Chapter 20 - BAB 20

"Sesil, kamu terlihat cantik."

Aku mendengar suara dengan kata-katanya yang tenang, aku bertanya-tanya apa yang harus ku katakan.

"Jujur dan cantik." Katanya dengan sungguh-sungguh.

"Terima kasih." Bisikku mengalihkan pandangan dari matanya, memusatkan semua perhatianku pada piring yng ku cuci.

Aku menaruh sabun lagi di atas spons yang ada pada tanganku, aku mencuci cangkirku lalu melompat saat aku merasakan lengannya meluncur melewatiku sehingga dia bisa meletakkan mugnya di wastafel. "Aku akan berangkat ke bandara sekitar satu jam lagi."

"Oke, sampai jumpa nanti." Kataku padanya saat memberi tahu lalu mengambil cangkir dan mencucinya juga. Bibirnya menyentuh bagian atas kepalaku lalu dia pergi. Sambil menghela napas, aku meletakkan piring di pengering kemudian menuju ke kamarku dan menjatuhkan diri ke tempat tidur, menutupi wajahku dengan tangan. Aku tidak memiliki masalah tubuh. Aku benar-benar nyaman dengan kulit ku. Orang tua ku mungkin bukan orang tua terbaik, tetapi tidak pernah ada waktu membuat aku merasa kurang cantik dari Cindy, meskipun aku beberapa tahun lebih besar darinya. Kami diajari bahwa ada keindahan dalam segala bentuk dan ukuran, tetapi Rain melihatku setengah telanjang dan hampir tidak mengenakan apa-apa. Itu bukanlah sesuatu yang benar-benar baik-baik buat ku, terutama ketika aku tidak memiliki keberanian untuk melihat matanya untuk menatapnya. Aku mengeluh sambil melihat telapak tangan, lalu bangun dan pergi ke kamar mandi yang berada di kamar. Aku mengira nanti bisa menyalahkan diriku sendiri setelah aku pergi ke toko bahan makanan.

Aku menyingkirkan bahan makanan yang ku ambil dan mendengar pintu terbuka dengan sepatu bot menghantam marmer di pintu masuk. Aku tahu itu adalah Rain yang masih ada di rumah. Saat aku keluar dari kamar mandi, Rain sudah pergi dan mengambil kunci mobilku. Sesuatu yang dia mulai lakukan baru-baru ini, jadi aku tidak akan mengendarainya. Tanpa pilihan lain, aku membawa mobil besar nya ke toko dan mendapatkan bahan-bahan makanan di dalam daftar yang aku buat kemarin, bersama dengan beberapa steak untuknya.

Ketika aku keluar, aku juga menelepon Hanna untuk mengetahui bagaimana keadaan di klub, karena Rain maupun aku tidak akan berada di sana malam ini. Setelah berbicara selama beberapa menit, dia bertanya apakah aku punya rencana untuk malam ini. Aku menjelaskan kepadanya tentang teman-teman Rain yang datang ke kota, tetapi kemudian aku terkejut dan berkata bahwa dia memiliki seorang teman yang menurutnya harus aku temui dan bertanya apakah malam ini adalah malam yang baik untuk makan malam bersamanya. Tanggapan pertama ku adalah mengatakan tidak, tetapi semakin aku memikirkannya, aku semakin bertanya-tanya, Mengapa tidak?

Aku belum pernah berkencan sejak putus dengan Angga, dan perasaanku pada Rain mulai membuatku bingung. Tinggal bersama dan bekerja dengannya berarti kami menghabiskan sebagian besar waktu kami berdua, dan aku mulai lebih dari menyukainya. Yang berarti garis hubungan kami mulai kabur, dan itu tidak baik. Meskipun dia sering membuat ku jengkel dan memiliki kecenderungan untuk membuat kesal, yang baik lebih banyak daripada yang buruk. Dia adalah tipe pria yang bisa membuat seorang gadis jatuh cinta, tanpa pernah menyadarinya. Dan itulah alasan yang tepat bagaimana aku setuju untuk pergi kencan malam ini.

"Oh bagus, kamu di sini. Aku punya semua omong kosong yang kamu minta." Kataku padanya, menutup pintu lemari es saat dia berjalan ke dapur.

"Daging bukanlah omong kosong Sesil." Jawabnya sambil tersenyum.

"Berhenti memanggilku Sesil. Namaku Celine untuk yang kesekian kalinya dan selama-lamanya." Kataku, lalu menyesal saat melihat senyumnya menghilang, tapi aku harus tetap kuat. Aku hanya perlu berpisah dengannya. "Dan daging itu kotor." Aku menggelengkan kepalaku lalu menoleh untuk melihat siapa yang baru saja masuk.

Astaga.

Rain memang tampan sekali, tetapi pria yang berdiri di dapur saat ini terlihat seperti aktor korea yang tertubuh sixpack dan penampilan menakutkan secara keseluruhan pasti cocok untuknya. "Kamu tidak memiliki sopan santun." Kataku, menoleh ke arah Rain lalu kembali ke pria itu, hanya untuk menyadari ada pria lain yang lebih tua bersamanya mengenakan kemeja Hawaii yang sangat cerah. Mungkin terlalu banyak perhiasan emas di lehernya dan di setiap jarinya.

Dia sedikit kasar. "Maaf. Aku Celine, asistennya orang ini. Senang bertemu kalian." Aku mengambil tangan pria besar itu, lalu memperhatikan kalau dia tidak memperkenalkan namanya. Aku pun langsung mengulurkan tangan untuk pria lainnya, yang meraih tanganku yang terulur dan menarikku lebih dekat.

"Senang bertemu denganmu Celine." Katanya, menurunkan bibir dan menyapunya di punggung tanganku.

"Aww, kamu sangat lucu." Aku menepuk pipinya lalu melangkah mundur dan menatap Rain. "Aku akan pergi. Aku ada kencan malam ini." Kataku pada Rain, mengabaikan cara rahangnya tegang dan mengelengkan kepalanya.

"Kamu harus bekerja malam ini." Dia menggerutu lalu menyipitkan matanya.

"Aku tidak bekerja di akhir pekan." Aku tertawa, mencoba menutupi rasa mual yang kurasakan di perutku. "Senang bertemu kalian." Kataku pada kedua pria itu, yang sama-sama menatapku dengan rasa ingin tahu. Lalu aku berjalan ke meja, mengambil tas dan kunci mobil yang Rain jatuhkan ketika dia masuk, lalu keluar dari dapur sebelum dia bisa mengatakan hal lain. Aku menutup pintu di belakangku. Aku membuatnya menuruni tangga, hanya untuk mendengar ledakan keras yang membuatku berputar.

"Kamu pergi kencan malam ini dan kamu dipecat Celine."

"Ap… apa?" Aku tergagap saat dia berjalan seperti mencari mangsa ke arahku, tapi jarak yang memisahkan kami cukup jauh.

"Kamu mendengarku. Pergi ke klub. Aku akan memberi tahu Zio bahwa kamu sedang dalam perjalanan."

"Kamu tidak bisa sedikit bercanda." Aku berbisik mundur beberapa langkah.

"Sungguh menjijikan." Sergahnya. Nada bicaranya tidak memberi tahu ku bahwa dia serius, bahasa tubuhnya akan menjelaskan kepada ku. Aku pernah melihat Rain marah sebelumnya, tapi saat ini dia sangat marah. Aku hanya tidak mengerti apa yang membuatnya marah.

"Baiklah, kamu menang." Aku menghembuskan napas, merasakan tenggorokanku tercekat tetapi berusaha melawan dan tidak ingin menangis di depannya.

"Sampai jumpa besok."

"Tentu." Aku setuju kemudian melihat rahangnya mengatup lagi sebelum dia berpaling dariku dan berjalan kembali ke rumah. Aku berdiri di jalan masuk, melihat ke rumah dan mengeluarkan ponsel.

"Celine, ada apa?" Hanna bertanya pada deringan kedua.

"Aku perlu bekerja malam ini, bisakah Kamu memberi tahu teman mu bahwa aku minta maaf, mungkin kita bisa bertemu lain kali."

"Celine, kita seharusnya pergi".

"Aku tahu." Bisikku, mengarahkan pandanganku ke beton di bawah kaki saat aku mengusap air mata dari pipiku.

"Apakah kamu baik-baik saja?"

"Aku baik-baik saja."

"Rain." Bisiknya, aku mengangkat kepala dan melihat ke rumah, rumah dongengku, rumah yang akan kupilih jika aku menikah, rumah tempat aku ingin membesarkan anak.

"Dia brengsek." Kataku pada Hanna lalu berbalik dan menuju mobil.

"Ini akan baik-baik saja Celine."

"Ya." Aku mengangguk. "Aku akan bertemu Kamu sebentar lagi."

"Sampai jumpa." Katanya menutup telepon. Aku masuk ke mobil lalu menjatuhkan telepon di tempat berbentuk kotak di bawah setir kemudian dahi ku tempel ke setir kemudi sejenak sebelum menyalakan mobil dan mundur lalu keluar dari jalan masuk menuju klub.