"Ini sangat luar biasa!" Aku tertawa, melihat dari balik bahuku ke arah Rain, ketika dua pria berlari ke arah kami dan membantu keluar dari perlengkapan kami.
"Aku tahu kamu akan menyukainya." Seru Rain tersenyum saat kami berdiri.
"Aku tidak menyukainya." Aku berbohong, dan dia tersenyum dan bergumam. "Dasar Pembohong." Sambil melingkarkan lengannya di pundakku dan menuntunku menuju truk yang akan membawa kita kembali ke hangar.
Begitu kami tiba kembali ke hangar, Rain pergi untuk berbicara dengan Fiky yang telah kembali sebelum kami, jadi aku masuk ke dalam untuk mengambil sebotol air kemudian melihat mereka memiliki foto terjun payung kami tadi.
"Aku mau dua yang ini." Kataku pada gadis yang bekerja di belakang meja di dalam kantor Pak Hans saat aku menunjuk ke foto kami berdua tersenyum satu sama lain setelah Rain membuka parasut.
"Apakah Anda ingin menambahkan bingkai peringatan seharga tiga puluh ribu?" Tanyanya, menunjuk ke bingkai foto kaca dengan logo Hans Skydiving dan sebuah pesawat kecil yang dilukis di atasnya tergeletak di rak di belakangnya.
"Bisakah aku mendapatkan dua sekaligus?"
"Tentu." Dia tersenyum sebelum menghilang melalui pintu di belakangnya. Berbalik untuk memastikan Rain masih sibuk, aku melihat dia dan Fiky berdiri di samping mobil kantor, sementara ketiga pacar Fiky bersantai di bawah sinar matahari di atas meja piknik beberapa meter jauhnya. Ketiganya telah mengambil kesempatan untuk melepas kemeja mereka dan meninggalkan mereka dalam atasan bikini warna berbeda.
"Biayanya tujuh puluh ribu." Kata gadis itu, menarik perhatianku dari jendela, sambil meletakkan tas di atas meja.
Aku menarik uang seratus ribu dari bra, lalu menyerahkannya kepada gadis itu seraya mengambil tas dan foto-fotonya bersama kembalian uangku. Aku langsung keluar menuju ke tempat Rain, berencana untuk menunggu di dalam mobil sampai dia siap untuk pergi. Tapi begitu dia melihatku, dia memberiku senyuman yang membuat langkahku goyah.
"Aku harap Kamu tidak membayar untuk hal-hal itu." Katanya begitu aku berdiri di sampingnya.
"Mengapa aku tidak membayarnya?"
"Aku dan Fiky memberi Pak Hans uang untuk memulai tempat ini beberapa tahun lalu. Sebagai gantinya, kami tidak membayar saat kami ingin melompat, dan Kamu tidak perlu membayar jika ingin suvenir."
"Yah, dengan senang hati aku akan membayarnya." Gumamku dan dia mengayunkan lengannya ke bahuku, menggelengkan kepalanya lalu melihat ke arah Fiky yang sedang menatap kami dengan senyum penuh arti di wajahnya. Apa yang dia pikir dia tahu, dan aku tidak tahu.
"Kita akan bicara beberapa hari lagi." Kata Rain sambil membukakan pintu untuk ku masuk ke mobil yang tidak beroperasi.
"Terima kasih sobat." Dia menjabat tangan Rain, lalu menatapku. "Kamu masih memiliki nomor ku?. Telpon aku ya."
Aku langsung mendengus dan bergumam. "Selamat tinggal." Lalu aku masuk ke dalam mobil, mendengar kedua pria itu tertawa di belakangku.
"Apakah kamu bersenang-senang, sayang?" Pak Hans bertanya saat matanya terhubung dengan mata ku di kaca spion dan aku meluncur di kursi belakang.
"Jangan beri tahu siapa pun, tapi itu luar biasa." Aku menyeringai, dan dia terkekeh lalu bergumam, "Rahasiamu aman bersamaku."
"Rahasia apa?" Rain bertanya, masuk ke dalam mobil dan menutup pintu di belakangnya.
"Tidak ada," kata Pak Hans dan aku berbarengan.
"Apakah kamu senang ataupun bahagia?" Rain bertanya, dan aku melihat Pak Hans di cermin sebentar sebelum melihat Rain.
"Jika kamu merasa takut akan pipis di celana sambil melihat hidupmu berlalu di depan matamu yang sangat menyenangkan, maka tentu saja aku bersenang-senang," Kataku dengan wajah lurus, mendengar Pak Hans di kursi depan tertawa.
"Kamu menyukainya." Gumam Rain sebelum mengeluarkan ponsel dari sakunya. Aku langsung melihat ke luar jendela, aku tersenyum pada diriku sendiri lalu melirik Pak Hans yang matanya tertuju padaku, dan aku mengedipkan mata.
"Kamu mengutuk."
Aku menarik mataku dari pemandangan yang berlalu dengan cepat saat kami berkendara kembali ke kantor, aku melihat ke arah Rain dan mengerutkan kening lalu bertanya "Maaf?"
"Saat kita melompat, kamu mengutuk seperti seorang pelaut." Dia menyeringai.
"Aku pikir, aku akan mati." Aku menjelaskan dan tidak menyangkalnya. Aku bahkan tidak tahu apa yang merasukiku saat setiap kata buruk yang pernah kupikirkan keluar dari mulutku.
"Itu lucu." Dia bergumam pelan sebelum kembali bekerja dengan teleponnya. Aku pun menarik ponsel lama dari saku depan celana jinsku, aku membukanya dan mengerutkan kening. Layar telah menjadi hitam sepenuhnya. Aku menutupnya lagi dan membuka sekali lagi lalu menekan angkanya dan menyala.
"Apa yang salah?" Rain bertanya, dan aku menoleh untuk melihatnya dan mengangkat teleponku.
"Ini tidak bekerja."
"Biarku lihat." Rain mengambil telepon dari tangan ku, dia menarik baterainya dari bagian belakang lalu memasangnya kembali dan menekan tombol on. "Aku pikir inilah saatnya bagi kamu untuk mendapatkan ponsel yang bukan dari tahun baholak."
"Aku sudah memiliki telepon itu sejak berumur dua puluh." Gumam ku, mengambil telepon darinya dan menekan tombol sekali lagi. Itu selalu dapat dipercaya.
"Yah, aku lihat sepertinya tidak bisa hidup lagi."
"Aku ingin tahu apakah aku bisa memperbaikinya." Aku menggerutu dan mengetuk layarnya lagi.
"Kami bisa berhenti dan membelikanmu ponsel baru."
"Tapi ponsel ini menyimpan banyak nomor kontak yang sangat penting di dalamnya." Keluh ku seraya menekan tombol dan berharap sesuatu akan terjadi saat layar dengan ajaib menyala, tapi semua yang terjadi adalah salah satu angka yang ditekan tetapi malah menempel.
"Maaf, sayang."
"Aku mempersempit mataku dan menatapnya. "Kamu tidak terdengar menyesal."
"Ponsel itu sudah tua, dan aku tidak dapat membayangkan jika itu dapat diandalkan. Kamu akan memerlukan sesuatu yang berfungsi saat dirimu membutuhkannya untuk bekerja, dan aku ingin kamu memiliki telepon agar aku dapat menghubungi mu." Dia mengangkat bahu lalu menyuruh Pak Hans berhenti di salah satu toko HP setempat.
Pada saat kami selesai membeli ponsel baru dan makan malam di restoran kecil, kami kembali ke klub pukul sebelas lewat sedikit, dan garis di luar sudah membentang di sekitar gedung. Berjalan menyusuri jalan dan melewati antrian tunggu, Rain berhenti ketika sekelompok wanita yang jelas mengenalnya, memanggil Rain. Sambil menunggu beberapa meter jauhnya dari klub, aku mengeluarkan ponsel baru yang di belikan Rain lalu menyalakan layar. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan dengan ponsel yang tampaknya lebih pintar dari ku dan itu bahkan tidak disertai dengan instruksi manual.
"Siap?" Tanya Rain, membuatku terlonjak. Aku melihat dari balik bahu ku saat dia menuntun ke trotoar. Aku melihat sekelompok wanita semua memperhatikan kami dengan cibiran di wajah mereka.
"Rain." Seseorang memanggil, dan dia meletakkan tangannya di punggung bawahku.
"Beri aku waktu sebentar, sayang. Tunggu saja di sini." Gumamnya saat dia berjalan menuju sekelompok wanita lain, yang semuanya tersenyum dan tertawa saat dia menuju ke arah mereka.
Mengamatinya dari kejauhan, aku tidak dapat mendengar apa yang dikatakan para wanita itu, tetapi bahasa tubuh mereka meneriakkan segalanya dengan keras dan jelas. Sesuatu yang buruk bergeser melalui pikiranku saat melihatnya tersenyum, dan aku mendapati diriku berjalan sendirian menuju pintu masuk klub. Aku tidak ingin menyaksikan lebih dari yang aku butuhkan. Aku pun tersenyum pada Zio ketika mencapai garis depan, dia menyeringai ke belakang dan mengangkat tali merah, membiarkanku meluncur di bawah lengannya.
Aku merasakan tubuh ku tertekan dan sebuah tangan melingkari pinggul ku, lalu menarik ku kembali ke dalam ransangan yang cukup keras. Aku melihat ke belakang, siap untuk memberi tahu siapa pun itu untuk tidak menyentuh ku. Aku melihat ketika Rain mendorong jalannya di antara orang-orang dan menarik pria itu keluar sehingga tangannya melepaskan pinggulkuku, lalu melemparkannya ke Zio.