Klik, klik.
Tubuh ku membeku dan ketakutan melanda ketika melihat ke atas, berhadapan langsung dengan laras senjata. Aku mengangkat tangan, aku juga tidak siap saat pukulan masuk ke perut ku yang membuat sakit berlipat ganda dan terengah-engah.
"Dasar brengsek." Kata pria yang aku jatuhkan beberapa saat yang lalu, sambil memukulku begitu keras hingga aku menabrak dinding. Tangannya melingkari rambutku, dia menyeretku keluar dari kamar mandi menyusuri lorong di belakangnya menuju ruang tamu. "Di mana dia?" Pria itu mendorongku hingga berlutut.
"Dimana adik perempuanmu?" Pria yang memegang pistol itu mengaum, memukulku dengan gagang senjatanya di depan wajahku begitu keras hingga kepalaku melayang ke samping dan aku merasakan darah di mulutku.
"Aku tidak tahu." Kataku padanya, mengangkat mataku dan mencoba fokus pada wajahnya.
"Jangan bohong dasar jalang." katanya sambil menekan pistol ke dahiku.
"Aku tidak tahu." Aku merengek ketakutan saat pria di belakangku menggunakan kuncir kudaku untuk menarikku dari lantai.
"Adik perempuanmu mencuri 140 juta dariku." Kata orang yang memegang pistol saat wajahnya mendekati wajahku begitu dekat sehingga aku bisa mencium aroma mint di napasnya.
"Aku bisa memberimu uang." Aku terisak saat merasakan rambutku dicabut dari kulit kepalaku saat aku tersentak maju mundur.
"Apa menurutmu sesederhana itu?" Dia bertanya, melingkarkan tangannya di tenggorokanku. "Tidak ada yang mengambil dariku. Tidak ada!" Dia menggeram, meremas tenggorokanku lebih erat saat bintang mengaburkan pandanganku.
"Polisi." Pria di belakangku berkata saat suara sirene di kejauhan semakin keras.
"Katakan pada adikmu aku akan datang mencarinya sampai ke ujug dunia."
Sambil berlutut, aku megap-megap mencari udara lalu berguling menjadi bola saat kakinya yang bersepatu bot terhubung dengan sisi tubuhku. Aku melihat mereka keluar dari apartemen. Aku tidak tahu berapa lama akan berbaring di sani, tetapi pada akhirnya aku mengumpulkan cukup energi untuk berdiri dan tersandar ke pintu.
"Jangan bergerak."
Kepalaku terangkat dan aku menelan saat air mata mengalir dari mataku, melihat dua petugas polisi berseragam berdiri di lantai bagian depan apartemenku. "Mereka sudah pergi." Aku berseru melalui tenggorokanku yang sakit, bersandar ke pintu.
"Kamu tahu ke mana mereka pergi?" Salah satu petugas bertanya sambil melangkah ke arahku.
"Tidak." Kataku lalu menggelengkan kepala ketika kata-kata itu tidak cukup keras untuk didengar.
"Aku akan di sini bersamanya. Kamu pergi dan memeriksa sekeliling lalu beri tahu aku jika kamu menemukan sesuatu." Kata polisi yang berada di depanku, sambil meletakkan senjata nya saat yang lain lepas landas menuruni tangga." Ayo sayang." dia memberi instruksi dengan lembut sambil meraih lenganku. Dia membawa aku ke sofa, di mana dia membantu ku untuk duduk sebelum turun di depan ku dan mendorong rambutku kebelakang agar menjauh dari wajah ku. "Kamu punya es?"
"Kacang polong." Gumamku, mengawasinya bangun dan pergi ke dapur, kembali beberapa detik kemudian dengan sekantong kacang polong beku di tangannya. Aku mengambil kacang polong beku tersebut darinya, lalu menekannya ke tenggorokanku dan wajahku. Aku berkedip cepat, mencoba mengendalikan air mata yang kurasakan memenuhi mataku.
"Apakah Anda ingin menelepon seseorang?"
Betapa menyedihkan bahwa jawaban saya adalah... "Tidak juga"? Tapi itulah kebenarannya, bukan? Aku tidak memiliki siapa pun, tidak ada yang dapat aku andalkan, tidak ada yang dapat aku andalkan ketika membutuhkan sesuatu. Orang tua aku bahkan tidak memiliki telepon yang dapat dihubungi jika ada keadaan darurat. Seperti sekarang, pikirku getir. Kemudian, saudariku juga tahu, bagaimana dia menjadi alasan aku berada dalam kekacauan ini. Aku tahu, bahkan jika aku bisa bertemu dengannya, dia tidak akan bisa membantu ku. Sial, dia mungkin akan lari ketika dia tahu orang-orang yang dia curi sedang mencarinya. Angga juga tidak mungkin, karena aku putus dengannya kemarin setelah menyadari tidak ada gunanya menjalin hubungan dengan seseorang yang tinggal ratusan mil jauhnya. Pikiranku berkelebat pada Rain, tapi aku tidak ingin dia menjadi khawatir, atau setidaknya itulah yang aku katakan pada diriku sendiri sekarang. "Tidak, aku tidak ingin menelepon siapa pun."
"Aku akan memanggil ambulans dan meminta mereka datang untuk memeriksamu."
"Itu tidak perlu." Aku berbisik melalui tenggorokanku yang sakit.
"Sayang, aku benar-benar ingin memastikan kamu tidak mengalami gegar otak."
"Sepertinya tidak." Kataku padanya, mengalihkan pandanganku ke lencananya. "Fandy".
"Aku tidak yakin kamu akan tahu itu." Dia tersenyum.
Sambil mendesah, aku menyerah dan bergumam. "Baik." Dan dia tersenyum lebih lebar lalu menepuk lututku. Dia meletakkan tangannya di dada dan membungkuk, memberi tahu untuk mengirim ambulans kepada anak buahnya.
"Apakah kamu tahu siapa yang masuk?" Dia bertanya begitu dia mendapat konfirmasi bahwa ambulans sedang dalam perjalanan.
"Tidak, mereka mencari adik perempuan ku."
"Apakah mereka mengatakan apa yang mereka inginkan darinya?" Tanyanya, bergerak untuk duduk di sofa tepatnya di sampingku.
Sambil menggelengkan kepala, aku mulai berbaring lalu memejamkan mata dan membukanya kembali. "Mereka bilang dia mencuri uang mereka dan akan kembali untuk mencari adik perempuanku."
"Aku mengerti." Dia mengangguk, dan aku melawan keinginan untuk membelanya meskipun aku tahu dia sudah keterlaluan kali ini.
"Tidak ada tetangga yang mendengar apa-apa, dan aku tidak melihat siapa pun di jalan." Kata petugas lainnya, berjalan melalui pintu depan yang terbuka, diikuti oleh dua paramedis yang langsung mendatangi ku. Aku tidak heran jika tidak ada yang mendengar apa pun. Dua tetangga terdekat ku lebih tua, yang satu menggunakan alat bantu dengar hampir sepanjang waktu, dan yang lainnya biasanya menyalakan televisi dengan sangat tinggi sehingga dia tidak akan mendengarnya jika dunia akan segera berakhir di luar pintu.
"Segera setelah mereka memeriksanya, kami akan membahas detail tentang apa yang terjadi." Aku mendengar Pak polisi Fandy berkata kepada rekannya saat paramedis mulai memeriksa ku. Ketika mereka selesai, mereka menyuruh ku untuk meminum obat penghilang rasa sakit, tapi pak polisi Fandy meyakinkan ku bahwa aku akan baik-baik saja. Pak polisi Fandy mengambil tempat duduk di sebelah ku di sofa sekali lagi ketika petugas lainnya, memimpin paramedis ke pintu dan menutupnya di belakang mereka lalu kembali sedetik kemudian, mengambil salah satu kursi dari meja ruang makan dan duduk di atasnya tepat di depanku.
"Aku sudah menjelaskan kepada Petugas bahwa orang-orang yang masuk ke apartemen mencari adik perempuan anda." Kata Pak polisi Fandy sambil mengeluarkan pena dari saku kemejanya. "Bisakah Anda memberi tahu saya hal lain tentang mereka?"
Sambil menyatukan bibir, aku mencoba mengingat detail tentang kedua pria itu, tetapi pikiranku kosong. "Semuanya terjadi begitu cepat. Mereka berdua putih, dan berpakaian serupa dengan kaos hitam, jeans, dan sepatu bot, tapi aku tidak bisa melihat keduanya."