Chapter 17 - BAB 17

"Apa kamu tahu dimana adikmu?" Pak Fandy bertanya, lalu duduk ke depan dan mengamati ku.

"Tidak, aku mengajukan laporan orang hilang pada polisi, tapi aku belum mendengar kabar darinya dalam dua hari." Kataku padanya, dan matanya memindai wajahku dan aku tahu dia melihat aku menahan sesuatu.

"Apa yang tidak kamu beri tahukan kepada kami?" Tanyanya lembut, dan saat itulah bendungan perasaan ini pecah dan air mata mulai jatuh diam-diam dari mata, pipi, dan ke bajuku.

"Dia punya masalah narkoba. Dia melakukannya dengan sangat baik selama beberapa minggu, dan aku pikir kali ini dia akan bertahan dan pergi ke rehabilitasi, tetapi dia tersesat lagi dan sekarang inilah yang terjadi." Aku menutup wajah dengan tangan, aku mencoba mengendalikan diri. Menangis seperti bayi tidak akan menyelesaikan apa pun saat ini, meskipun itulah yang ingin aku lakukan. Sambil duduk tegak, aku melihat di antara dua polisi itu dan bertanya." Apa yang harus aku lakukan sekarang?"

"Tidak banyak yang bisa kami lakukan saat ini. Kami tidak benar-benar tahu siapa yang kami cari, dan saya ragu adik Anda akan muncul dan memberi tahu kami dari siapa dia mencuri." Kata Pak Fandy lembut seperti dia menyesali kata-katanya.

"Saya benar-benar ingin Anda tinggal di tempat lain malam ini." Kata Pak Fandy pelan setelah beberapa saat, dan mata ku tertuju padanya.

"Aku akan pergi ke hotel. Aku tidak akan bisa tidur jika tetap di sini, sementara aku mengetahui ada kemungkinan orang-orang itu akan kembali."

"Aku tidak berpikir mereka akan kembali malam ini, tapi aku lebih suka Anda aman di tempat lain, setidaknya untuk beberapa hari. Anda juga perlu mengganti kunci dan memasang gerendel sebelum Anda kembali ke sini. Orang-orang yang masuk dapat dengan mudah mengambil kunci Anda dan sejujurnya, Anda seorang wanita yang tinggal sendiri. Anda harus memiliki beberapa bentuk perlindungan."

"Aku akan menelepon tukang kunci besok dan meminta mereka memasang kunci baru." Aku setuju dan langsung mengabaikan komentar 'Anda seorang wanita', karena yang dilakukannya hanya mengganggu ku, meskipun dia benar. Tapi sekali lagi, ada senjata yang terlibat dan jika bukan karena itu, aku mungkin bisa menendang pantat, atau setidaknya itulah yang akan aku katakan pada diri ku sendiri.

"Ambil barang-barangmu sayang, dan kami akan mengikutimu ke hote." Jawabnya, tampak seolah-olah ingin mengatakan hal lain tetapi tampak seperti berpikir tentang hal lain. Jika ini terjadi di lain waktu, aku akan meluangkan waktu ekstra untuk menghargai betapa tampannya dia. Tapi sekarang bukan waktunya, jadi aku turun dari sofa, berjalan kembali ke kamar tidurku lalu mengeluarkan tas wol besar dari lemari dan mengisinya dengan pakaian yang cukup untuk bertahan beberapa hari. Setelah aku selesai, aku menyeretnya ke ruang tamu yang berada di belakang ku.

"Ini kartu nama ku. Jika Anda memikirkan sesuatu atau butuh sesuatu, telepon saya saja." Pak Fandy berkata sambil mengambil tas ku lalu mengalihkan perhatiannya ke Petugas lainnya. Aku akan mencatat ini dan menelepon ke stasiun untuk memberi tahu mereka bahwa kita mengikutinya ke hotel dan meminta dia untuk check in.

"Aku akan membantunya mengunci pintu lalu kita akan turun." Jawabnya saat aku pergi ke dapur dan mematikan lampu lalu ke ruang tamu untuk melakukan hal yang sama dan mematikan TV sebelum menuju pintu depan.

"Aku seharusnya tidak memberitahumu tentang ini, tapi aku punya saudara perempuan seusiamu, dan aku tahu jika hal serupa pernah terjadi padanya, aku ingin dia mendapatkan perlindungan apa pun yang bisa dia dapatkan." Kata Pak Fandy pelan saat Aku melangkah keluar bersamanya dan mengunci pintu depan rumahku.

"Setiap minggu di luar kota, aku mengajar kelas tentang keamanan senjata, dan aku sangat senang jika kamu ada di kelas ku berikutnya." Dia memberi ku sebuah kartu, dan aku melihat, lalu kembali fokus pada Pak Fandy. "Senjata bisa berbahaya, tapi juga bisa menyelamatkan hidupmu dan di kelasku, aku akan mengajarimu bagaimana merasa nyaman memegang senjata dan apa yang harus dilakukan dalam situasi berbeda. Kamu tidak perlu membeli senjata jika tidak mau, tetapi Kamu dapat datang ke kelas dan mencari tahu sendiri apakah itu sesuatu yang ingin kamu miliki atau tidak."

"Terima kasih." Kataku padanya dengan tulus saat aku meletakkan kedua kartu di tas. Aku tidak pernah berpikir untuk memiliki senjata, tetapi setelah malam ini mungkin bukan ide yang buruk untuk memilikinya.

****

"Apa yang terjadi dengan wajahmu?"

Rain melompat karena terkejut dan aku mengangkat mata dari layar komputer lalu tatapanku bertabrakan dengan mata biru Rain. Aku bahkan tidak mendengar dia masuk ke kantor.

"Tidak ada." Kataku padanya lalu bersandar ke belakang saat tangannya ke atas meja dan tubuhnya menjulang sampai wajahnya hanya beberapa inci dari tanganku.

"Memar di wajahmu itu tidak terlihat seperti tidak terjadi apa-apa. Mau coba lagi?" Dia mengejek saat wajahnya memelintir karena marah.

"Tidak terlalu." Gumamku sambil duduk lebih jauh memundurkan kursiku.

"Sangat buruk. Apa yang terjadi?" Dia bergemuruh mengangkat satu tangan lalu menyentuh pipiku dengan lembut.

"Adikku mencuri uang dari seorang mafia." Kataku, dan kemudian langsung menyesalinya ketika energinya berubah dan membungkus tubuhku begitu kencang sehingga napasku terengah-engah.

"Dia menyentuhmu?" Kata-katanya lembut tapi amarah, energi bergetar yang kurasakan keluar dari tubuhnya menyentuh kulitku. "Katakan padaku segalanya."

"Rain." Tubuhnya bersandar lebih dekat saat dia menggeram.

"Sekarang."

"Sial, baiklah." Aku menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya lalu memberitahu tentang kejadian semalam. mendengar seseorang di pintu dan berpikir bahwa adikku ada di rumah tetapi dia kehilangan kuncinya. Lalu aku memberitahunya tentang orang-orang yang membobol apartemen ku dan saat polisi muncul. Aku hanya berhenti berbicara ketika memberi tahu dia bahwa aku menginap di hotel tadi malam dan dia mengaum.

"Kenapa kamu tidak menelepon aku...?"

"Aku tahu kamu mungkin sibuk." Aku mengangkat bahu, mencoba membuatnya tampak seperti itu, tapi ini bukan masalah besar.

"Tidak. Sialan....., Sesil! Kau seharusnya meneleponku." Dia mondar-mandir di depan meja lalu pergi ke jendela di belakangku dan melihat ke klub. "Kau akan tinggal bersamaku sampai adikmu membereskan semua kekacauan ini."

"Ti ... Tidak, aku tidak." Aku tercekik karena ide itu.

"Ya, dan jika kamu berpikir untuk pergi ke mana pun kecuali ke villa ku, aku akan melacak dan menyeretmu kembali bersamaku."

"Rain, jangan bodoh." Villa-nya bagus, sangat bagus, tetapi hanya memiliki satu kamar tidur, dan sofanya bukan tempat tidur yang aku inginkan jika tidak ada pilihan. Ini modern dan mewah, tapi dia sama sekali tidak mengatakan 'tidurlah bersamaku'.