Chapter 19 - BAB 19

RAIN melingkarkan tangannya ke pinggangku begitu aku sampai di sampingnya lalu dia memberi tahu Dani. "Kami akan membelinya."

"Apakah kamu yakin? Ini terlalu kecil." Dani mengerutkan kening dan melihat sekeliling.

Aku tidak tahu di dunia mana yang berukuran lima ribu kaki persegi itu kecil, tapi cara dia menatapku dan Rain memberi kesan bahwa dia benar-benar yakin rumah ini terlalu kecil untuk ditinggali siapa pun.

"Berapa lama sampai kita bisa deal?" Rain bertanya, mengabaikan komentar Dani dan menarikku lebih dekat padanya saat aku berjuang dengan jari-jariku, mencoba melepaskan tangannya dari pinggangku.

"Waktu deal rata-rata sekitar satu bulan dari sekarang."

"Lihat apakah kita bisa membelinya dari mereka sampai benar-benar deal. Beri tahu mereka, jika mereka menyetujui persyaratan ku dan dapat menutupnya dalam minggu depan, aku akan menambahkan sepuluh juta di atas harga yang diminta."

"Rain." Desisku, mengalihkan pandanganku ke arahnya.

"Kamu menyukai rumah ini Sesil."

"Kamu tidak bisa begitu saja membuang uang Rain."

"Tentu aku bisa." Dia mengangkat bahu lalu mengajak ku bersamanya menuju pintu depan. "Kirimkan tawaran itu dan kembalikan padaku di penghujung minggu." Katanya pada Dani sambil membawa ku keluar rumah.

"Aku yakin kamu sudah gila." Kataku padanya saat kami berkendara kembali ke pusat kota.

"Hal terpenting yang ayah ku ajarkan kepada ku adalah, jangan pernah membiarkan kesempatan berlalu begitu saja dan ini adalah satu kesempatan yang tidak ingin aku lewatkan."

"Tentu saja ini sama sekali tidak masuk akal." Kataku padanya sambil mempelajari profilnya.

"Suatu har Sesil, aku jamin itu akan terjadi." Kata Rain pelan, memakai kacamata hitam dan menyalakan stereo.

Aku memandangnya dari kaca depan, aku bertanya-tanya mengapa aku merasa sangat santai, mengapa aku tidak stres tentang hal ini, dan mengapa aku benar-benar merasa bahagia.

.........

Beberapa minggu kemudian di pagi hari.

Aku cukup yakin dia mencoba menyiksaku, pikirku saat Rain masuk ke dapur dengan menggunakan kaosnya untuk menyeka keringat dari wajah dan dadanya. Aku telah merobek mataku saat melihatnya. Aku menunggu roti panggangku masak sembari berdoa dalam hati agar dia segera memakai kemeja. Sudah tiga minggu sejak kami pindah bersama, dan setiap hari terasa seperti siksaan. Bukan berarti semuanya buruk. Semuanya benar-benar menyenangkan. Tapi bekerja bersama, makan bersama, dan melihat Rain setengah berpakaian di pagi dan malam hari membuat kepalaku kacau.

"Pagi." Aku mendengar dia berkata, tapi aku tidak menoleh untuk melihatnya saat aku menjawab dengan pelan.

"Pagi." Jawabku pelan sambil menatap pemanggang roti, berharap aku bisa melewati suasana pagi di mana aku tidak ngiler melihat sekujur tubuhnya.

"Tuhan, beri aku kekuatan."

"Bagaimana tidur mu?"

"Baik."

"Apa kamu marah?" Tanyanya terdengar khawatir.

Sambil menarik mataku dari pemanggang roti, aku menatapnya lalu menyesal saat perutku turun dan mulutku dibanjiri air liur. Rain dalam setelan jas adalah pemandangan yang harus dilihat. Rain dengan jeans dan kaos memang menggiurkan. Tapi Rain bertelanjang dada, rambutnya kusut karena tidur, dan matanya yang lembut menatapku benar-benar lepas.

"Tidak Memangnya kenapa?"

"Hanya ingin tahu." Dia menyeringai lalu melangkah ke arahku dan meletakkan ibu jarinya di sudut mulutku dan menyapukan ke arah bibir bawahku. Aku melihat matanya semakin gelap, aku merasakan denyut nadi ku bertambah cepat. "Pasta gigi." Gerutunya, melepaskan tangan dariku tetapi tetap di depanku.

Aku menjilat bibir bawahku, lalu mundur selangkah dan menyeka mulut merasakan pipiku panas. "Terima kasih."

"Aku punya beberapa teman yang datang ke kota malam ini. Apakah Kamu keberatan membeli beberapa bahan makanan?"

"Tidak."

"Daging Sesil, bukan tahu." Dia tersenyum, dan perutku melakukan hal itu lagi dan menjadi hangat.

"Aku sudah tahu itu." Aku menggerutu, memutar mata ke arahnya. Lalu aku kembali ke pemanggang roti dan mengeluarkan roti yang telah matang, menarik selai kacang dan mengoleskannya. Aku membawa piring lalu pergi ke meja di sudut sarapan untuk duduk lalu meluangkan waktu sejenak untuk menghargai Rain saat dia bergerak di dapur.

"Apakah kamu ingin kopi?"

Merasa pipiku panas, aku menarik pandanganku dari perutnya dan mengangkat pandanganku untuk menatap matanya.

Rusak lagi.

"Jus jeruk." Gumamku, menutupi tanganku dengan mulut saat aku mengunyah. Dia mengangguk lalu menuangkan segelas jus untukku lalu duduk di hadapanku, memegang cangkir kopi di tangannya.

"Terima kasih."

"Tidak masalah." Jawabnya mengamatiku, dan kemudian mengusap rahangnya. "Jadi ceritakan tentang dirimu saat menjadi model. Kenapa kamu berhenti?"

Bagus. Ini adalah sesuatu yang kuharap dia lupakan, karena dia tidak pernah menanyakannya padaku setelah aku mengungkit tentang Angga mantan pacarku. Ternyata, aku tidak seberuntung itu.

"Pekerjaan pertama ku sebenarnya untuk seorang teman, yang merancang lini pakaiannya sendiri ketika dia masih kuliah. Dia bertanya apakah aku mau saat dia akan membuat beberapa gambar ku mengenakan pakaiannya untuk situs web. Dua bulan setelah dia meluncurkan lini, aku mendapat telepon dari agensi dan mereka menawari ku. Aku benar-benar tidak menganggapnya serius pada awalnya, tetapi kemudian aku mendapatkan pekerjaan dan di bayar lebih awal, lalu seperti yang mereka katakan, sisanya setelah aku bekerja." Seruku seraya menggigit roti panggang lagi.

"Mengapa Kamu berhenti menjadi model?"

"Aku tidak benar-benar berhenti. Aku tidak punya pekerjaan dalam beberapa bulan. Ketika sesuatu terjadi dengan Cindy, aku tahu tidak bisa mengambil risiko meninggalkannya sendirian. Jadi aku memberi tahu agen, jika pekerjaan itu di luar kota, aku akan katakan untuk meneruskannya kepada orang lain."

"Apakah Kamu menikmatinya?" Dia mempertanyakan lalu mengambil salah satu irisan roti panggang dari piringku dan menggigitnya, kemudian meletakkannya kembali.

"Itu menyenangkan. Ketika aku masih muda, aku menyukainya karena itu memberi ku kesempatan untuk bepergian, tetapi aku rasa tidak akan melakukannya lebih lama lagi. Tinggal di hotel dan jauh dari rumah yang semakin tua dan rapuh."

"Apakah kamu mempunyai foto-foto saat menjadi model?"

"Sedikit, tapi tidak juga. Aku yakin Kamu bisa cari di Google foto-foto itu dan melihatnya beberapa." Aku mengangkat bahu lalu melihat dengan ngeri saat dia mengeluarkan ponselnya dari saku jeans yang penuh keringat.

"Nama apa yang harus ku gunakan untuk mencarinya? Aku pernah mencoba mencari sebelumnya, tetapi tidak ada yang muncul."

"Kamu pernah mencoba mencari ku sebelumnya?" Aku berbisik.

"Iya." Dia mengangkat alis sambil menyeringai.

Sambil mendesah, aku bergumam." Alexa Lois, nama tengahku dan nama nenekku." Rain mengetik di ponselnya, tangannya memegang ponsel dengan erat di genggamannya saat dia mengusapkan jarinya ke layar.

"Astaga." Dia duduk di kursi lalu melihatku.

"Apa?"

"Kamu setengah telanjang."

"Apa?" Tanyaku, meraih ponsel dari tangannya lalu aku memucat ketika melihat Rain menemukan beberapa foto lama dengan pakaian dalam ukuran plus yang aku buat setahun yang lalu. Merasa tiba-tiba malu, aku keluar dari browser web, meletakkan ponselnya di atas meja, dan kemudian mengambil piring lalu membawa ke wastafel. "Aku akan pergi bersiap-siap. Jam berapa kamu pergi?" Aku bertanya sambil menghindari menatapnya.