Seorang pria berumur dua puluh delapan tahunan menopang dagu di jendela gubuk reyot itu—tempat tinggalnya selama lima belas tahun ini, sempurna sendirian. Ia melamun. Matanya menerawang jauh, menjelajahi hitamnya lautan di malam hari. Suara ombak yang bergulung-gulung memecah kesunyian, tetapi tak mampu merusak lamunan si lelaki. Suara itu hanya sekedar mampir di telinganya, sementara otaknya sibuk mengacak-ngacak sesuatu.
Si lelaki melengos perlahan.
Ia berjalan menuju ruangan kecil di gubuk reyotnya. Sebuah ruangan yang dijejali rak buku raksasa yang sebenarnya terlalu besar untuk diletakkan di situ. Ujung teratas rak sudah bersentuhan dengan atap gubuk, malahan mungkin sekarang ikut menyangga gubuk yang keterlaluan tua itu. Rak itu dipenuhi dengan buku-buku sejarah yang berbau apak jika dibuka.
Si lelaki menatap rak kesayangannya dengan tatapan penuh arti.
"Awal yang baru..." desahnya perlahan. "Aku selalu menyukainya, sebelum semuanya menjadi lain." Sudut bibir pria itu melengkung.
"Apa yang bisa kulakukan, oh..."
Pria itu menutup jendela gubuknya, menambah kesunyian Samudra Atlantik di malam hari.
***
London, Inggris. Tempat sempurna untuk sebuah peradaban kerajaan yang masih bertahan hingga saat ini. Aroma kebangsawanan masih tercium sangat kuat. Bahkan rakyatnya memiliki fanatisme sendiri tehadap keluarga kerajaan Inggris—seperti Hooligans, para penggila sepak bola. Hanya beda subjek. Orang Inggris gila teh. Gila kue. Yah, itu semua juga mereka adopsi dari kebisaaan keluarga kerajaan. Darjeeling tea, chamomile, red british tea, dan masih banyak lagi.
Kue-kue indah yang kadang harganya sangat tak sepadan dengan ukurannya yang sangat mini. Kemudian topi-topi beraksen renda dan bunga, serta tentara-tentara kerajaan yang tak akan bergerak sesenti pun ketika berjaga. Mereka berseragam merah menyala dengan kancing-kancing emas yang mengilat berderet rapi. Itulah identitas kami, kebanggaan kami rakyat Inggris.
301 Maple Street, London. Di situlah aku tinggal selama enam belas tahun ini. Bersama Ayah, Ibu, dan dua kakak lelakiku yang kepribadiannya sangat bertolak belakang satu sama lain.
Ayahku seorang pemadam kebakaran. Sewaktu kecil aku sangat terkagum-kagum ketika melihat Ayah yang memakai seragam tugasnya saat mengendarai mobil para pemadam kebakaran. Ayah bahkan menerima lencana penghargaan dari pemerintah. Aku sangat bangga sampai menangis ketika melihat Ayah menyelamatkan nenek tua yang terjebak sendirian dalam kebakaran apartemennya. Ia bahkan hampir mengorbankan nyawanya sendiri, sebuah balok kayu yang membara menghalangi jalannya ketika ia kembali untuk mencari kucing si nenek.
Orang-orang mengira ia tidak selamat, tapi ternyata ia kembali—dengan muka sempurna tertutup abu dan beberapa luka ringan, bersama si kucing yang ikut menghitam juga. Pemandangan yang lucu namun sangat mengharukan. Bulu kudukku merinding saat semua orang bertepuk tangan dan berterima kasih kapada Ayah. Aku sangat bangga padanya. Ia pahlawanku.
Ibu seorang editor untuk sebuah penerbit kecil di London. Tapi itu membuatnya cukup sibuk. Meskipun kecil, penerbit itu tahu memilih buku-buku yang benar-benar layak kualitas untuk diterbitkan. Ibu bekerja di rumah. Ia keluar sebentar-sebentar hanya jika ada rapat penting atau menemui kliennya. Ia wanita yang penyayang, tipikal yang menjadikan keluarga sebagai prioritas.
Kakak pertamaku adalah Jacob Gray, kami biasa memanggilnya Jake. Ia sedang menjalani semester ketiga di sebuah universitas swasta di London, Jurusan Bisnis. Seperti Ibu, ia adalah orang yang penyayang. Jake cenderung overprotektif terhadap diriku, itu menurutku. Karena aku satu-satunya penerus Ibu di rumah ini.
Ah, Jake. Menurutku itu bukan alasan yang tepat.
Kadang aku merasa terganggu dengan sifatnya yang satu ini. Sampai-sampai aku pernah memikirkan teori gila tentang Jake yang kemungkinan mengutus teman-temannya untuk mengikutiku. Aku benar-benar diawasi. Tetapi Jake benar-benar tidak mengekangku, ia hanya berlebihan mengawasi. Selain itu, ia punya sangat banyak kelebihan. Wajahnya (aku berharap dia mewariskan separuhnya saja padaku), kecerdasannya, ia lembut dan tidak pemarah, namun cepat tanggap. Ia sangat dewasa.
Dibandingkan dengan Allen Gray, kakakku yang berusia tepat tiga tahun diatasku. Ya, tanggal lahir kami sama. Allen baru saja memasuki universitas yang sama dengan Jake. Ia mengambil Jurusan Seni. Allen seorang penari yang sangat keren. Kuakui. Aku bahkan sering menjajarkannya dengan Jabbawockeez—grup penari terkenal yang selalu memakai topeng asal Amerika. Ia tipe cowok yang lebih macho jika dibandingkan dengan Jake, lebih mengeluarkan tenaga dan keringatnya. Ia sangat suka berolahraga, namun mudah marah dan cenderung emosional jika berurusan sesama lelaki. Terhadap perempuan ia cenderung berlaku seadanya— tidak suka menarik perhatian. Tetapi itulah yang justru membuatnya digandrungi banyak cewek.
Oh, sumpah. Aku punya dua kakak yang tidak biasa.
Pukul delapan malam.
Aku sedang bersantai menonton televisi di kamar Allen. Menonton acara tentang kucing dan tips-tips perawatannya, sambil memeluk setoples berondong jagung rasa karamel.
Tiba-tiba Allen melempar bantalnya ke kepalaku. Aku mengaduh. Rupanya ia sudah selesai menggambar gerakan tari barunya. Selain berbakat dalam menari, Allen juga cukup handal sebagai seorang koreografer.
"Pukul delapan, manis..." Dia menyeringai.
"Yah..." sahutku pendek sambil memutar bola mata. Kutekan remote TV, mengganti channel ke acara musik favorit Allen. "Aku ke kamar Jake saja, pasti dia sudah pulang."
"Bagus. Minggir, kuman."
"Sialan," umpatku.
"Kasurku perlu diberi desinfektan," Allen menambahi.
"Oh, bisakah kau tak mengejekku? Aku adikmu satu-satunya," selorohku sambil menutup pintu kamarnya. Allen tertawa keras, terdengar walaupun pintunya kututup. Dan samar-samar aku masih mendengar ia berteriak 'tidak' sambil tertawa.
Dasar aneh.
Aku berjalan menyusuri koridor lantai dua. Lampu kamar Jake sudah menyala.
Langkahku terhenti di depan pintu kamar Jake. Sejenak kutarik nafas dalam.
"Masuk, Serina," Jake setengah berteriak dari dalam. Aku nyengir, sudah kubilang orang ini punya tingkat kepekaan yang tinggi jika menyangkut diriku.
"Hai..." sapaku pendek. "Capek?"
"Yah..." Jake tersenyum, tapi aku tahu dia lelah. Ia bekerja sungguh-sungguh di tempat kerja part timenya—sebuah kafe di dekat taman kota. Karena itulah Jake sangat akrab dengan dunia kopi, teh, dan kue. Seringkali ia berbau manis jika sepulang kerja, walaupun hanya sebagai kasir disana. "Kau?"
"Aku seharian di rumah," kataku. "Sehari bersama Allen tepatnya. Tapi ia sibuk dengan koreografi barunya. Ia akan menampilkan sesuatu di hari orientasi universitas. Baru selesai tepat saat acara 'Life for Dance'." Aku menirukan gaya pembawa acaranya saat membuka acara itu, walaupun aku tahu gerakanku tidak sekeren Allen. Bahkan bisa dibilang buruk.
Jake tertawa.
Aku ikut tertawa.
Hening kemudian. Tiba-tiba suasana jadi canggung.
"Jadi, Serina Gray..." Jake terdengar mengarahkan pembicaraan. "Sudah kau tentukan calon sekolah barumu?"
Aku menelan ludah. Pertanyaan tepat mengena sasaran. "Yah, mungkin..." sahutku perlahan. "Aku datang kesini memang untuk memberitahumu tentang itu..."
"Roxalen High?" sekali lagi Jake mengenai sasaran.
"Kau tahu?"
"Ayah dan Ibu," sahut Jake cepat. Ia merebahkan tubuh di ranjangnya yang rapi.
Kami terdiam lagi.
"Oh, ayolah, Serina," Jake tiba-tiba memecah kesunyian. "Kau tak harus memilih sekolah itu, bukan? Maksudku... kau tak seharusnya memilih Roxalen High... maksudku... bahkan seharusnya itu tidak ada di dalam daftar..."
Awalnya begitu. Aku tidak pernah mencantumkan Roxalen High School dalam daftar calon sekolah lanjutan menengah atasku.
Tapi tidak setelah aku nyasar ke sebuah web yang—astaga, bahkan tak bisa kubuka lagi untuk kedua kalinya—tentang Roxalen High School. Aku sempat mengirimkan data diriku, sebelum aku tak bisa mengunjungi web itu lagi. Dan aku mendapatkan e-mail balasan dari administrasi sekolah Roxalen High.
"Aku hanya ingin kau mendapatkan tempat yang terbaik," Jake membuyarkan lamunanku. "Tempat yang sesuai untuk..."
"Untuk orang abnormal sepertiku?"
"Tidak, tidak, Serina," Jake menangguhkan pernyataanku. "Kau normal. Sangat normal. Hanya memiliki kelebihan..."
"Aku abnormal, Jake. Aku bisa melakukan apa yang seharusnya tak bisa dilakukan oleh manusia normal." Aku mengangkat bahu. "Mereka selalu mengataiku begitu."
"Semua ini terlalu aneh, Serina." Jake mengusap rambut coklatnya. Matanya yang hijau terlihat letih. "Serba tidak jelas, kau tidak bisa mempercayai Roxalen High School begitu saja."
Aku tercenung. Memang benar. Oh, Tuhan. Lelucon apalagi yang sedang kubuat saat ini? Setelah sekian ratus 'lelucon' yang sedang kubuat seumur hidupku. Aku selalu terlihat seperti badut di mata orang-orang. Mereka selalu mengataiku aneh. Abnormal.
Aku tidak sedang membicarakan soal fisik. Secara, aku normal.
Tapi memang benar, kenyataannya aku memang abnormal, dalam konteks lain.
"Aku mendapatkan e-mail balasan dari administrasi Roxalen High, Jake," ujarku. "Atas nama kepala sekolah Roxalen High School, Prof. Trassie Muitimk."
"Siapa?" Jake menelengkan kepalanya. "Marganya aneh. Apa sekolah itu di luar negeri?"
"Aku tak tahu," jawabku dengan muka bego. Aku sadar betapa gila dan tidak rasionalnya aku dalam menyikapi hal ini.
"Dengar, Serina..." Jake menatapku dalam-dalam dengan mata hijaunya, membulat sempurna. "Aku tahu kau sangat membutuhkannya, ketika ada yang menawarkan tempat yang benar-benar tepat untukmu. Tapi aku tak berani bertaruh. Aku takut itu hanya memberimu harapan palsu."
Aku balas menatapnya.
"Apa benar-benar ada sekolah khusus seperti ini?" Jake berkata seperti orang kehilangan akal. "Maksudku... apa benar-benar ada orang yang SAMA sepertimu?"
Aku tersenyum kecut. "Kau membuatku terdengar menyedihkan, Jake."
Jake tersentak. Ia langsung bangkit dari ranjangnya dan mendekatiku. "Aku tak bermaksud, Serina." Ia menyentuh lenganku perlahan. "Sungguh."
"Kau tak takut padaku, Jake?"
"Kenapa?"
"Aku bisa merogoh isi perutmu jika aku marah padamu."
Jake tertawa. "Tidak." Ia mendelik. "Kau adikku."
"Itu tidak menjamin," godaku.
"Aku tidak pernah membuatmu marah. Seingatku begitu." Jake tersenyum usil.
Aku tertawa.
Tertawa bukan karena lelucon barusan. Aku tertawa karena obrolan kami sama sekali bukan lelucon. Aku tertawa membayangkan orang-orang yang menganggap kata-kataku pada Jake barusan adalah lelucon.
Tidak.
Sama sekali bukan lelucon.
Kenapa mereka menyebutku aneh. Abnormal. Karena aku bisa melakukan apa yang tidak bisa dilakukan manusia. Aku bisa menembus apapun. Tapi keanehan itu akan muncul jika emosiku sedang labil. Aku mampu melakukannya sejak aku lahir. Sungguh, bahkan keluargaku sudah mengetahui dan membiasakan diri terlebih dahulu dariku. Aku sendiri berasa hampir gila ketika pertama menyadarinya.
Kata Allen, aku hampir gila menyadari kegilaan pada diriku yang gila.
Itu ketika aku masih duduk di Sekolah Dasar. Saat Ed—cowok yang kata Milly naksir padaku—usil membuka ujung rokku dengan gagang sapu. Ed dan gengnya tetawa terbahak-bahak sampai gigi-gigi ompong mereka yang kehitaman terlihat jelas. Aku marah, bercampur malu yang tidak karuan rasanya. Darahku terasa naik ke kepala. Mukaku panas. Aku menggebrak meja untuk melampiaskan kemarahanku. Tanganku sama sekali tidak terasa sakit walau aku memukulkannya keras sekali.
Tiba-tiba teman sekelasku terpekik ngeri melihatku.
Aku bingung. Kualihkan mataku untuk melihat apa yang membuat mereka ketakutan. Kupikir Ed benar-benar berhasil menjatuhkan rokku dan memperlihatkan celana dalam motif kelinci yang sedang kupakai, namun ternyata tidak.
Kucari lagi. Kutelusuri tanganku. Astaga, aku tak bisa melihat telapak tanganku! Sempat kubayangkan jika telapak tanganku patah dan jatuh tergeletak entah dimana. Saking paniknya. Kutarik tanganku.
Dan kudapati tanganku utuh. Telapak tangan. Lima jari.
Sumpah, aku benar-benar bingung saat itu. Kupikir aku berhalusinasi. Tapi kenapa teman-temanku juga ikut ketakutan?
"Tangannya menembus meja," bisik Ed penuh kengerian pada Tobias.
Sempurna, saat itu juga seisi sekolah menjauhiku sampai aku lulus.
Setelah kejadian itu aku perlu waktu yang cukup lama untuk menerima diriku sendiri. Kalau menurut teori Jake: krisis kepercayaan diri. Kata Allen: berkubang di dalam kegelapan.
"Roxalen High..." Jake membuyarkan lamunanku lagi. "Atau apapun itu... mereka tahu tentang apa yang kau miliki, Serina. Bisa saja mereka ingin memanfaatkanmu untuk kepentingan mereka sendiri. Atau bahkan membahayakanmu. Kau tahu, bukan? Tidak semua orang luar menerima keberadaanmu!" nada bicara Jake makin meninggi.
Tubuhku kaku menatapnya. Sungguh, baru kali ini Jake berbicara begitu padaku.
"Kau pikir aku tak pernah punya ketakutan seperti itu?" balasku dengan nada bicara yang ikut meninggi. "Aku yang melakukan semua ini. Aku yang menjalaninya. Merasakannya!" aku tersengal.
"Ketakutan seperti itu bukan hal baru bagiku..." Aku menemukan suaraku kembali.
Jake terdiam.
"Setidaknya aku ingin mencoba," tambahku. "Aku ingin mencobanya. Sangat ingin. Aku tak ingin seperti ini terus. Walaupun tak pasti, harapan sekecil ini. Aku sungguh-sungguh ingin melakukannya."
Aku menatap Jake dalam-dalam.
Ia balas menatapku.
"Kau yakin bisa menjaga dirimu?"
"Oh, Jake..." Aku menendang kakinya pelan. "Keanehanku bisa kugunakan untuk menjaga diriku. Dan mungkin aku akan belajar sedikit bela diri dari Allen."
Jake mengacak-ngacak rambutku. "Kau benar-benar keras kepala seperti Allen, menyebalkan."
"Tanggal lahir kami sama." Aku tertawa.
"Bagaimana dengan Ayah dan Ibu?" tanya Jake.
"Mereka membebaskanku." Aku tersenyum senang.
"Allen?"
"Ia bahkan tak terganggu sedikit pun." Aku mengangkat bahu. "Ia sangat percaya padaku."
Jake menghela napas berat. "Oh... terkadang aku iri dengan sifat super serampangannya." Kami tertawa.
"Mereka akan mengirimkan seragam dan semua keperluan besok," jelasku. "Urusan administrasi akan diselesaikan saat aku tiba di sana."
Jake mendelik.
"Sistem asrama?"
"Yup"
"Oh, yang benar saja," Jake mengerang. "Bahkan tempatnya belum jelas."
"Aku tak peduli. Semua sudah setuju dan aku akan bersekolah di sana minggu depan."
"Jika semua ini hanya tipuan, katakan padaku apa yang akan kau lakukan." Jake menyilangkan tangannya.
Aku menelan ludah.
Yah, tidak ada salahnya antisipasi kemungkinan terburuk.
"Aku hanya mencobanya, Jake," terangku. "Jika kemungkinan buruk terjadi , aku akan kembali dan mencari sekolah lain."
"Kau yakin?"
Aku mengangguk. "Ya," aku meyakinkan. "Aku akan kembali."