mempercepat jalannya. Melalui samping tubuh Marwan. Namun mendadak sebuah tangan besar mengenggam lengannya.
"Mau kemana Bu Mayang? Jawab dulu pertanyaan saya. Anda punya etika atau tidak?" Marwan gusar. Mayang yang tidak bisa berontak menelan ludah. Padahal kalau tidak dipegang, dia ingin sekali lari dengan sekencang-kencangnya.
"Saya hanya ingin melihat bapak bertanding? Apa itu salah?" Mayang membentak. Untuk apa lagi kalau bukan untuk menutupi rasa malunya.
"Terus, kenapa Bu Mayang tidak bilang dari awal. Kan bisa ikut tadi bersama dengan Novi dan istriku daripada harus sembunyi-sembunyi." Marwan menjawab tangkas.
Mayang mendesah. Kenapa pria ini tidak peka sih. Mana mau Mayang ikut kalau bersama dengan istri. Yang ada Mayang kesal melihat keakraban mereka seperti yang dipamerkan di tengah stadion tadi.
"Mau Bu Mayang apa sih sebenernya sampai mengikutiku ? Jujur saja." Marwan mendesak.
Mayang memutar mata jengah. Apa dia bilang tadi? Jujur? Kurang jujur apa Mayang selama ini kepada Marwan. Sampai Mayang yang meminta kepastian atas hubungan mereka, Tapi apa? Marwan malah meragukan status janin yang ada di dalam kandungannya. Padahal jelas-jelas, dialah yang sudah menabur benih. Mayang sakit hati kalau mengingatnya.
Di tengah situasi genting begitu, ada sesuatu yang terlihat menggeliat di balik celana Marwan. Mayang sampai mengalihkan pandangannya. Sesuatu itu memunculkan kepalanya di balik celana olahraga Marwan.
"Bu, tatap mata saya kalau sedang berbicara." Marwan memerintah. Raut wajah garangnya terlihat aneh. Memerah seperti menahan sesuatu. Apa mungkin Marwan panas karena melihat lekuk tubuh Mayang yang sempurna sampai bajunya sesak.
"Saya harus bicara apa Pak? Bukannya saya sudah menjelaskan tadi." Mayang berdalih. Ekor matanya masih menangkap sesuatu itu yang semakin jelas. Menghipnotis insting kewanitaannya untuk melihatnya lagi dan lagi. Kalau bisa terus-menerus.
"Tetap saja saya tidak suka kalau diikuti diam-diam. Kalau memang Bu Mayang ingin sesuatu lebih baik bicara langsung sama saya!" ujarnya dengan suara meninggi, tapi jelas sekali di pendengaran Mayang kalau suara bass itu bergetar, seolah tidak sabar untuk mengeluarkan lahar.
"Terus mau Pak Marwan apa?" Mayang membalas dengan nada menantang. Apa yang ada di hadapannya ini sudah sangat menggairahkan. Rasa malu perlahan hilang, berganti menjadi rasa haus yang teramat sangat.
"Anda harus dihukum. Ayo ikut saya."
Mayang pasrah saat tangannya ditarik menuju bilik yang ditempatinya tadi. Bukannya meronta, malah Mayang seperti tidak sabaran. Tepat seperti apa yang dia bayangkan kalau Marwan akan menghukumnya dengan cara yang lain. Terlihat, dia dengan santai menarik celananya ke bawah dan sesuatu yang tersembunyi menggelepar begitu saja.
"Ayo lakukan!"
Mayang yang sudah kerasukan langsung jongkok. Melakukan apa yang seharusnya tidak usah diperintah. Ada Mayang. Ada Marwan. Dua orang dengan kelebihan tubuh masing-masing. Saling terpaut. Setan-setan yang ada di kamar mandi tersebut bersorak melihat mereka, atau justru setan yang berada dalam diri mereka masing-masing?
"Bagus, seperti itu."
Marwan mengerang. Terlihat sekali dia begitu lega dengan apa yang dilakukan Mayang. Padahal Marwan tentu sudah sering melakukannya dengan istri-istrinya, tapi entah kenapa kalau bersama dengan Mayang rasanya beda.
Begitupun Mayang. Dia merasakan gairahnya terbakar semenjak hamil. Meski, dia tidak tahu apa hubungannya. Sepertinya sudah naluri saja. Apalagi kalau melihat Marwan. Lelaki yang Mayang harapkan menjadi suaminya nanti.
"Sayang, kamu pulang duluan ya sama Novi. Ayah mau ngopi sama teman-teman." Marwan berkata dengan orang diseberang sana yang tidak lain istrinya dengan menahan suaranya supaya tidak mendesah. Dasar lelaki buaya! Pandai sekali berkilah.
Marwan meletakan ponselnya begitu saja ke dalam tas kecilnya. Kedua tangannya lalu memegang kedua sisi kepala Mayang dan menggerakannya maju mundur supaya lebih cepat. Dan persenggamaan lebih hebat terjadi di toilet stadion itu. Sepinya tempat membuat mereka leluasa. Baik Mayang dan Marwan sama-sama menikmati. Entah berapa kali mereka melakukannya, sampai peluh membanjiri tubuh mereka.
"Rapikan pakaianmu kembali, Bu."
Marwan memerintah setelah melepas penat. Dia sendiri juga buru-buru membilas tubuhnya, setelah kemudian memakai pakaiannya kembali. Sedangkan Mayang, hanya merapikan kancing baju dan roknya, setelah mencuci apa yang seharusnya dicuci.
Marwan berjalan terlebih dahulu. Setelah memastikan keadaan aman, dia memberi kode kepada Mayang untuk keluar.
Mayang hanya menurut, walau sebenernya dia ingin tersenyum geli melihat tingkah Marwan yang takut ketahuan orang. Mungkin karena jabatannya sebagai kepala sekolah, maka dia tidak ingin digrebek dalam keadaan konyol.
"Mobil Bu Mayang di mana?"
Mayang menunjuk ke arah mobil sedan merah yang terparkir sendirian. Astaga, sudah berapa lama mereka bermain cinta sampai-sampai tidak menyadari kalau keadaan begitu sangat sepi. Saking keenakannya mereka berdua sampai lupa waktu.
"Sini, kuncinya. Biar saya yang nyetir."
Mayang menyerahkan kunci mobilnya. Sebelum, masuk ke kursi kemudi, terlebih dahulu Marwan membukakan pintu kepada Mayang dan mempersilakan duduk dengan rileks. Mayang mengigit bibir tersenyum. Sikap Marwan sudah selayaknya suami yang bersikap manis dengan istri. Apalagi, Mayang yang dalam keadaan menggandung.
Marwan menggerakan mobil dengan laju sedang. Padahal jalanan sudah sepi dari arus kendaraan yang pulang kerja, sehingga memungkinkan lebih cepat. Mayang kembali menggigit bibir. Apa jangan-jangan Marwan sengaja karena perhatian dengan janin yang dikandungnya?
"Lain kali kamu jangan mengutit aku lagi ya? aku enggak suka" Tuh kan Marwan bicaranya sudah pakai aku kamu. Mayang mau terbang rasanya.
Ingin sekali Mayang menjawabnya dengan bermanja-manja, tapi waktunya tidak tepat. Dan lagi, ada penyesalan di dalam dirinya tentang persenggamaan tadi. Hal yang ingin sekali dia tahan, tapi enggak bisa. Ada dorongan yang begitu kuat. Kehamilannya tidak hanya memicu tentang nafsu makan meninggi, rasa ingin diperhatikan, melainkan rasa panas menggebu yang harus dilampiaskan. Dan yang bisa memuaskannya hanyalah Marwan seorang.
Tiba-tiba, ada tangan yang memegang perutnya. Mayang mengaburkan lamunannya dan menoleh ke arah Marwan. Terlihat pria itu dengan sepenuh hati memegang perut Mayang yang membesar. Seakan memberikan rasa kepada darah dagingnya sendiri. Mayang bisa merasakan kenyamanan seperti dipegang suaminya sendiri. Namun sekali lagi, Ini adalah ekspektasi Mayang yang berlebihan. Kenyataannya tidak seindah itu. Baru disentuh perutnya, pikiran Mayang sudah berlebihan.
"Sudah cek kandungan?" Marwan bertanya. Mayang hanya menggelengkan kepala. Mendadak dia membisu karena sibuk berbicara dengan diri sendiri alias membatin.
"Kamu kalau ditanya itu jawab lah."
"Belum sempat, Pak." Akhirnya keluar juga kata-kata Mayang. Terdengar manja dan genit.
"Gimana sih kamu? Masa sama calon bayi sendiri tidak perhatian." Marwan sudah seperti suami yang memarahi istrinya.
"Habis gimana Pak, Enggak ada yang nganterin." Mayang sudah tidak tahan untuk manja dengan Marwan. Senang sekali rasanya menggoda Marwan yang galak.
Marwan mendengus kasar. Kesal dengan Mayang yang dibilangin, tapi malah berkata santai tanpa dosa. Dan entah sejak kapan dia menjadi peduli dengan calon bayi yang belum jelas siapa ayahnya itu.
"Ya, sudah. Biar aku anterin."