"APAKAH kami perlu pergi ke tempatmu untuk membeli beberapa barang?" Rain bertanya dan mengabaikanku.
"Aku tidak akan tinggal bersamamu." Ulangku.
"Memang benar." Katanya sambil keluar dari kantornya. Aku memasukkan tangan ke saku tas untuk mengambil cermin, lalu melihat diri ku di cermin. Aku pikir telah melakukan pekerjaan yang baik untuk menutupi memar, tetapi ternyata tidak.
"Sesil."
"Apa?" Aku terengah-engah, mendongak dari komputer sekali lagi ketika dia kembali ke kantor.
"Bangun. Kita akan bertemu dengan makelar dalam tiga puluh menit."
"Maaf?"
"Kamu benar. Tempatku sekarang tidak benar-benar punya ruang." Dia menggerutu saat berjalan ke kamar mandi dan langsung menutup pintu, lalu melanjutkan berbicara melalui celah kecil. "Kita akan melihat beberapa rumah." Katanya, dan aku bisa mendengarnya menyiram, air menyala sebelum pintu terbuka dan dia melangkah keluar." Apakah kamu butuh sesuatu sebelum kita pergi?"
"Kamu gila?" Tanyaku, mengerutkan kening dan berdiri dari kursi tempatku duduk.
"Tidak." Bantahnya, berjalan ke arahku. Dia mengambil siku ku, lalu berhenti di pintu dan meraih tas lalu menarik ku bersamanya keluar dari kantor dan menuruni tangga setelah itu berjalan melalui klub. Dia kemudian membawa ku ke mobil besar nya dan memasukkan aku ke dalam. Dia berteriak agar aku mengenakan ikat pinggang saat dia membanting pintu.
"Pakai sabuk pengamanmu." Aku menirukan pelan saat aku memasang sabuk pengaman dan mengunci pintu mobil.
Sambil menyilangkan tangan di dada, aku melotot ke kaca depan. Lima jam yang lalu, kami bertemu dengan seorang pria bernama Dani, yang aku pelajari beberapa saat setelah bertemu dengannya adalah seorang makelar. Dani sepertinya pria yang cukup baik, tetapi sejak bertemu dengannya kami telah melihat sepuluh rumah... oke, bukan rumah, tapi rumah mewah... dan sekarang kami sedang dalam perjalanan untuk melihat yang lainnya.
"Kamu bahkan belum mencoba untuk menghargai salah satu dari mereka." Gerutu Rain, dan aku menoleh lalu mengalihkan pandangan padanya.
"Tahukah kamu betapa gilanya membeli rumah yang bahkan tidak kamu inginkan?" Aku bertanya, benar-benar bertanya-tanya apakah dia mengerti betapa konyolnya ini.
"Aku ingin sebuah rumah." Katanya, seraya bergeser sedikit dari kursinya dan tiba-tiba terlihat tidak nyaman.
"Untuk apa Rain?" Tanyaku, mengangkat tanganku dan menggeretek jari-jariku satu per satu. "Kamu lajang, kamu tidak punya istri atau anak, dan kamu tidak membutuhkan lebih banyak ruang" Aku menghela nafas, meletakkan tanganku kembali di pangkuanku. "Kamu berbicara tentang menghabiskan jutaan dolar hanya agar aku punya kamar untuk tidur selama beberapa hari. Itulah definisi gila."
"Apakah kamu ingin tidur di ranjang denganku?" Tanyanya, dan kali ini akulah yang bergerak tidak nyaman. Jika saya harus jujur pada diri saya sendiri, saya ingin tidur di sebelahnya, wanita berdarah merah mana yang tidak menginginkan hal itu?
"Ayo kita beli sofa yang nyaman jika itu penting bagimu, dan aku akan tidur di atasnya." Kataku padanya, tapi kemudian dia berhenti bicara dan diam sama sekali saat kita berhenti di jalan, terlihat anak-anak di luar bermain di trotoar, dan beberapa keluarga berbincang serta mengunjungi tetangga mereka. Aku melihat tanda untuk dijual di salah satu halaman rumah. Aku merasakan senyum di wajah ku untuk pertama kalinya dalam beberapa jam. Rumah batu terakota dua lantai dengan jendela dan pintu melengkung, dengan atap genteng, tampak seperti sesuatu yang keluar dari dongeng dan merupakan rumah impian ku.
"Kamu suka rumah itu?"
Aku melihat ke arah rumah ke Rain, perasaan kecewa menghantam ku saat kami melewatinya. "Ini rumah yang lucu." Gumamku, sambil melihat ke belakang sekali lagi saat dia berbelok ke jalan lain sampai kami berhenti di depan sebuah rumah yang terlihat seperti rumah lainnya. Kami telah lihat hari ini beberapa rumah.
"Benar-benar mengerikan."
"Tunggu disini." Rain keluar dari mobil dan dia berjalan menuju Dani, yang berdiri di depn teras. Mereka berbicara sebentar sebelum Rain berjalan kembali ke arahku.
"Apa yang sedang terjadi?" Aku bertanya saat dia masuk ke dalam mobil.
"Kami kehilangan yang ini." Dia bergumam, melihat dari balik bahunya ke jalan di belakang kami.
"Sial." Kataku sinis, mengamati bibirnya berkedut saat dia mundur keluar dari jalan masuk. Melihat ke luar jendela, aku menyadari bahwa kami sedang menuju kembali ke lingkungan yang kami lewati sebelumnya dan ketika kami berhenti di jalan masuk rumah keramik glasir. Aku langsung duduk sedikit lebih tinggi di tempat duduk.
"Kamu suka rumah ini?" Tanya Rain serius, melihat rumah di depan kami. Ini bukan rumah besar, tapi ini adalah rumah yang sangat indah di lingkungan kecil yang sempurna. Jenis rumah yang ku harap dibesarkan di sini.
"Beberapa orang berjuang untuk normal." Kataku, keluar dari mobil dan berjalan melalui rumput tebal di halaman depan lalu ke jendela besar, di mana aku meletakkan tangan ke kaca dan menekan dahi agar bisa melihat ke dalam.
"Sesil, kamu tidak perlu mengintip melalui jendela. Kita akan masuk ke dalam." Kata Rain, dan aku merasakan kehangatan di punggungku dengan jari-jarinya melengkung di pinggangku.
"Kamu ingin melihat rumah ini?" Aku bertanya dengan ragu.
Rain mengabaikan pertanyaanku, dia menarikku dari jendela dan membawaku ke depan rumah di mana Dani sedang membuka kunci yang terpasang di pegangan pintu. Dia mendorong pintu dan terbuka lalu memberi isyarat agar kami masuk ke dalam. Saat aku masuk ke ruang tamu, aku langsung merasa kagum. Indah, dengan langit-langit tinggi dan cahaya alami. Di sebelah kiri adalah perpustakaan besar, lalu di kanan ruang tamu cekung dengan sofa nyaman yang membuat Anda ingin melepas sepatu lalu mengambil buku dan jalan-jalan sebentar. Dapur ada di belakang rumah, dengan meja yang panjang, dan sudut tempat sarapan yang dikelilingi jendela. Di lantai atas ada lima kamar tidur, termasuk kamar inti dengan lemari pakaian dan kamar mandi yang lebih besar dari kamar tidur ku di rumah, ditambah ruang bonus yang ditata oleh pemilik sebelumnya seperti teater.
"Kamu akan bahagia di rumah seperti ini, bukan?" Rain bertanya, dan matanya beralih dari tempat dia melihat ke luar untuk menyapu ku saat dia menggelengkan kepalanya. "Kebanyakan wanita menginginkan yang lebih besar Sesil, dan kemudian ada kamu."
"Saya tidak ingin menjadi seperti kebanyakan wanita." Kataku padanya, merasa seperti aku perlu membela diri.
"Aku tahu." Katanya pelan, menjauh dari jendela dan berdiri di depanku." Aku benci memar-memar ini." Dia berbisik sambil menatap memarku sebelum bertemu dengan tatapanku lagi. Aku menatap matanya, tubuhku bersandar ke mata saat jari-jarinya melingkari rahangku dan bibirnya menyentuh dahiku di tempat yang telah kuputuskan sebagai miliknya. Aku memejamkan mata. Aku membukanya kembali saat mendengar suaranya di kejauhan berteriak. "Ayo Sesil. Kami punya rumah untuk dibeli."
Apa yang terjadi padaku? Aku bertanya pada kamar kosong, tapi aku tidak mendapatkan jawaban darinya. Aku mengikuti Rain ke lantai pertama, di mana makelar sedang menunggu.