Chapter 15 - BAB 15

Aku menuju kamar, lalu aku melepas sepatu tumitku dan melemparkannya ke tumpukan sepatu di bagian bawah lemari. Kamar tidur ku adalah kamar favorit. Setelah pekerjaan modeling pertama ku, aku menghabiskan banyak uang dan membeli kamar tidur set yang dibuat untuk seorang putri. Tempat tidur berkanopi empat tiang putih dengan tirai tipis yang menggantung di sisinya mengingatkan aku pada tempat tidur dari Bed sleeping beauty yang ada di iklan TV. Meja rias putih yang serasi, yang satu tinggi, yang lainnya panjang, memiliki cermin kaca terukir di bagian depan setiap laci, dengan pegangan perak berkilau. Meja samping cocok dengan meja rias, dan masing-masing memiliki lampu kaca yang terang di atasnya. Warna Hijau toska cocok dengan selimut di tempat tidurku.

Aku berjalan ke lemari panjang, yang tertutup bingkai dengan ukuran berbeda. Aku mengambil foto Cindy yang bersama ku. Aku pasti berumur sekitar enam tahun saat itu, dan Cindy sekitar empat tahun. Kami duduk di luar rumah orang tua di tangga kayu yang menuju ke pintu depan rumah mereka. Lenganku melingkari bahunya, dan kami telanjang, hanya memakai celana dalam. Dan sepatu bot hujan yang berlumuran lumpur. Kami senang, dia terlihat sangat bahagia. Aku pun mengambil foto kami yang lain dari sekitar empat tahun yang lalu. Aku mengusapkan jari ke wajahnya, bertanya-tanya ke mana dia pergi. Ada saat senyumnya menerangi ruangan orang-orang akan tertarik padanya tanpa sadar. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya sehingga cahaya di ruangan ini terasa hilang.

"Apa yang terjadi denganmu?" Aku berbisik, tidak mendapat jawaban. Aku meletakkan gambar itu dan meletakkan tangan ke belakang untuk membuka ritsleting rokku, lalu melepaskan blusku dan melemparkan kedua barang itu ke kamar mandi, dimana tempat mesin cuci dan pengering berada. Kemudian, aku melepas bra dan pergi ke keranjang cucian di sebelah tempat tidur yang penuh dengan pakaian yang harus di singkirkan. Aku menemukan celana dan kemeja, lalu aku memakainya dan pergi ke lorong pendek, melewati kamar mandi tamu dan kamar Cindy, yang dulunya adalah kantorku. Aku berhenti di ruang tamu, lalu menyalakan musik membiarkan alunannya mengisi kesunyian, dan kemudian melemparkan remote ke bagian seberang televisi.

Lalu aku berjalan ke dapur, sepucuk surat yang ada di atas tumpukan surat yang kubawa masuk kemarin menarik perhatianku saat melihat tulisan tangan ibuku yang berputar-putar. Sambil menyelipkan jari ku di bawah tepi amplop, aku menarik surat yang terlipat tersebut lalu membacanya dengan cepat. Orang tua ku tidak memiliki telepon atau internet, jadi ibu ku tetap berhubungan dengan surat, dan yang ini seperti yang lainnya. Kabar terbaru tentang dia dan ayah ku serta undangan untuk datang berkunjung saat aku bisa.

Sambil duduk di salah satu kursi makan ku, aku menulis catatan singkat yang memberitahunya bahwa Cindy sekali lagi menghilang. Mungkin aku tidak akan dapat berkunjung untuk sementara waktu, tetapi akan mengirim surat jika aku bisa. Aku tahu ibuku akan peduli pada Cindy, tapi dia akan mengatakan apa yang selalu dia katakan. Ini hidupmu, jadi kamu harus membuat keputusan sendiri. Sambil memasukkan surat itu ke dalam amplop, aku memasukkannya ke dalam dompet agar bisa dikirim besok. Aku bangun dan pergi ke dapur, mengeluarkan panci untuk merebus air.

Aku dibesarkan pada komunitas kecil di luar sana, di mana mereka tidak percaya pada pemerintah atau fasilitas paling modern. Ketika aku berumur sepuluh tahun, orang tua ku menawarkan kesempatan untuk bergabung dengan sekolah umum dan aku menerimanya. Saat itulah aku menemukan betapa berbedanya kami dari semua orang, dan aku berfikir kalau orang tua ku sebelumnya telah mencegah untukku belajar ilmu modern. Tahun pertama aku di sekolah umum sangat sulit, dan akhirnya aku mengulang setahun. Sehingga aku bisa mengejar ketinggalan. Setelah tahun pertama itu aku unggul dan setelah lulus, aku menjadi yang terbaik di kelas.

Aku tidak menyesali bagaimana aku dibesarkan, tetapi aku masih membenci orang tua karena mereka sama sekali tidak menjadi orang tua yang baik. Sebagian keputusan besar dalam hidup ku adalah apa yang aku lakukan untuk diri ku sendiri. Bahkan sebelum aku diizinkan melakukan hal tersebut, jika ada masalah aku tahu harus menemukan solusi sendiri tanpa bantuan dua orang yang seharusnya ada di sana untuk membimbing ku.

Aku mengguncang pikiran menyedihkan tentang orang tua untuk keluar dari kepala. Aku melemparkan beberapa pasta spageti ke dalam air mendidih dan menarik mangkuk dari lemari lalu pergi ke lemari es untuk mengambil mentega dan sebotol jus jeruk. Setelah pasta empuk, aku menyaring dan menaruhnya di mangkuk bersama mentega, garam, dan merica, lalu menuangkan jus jeruk ke dalam gelas untuk diriku sendiri dan membawa keduanya ke ruang tamu.

Aku melihat dari pintu ke jam di digital yang berada di sebelah televisi. Angka merah terang menunjukkan jam 11:36. Aku pun melihat lagi ke arah pintu. Aku merasakan alis ku tertarik saat pegangan pintu bergoyang seperti yang terjadi beberapa saat yang lalu saat aku masuk ke rumah. Aku secepatnya beranjak dari sofa, tempat aku menginjakkan kaki beberapa jam yang lalu untuk menonton TV. Aku berjalan perlahan ke pintu, merasakan sesuatu yang aneh meluncur di tulang punggung saat aku berjinjit dan menekan tangan ke pintu untuk melihat melalui lubang intip. Lampu beranda mati, tetapi cahaya dari lampu jalan di dekat gedung telah memancarkan sinarnya ke sekitar dua pria di sisi lain pintu.

Mundur perlahan, jantungku berdegup kencang di dadaku sehingga suara darahku yang terpompa memenuhi telingaku. Aku bergerak secepat dan sesenyap mungkin menyusuri lorong menuju kamar tidurku lalu aku menutup pintu. Aku merengek ketika menyadari kalau tidak ada kunci. Lalu aku bergegas mencari di sekitar tempat tidur, aku mengambil ponsel yang sedang terpasang dengan charger untuk mengisi daya, kemudian lari ke kamar mandi di luar kamar. Aku mengetahui kalau pintu depan itu terkunci dan jika seseorang masuk, dia harus mendobrak pintu itu. Yang akan memberi ku beberapa detik lagi. Aku langsung masuk ke dalam bak mandi dan menarik tirai di sekitarku, aku meraba-raba telepon saat aku memutar dan meletakkannya di telingaku.

"110, apa keadaan daruratmu?" Operator menjawab ketika aku mendengar suara langkah kaki di suatu tempat di apartemen.

"Saya di kamar 114, apartemen mercure. Seseorang ada di apartemen saya." Bisik ku lalu berteriak saat pintu kamar mandi terbuka dan tirai kamar mandi disingkirkan.

"Tolong!" Aku berteriak saat tangan meraih rambut dan menarikku dari bak mandi. Aku menjatuhkan telepon dan aku melawan, menyikut perut pria itu, lalu berbalik dan menurunkan tanganku dengan keras di bahunya, yang menyebabkan dia langsung jatuh ke tanah.