"Selamat Pagi, Bu Mayang."
Marwan mendekati Mayang sambil membawa wanita di sampingnya. Mereka bergandengan tampak mesra sekali. Seakan ingin pamer kepada Mayang.
"Selamat Pagi, Pak." Mayang membalas. Sungguh rasanya dia ingin memarahi Pak Marwan. Namun, dia diingat jika bukan siapa-siapanya. Mayang heran kepada dirinya sendiri yang seolah menginginkan Pak Marwan menjadi miliknya sepenuhnya.
"Perkenalkan, dia Sari. Istri kedua saya." Marwan memperkenalkan wanita di sampingnya. Mayang dengan berat hati menyambut jabatan tangan Sari. Menurutnya, wanita itu tampak biasa saja. Tidak lebih cantik darinya.
"Mayang." Mayang berkata pendek dan segera melepas tangannya. Marwan yang mengetahui gerak-gerik Mayang hanya menyeringai.
"Kalau begitu kami permisi dulu, Bu. Ada urusan." Marwan berkata sebelum berlalu dari hadapan Mayang. Membiarkan Mayang dalam bayang-bayang rasa sakit yang tidak berdarah. Karena cemburu tanpa rasa memiliki.
Mayang pun menatap punggung lebar Marwan. Ada kesedihan yang menggelayuti hatinya. Ada rasa kehilangan yang begitu besar. Namun, kebalikannya Marwan tidak merasakan hal yang sama. Dia terlihat biasa saja. Bahkan dengan mudah berpaling dengan istri-istrinya.
Mayang pun berlalu dari sana. Sesampainya di mobil, dia menumpahkan segala perasaan yang menggelayuti batinnya dengan tangis yang mendera. Kenapa harus ada pertemuan dengan Pak Marwan kalau akhirnya dia dilupakan?
Memang semua ini adalah salahnya. Kalau dari awal, Mayang tidak membuka pintu hati dan membiarkan pria lain memasukinya. Mungkin hatinya sekarang masih hampa, tapi tidak terluka. Sekarang, Mayang terkena api dari permainannya sendiri. Merasakan sakit sendiri.
Mayang kembali berusaha menata hati. Lantas kembali melajukan mobilnya. Apapun yang terjadi. Hidup akan terus berjalan. Tidak boleh dia lemah. Dia menyakini kalau pasti ada hikmah dari semua ini.
Di tempat bekerja, Mayang melayani nasabah seperti biasa. Dia memang wanita agak berumur tapi dengan kecantikan yang masih terpancar. Membuat para nasabah terutama laki-laki betah untuk ngobrol dengannya. Secara tidak langsung obrolan itu membuat Mayang bisa melupakan kejadian tadi pagi.
Di jam istirahat, Stevan mendekatinya. Meskipun sebenernya, Mayang sudah malas untuk berhubungan yang berkaitan dengan Marwan, termasuk dengan si jangkung yang menjadi adiknya itu.
"Bu Mayang dicariin Mas Marwan Lho." Stevan mulai menggoda. Mayang yang sedang menghabiskan makanan terlihat memutar mata jengah.
"Tadi, sudah ketemu di sekolah." Mayang menjawab pendek. Berharap Stevan segera menyingkir darinya.
"Tapi, kok wajahnya bête gitu?" Stevan kembali menyerangnya.
"Enggak apa-apa." Mayang menyahut sambil mengunyah makanan.
"Saya dengar Bu Mayang sudah enggak mau berhubungan dengan Mas Marwan?" Selidiknya.
"Apaan sih kamu! Ingin tahu urusan orang!" Mayang gusar. Namun, dia masih menekan nada bicaranya karena masih dalam ruang lingkup Bank. Dia tidak mau hubungannya dengan Marwan diketahui banyak orang dan menjadi fitnah.
"Santai dong, Bu. Saya kan cuma tanya. Tapi kalau memang Bu Mayang yang memutuskan untuk berpisah kenapa Bu Mayang Bete begitu?"
Mayang menghela nafas. Ingin rasanya dia melempar Tupperware langsung ke wajah pria bertubuh ceking itu sampai tersungkur di lantai. Dia tidak tahu apa kalau Mayang sedang sebal luar biasa. Cemburu yang menggelora gara-gara Marwan yang bermesraan dengan Sari. Padahal hal yang wajar mengingat mereka suami istri, Tapi Mayang tidak terima.
"Asal tahu saja, Kalau sebenernya Mas Marwan itu tidak rela kalau berpisah dengan Bu Mayang. Dia sendiri yang curhat denganku."
"Sungguh?" Refleks Mayang menoleh dengan wajah berbinar. Namun, beberapa detik kemudian dia tersadar akan sikapnya itu yang membuat Stevan hanya tersenyum menggoda.
"Tuh kan, pasti Bu Mayang masih suka sama Mas Marwan. Tapi malu mengakui."
Wajah Mayang semerah kepiting rebus. Ketahuan masih mengharapkan kepala sekolah yang macho itu. Sungguh dia merindukan momen-momen ketika di dekat Marwan. Bagaimana mencium aroma tubuhnya, mendengar suaranya, permainannya. Membuat Mayang rindu setengah mati untuk mengulangnya lagi dan lagi.
"Mas Marwan begitu menyukai Bu Mayang Lho. Dia tidak ingin kehilangan Bu Mayang."
"Ah, gombal."
"Serius. Dia bahkan memintaku untuk membicarakan hal ini dengan Bu Mayang langsung. Beliau kangen sama ibu."
Mayang menggigit bibir. Tingkat kepercayaan dirinya mulai naik kalau ternyata Marwan juga mempunyai perasaan yang sama. Namun, mendadak sirna lagi karena teringat kejadian tadi pagi, di mana Marwan begitu mesra menggandeng Sari.
"Tapi, saya tidak, Pak. Dan saya tidak ingin bertemu dengan dia lagi. Sudah cukup. Saya sudah bersuami dan punya anak. Jadi tolong hargai saya."
"Tapi, janin yang ada di kandungan ibu itu benih Mas Marwan kan?" Stevan sedikit meninggikan bicaranya.
"Jangan keras-keras." Mayang memperingatkan. Untung saja tidak terdengar oleh para staff lain yang sedang sibuk dengan obrolan masing-masing.
"Bagaimana mungkin Bu Mayang bisa melupakan Mas Marwan kalau di kandungan ibu saja anaknya?" Stevan memelankan nada bicaranya. Berbisik dan menekan. Mayang hanya mendengus pelan. Padahal, Dia hanya ingin bebas. Ingin menjalani hidup normal bersama suami dan anak. Tapi, ada satu hal yang tidak bisa dia lupakan begitu saja. Kehidupan yang ada di rahimnya itu adalah milik Marwan. Pria itu sangat berhak akan hal itu. Tapi di sisi lain, dia tidak ingin membuat Sapto kecewa. Sungguh rumit rasanya.
"Iya, saya tahu Stevan. Saya tidak memungkiri kalau anak ini adalah buah cinta dengan kakakmu. Tapi, harus kalian ingat kalau aku ini sudah berkeluarga. Aku tidak bisa serta merta mengatakan kepada mereka bahwa anak ini adalah anak orang lain. Jelas itu akan menyakiti perasaan mereka. Aku akan menjelaskan dengan pelan-pelan."
"Bagus kalau begitu, saya senang mendengarnya karena sebenernya jika kamu berkenan, Mas Marwan ingin menjadikanmu istri ke limanya."
Mataku terbelalak. Menjadi istri kelima dari Marwan Adalah hal yang tidak pernah terlintas di benakku. Hal yang membuat Mayang takjub sampai sekarang adalah bagaimana perkasanya Marwan sampai bisa memuaskan empat istri. Bahkan, dia sendiri kurang puas sampai mencari istri lagi.
Mayang antara mau tidak mau. Sejujurnya dia masih mencintai Sapto, tapi di sisi lain, tidak ada yang bisa segagah Marwan ketika bersenggama. Dan lagi menjadi istri kelima? Sepertinya bukan masalah selama Marwan bisa adil. Tidak tidak butuh nafkah lahir, tapi lebih ke batin. Mayang tidak bisa membayangkan bagaimana kesehariannya dipuaskan oleh Marwan.
Mayang terus memikirkan hal itu sampai pulang bekerja. Ketika sampai di rumah, dia langsung menghubungi suaminya, Sapto yang sekarang berada di Jakarta karena ada keperluan. Namun, ketika telefon bersambung, alangkah terkejutnya dia saat yang mengangkatnya adalah seorang wanita yang sedang mendesah hebat.