Anderson meraih tanganku kemudian menggenggamnya. Tiba-tiba aku merasa seperti tersengat listrik. Rasanya persis seperti ketika aku tersetrum saat mencabut kabel televisi sewaktu aku masih kecil. Tanganku tidak sengaja menyentuh logam stekernya waktu itu. Jake dan Allen yang mencoba menyelamatkanku ikut tersengat listrik. Baru ketika Ayah menarik kami bertiga, tanganku bisa terlepas dari steker itu. Hasilnya di tanganku ada luka bakar yang baru sembuh setelah sekitar sebulan lebih.
Rasanya sama seperti yang aku rasakan dari tangan Anderson saat ini, namun intensitasnya lebih kecil. Hanya berupa sedikit kejutan listrik, tak sampai membuatku kesakitan. Refleks aku meloncat dan segera melepaskan genggaman tangan Anderson.
"Itulah mengapa teman-teman seangkatanku memanggilku Pikachu." Anderson tersenyum sambil mengangkat bahunya.
"Baiklah aku percaya sekarang," kataku sambil meringis dan mengibaskan tangan.
"Baiklah, sekarang kita lihat daftarnya, siapa yang akan menangani kalian." Anderson membuka lembaran kertas yang dibawanya sedari tadi. "Serina Gray dan Clark…"
"Luvithor," Clark mengingatkan.
"Ah, ya. Luvithor. Maaf, aku punya ingatan yang buruk untuk nama."
Clark mendekat padaku. "Dia punya sengatan listrik?" bisiknya.
Aku mengangguk mengiyakan. Clark terlihat menelan ludah. "Tenanglah, kau bisa lari jauh entah kemana sebelum listriknya mencapaimu," hiburku. Clark tertawa terkekeh.
"Baiklah, aku mulai dari Clark Luvithor terlebih dahulu karena abjadnya terletak lebih awal." Anderson kembali angkat bicara. "Luvithor, pembimbingmu selama masa orientasi adalah Lee Kyu Jin."
Clark masih terbengong di tempatnya.
"Kyu Jin ada disana. Orang Korea. Tinggi, berkulit putih susu. Kau bisa lihat tingginya menonjol di gerombolan pembimbing di sebelah sana," terang Anderson sambil menunjuk ke arah gerombolan berseragam hitam di ujung barat halaman sekolah. Sekali lihat aku langsung bisa menemukan orang yang dimaksud Anderson. Dia memang yang paling tinggi di gerombolan itu.
Tampaknya Clark juga segera menemukannya setelah mendapatkan petunjuk Anderson.
"Kita bertemu lagi nanti," Clark pamit padaku. Aku hanya mengangguk tanpa berpikir panjang kemudian mengawasi Clark yang melangkah canggung untuk menemukan pembimbingnya.
"Dan Sam Huddwake untukmu, Gray." Anderson telah menemukan nama pembimbingku.
"Huddwake?" tanyaku mengklarifikasi.
"Ya, Sam Huddwake, Irlandia." Anderson memastikan. Aku mengangguk. "Kurasa kalian bisa cepat akrab. Huddwake yang paling senior diantara kami. Orangnya agak susah akrab, dan berhati-hatilah." Anderson memberikan pernyataan yang berlawanan dalam satu kalimatnya, membuatku agak bingung.
"Dia di sana, berambut hitam cepak. Telinganya ditindik di sebelah kiri." Anderson menunjuk ke gerombolan yang tak jauh dari tempat Lee Kyu Jin tadi. Huddwake ada di gerombolan yang semua isinya lelaki, namun aku tak kesulitan menemukannya. Karena kebetulan ia sedang menatapku dan Anderson.
"Dia melihat kesini? Oh, tentu saja dia sudah tahu. Huddwake bisa membaca pikiran orang, Gray." Anderson memberitahu. Aku tertegun. "Baiklah, aku akan meninggalkanmu. Semoga kau berhasil." Anderson tersenyum dan menepuk pundakku, kemudian ia berlalu.
Aku sendiri segera berjalan ke arah Huddwake dengan langkah yang sangat canggung—jauh lebih canggung dan gugup dari langkah Clark tadi karena Huddwake terus menatapku dengan tajam. Ia tak mengalihkan matanya dariku sedikit pun sejak aku melangkah dari tempat Anderson tadi. Teman-teman Huddwake juga ikut memperhatikanku sambil berbisik-bisik. Aku jadi merasa seperti melangkah memakai sepatu hak super tinggi di panggung Paris Fashion Week saking gugupnya. Aku tak terbiasa dengan tatapan banyak cowok seperti itu, karena enam belas tahun ini semua temanku selalu menjauhiku dan hanya ada Jacob dan Allen—oh, Ayah juga—cowok di hidupku. Sedangkan Clark, dia tidak nampak begitu cowok di mataku—mungkin karena penampilannya yang cenderung ringkih. Ia pucat dan ceking, banyak bicara, serta dengan mudah menyesuaikan diri denganku.
Teman-teman Huddwake segera menyingkir bagitu aku mendekat. Sebelum berpisah mereka saling memukul sambil bercanda—salam perpisahan yang agak kasar menurutku—tapi mungkin biasa bagi para cowok.
"Canggung?" Huddwake bertanya dengan nada agak mengejek. Ternyata suaranya tidak segalak yang aku bayangkan saat melihat penampilannya. "Tak apa. Setidaknya kami tidak memandangimu dengan pandangan yang sama dengan teman-teman sekolahmu dulu."
"Kau membaca pikiranku," terkaku. Kesal.
"Itu selalu menjadi hiburan yang menarik bagiku." Huddwake tertawa kecil. "Tapi tadi aku tidak melakukannya padamu," ujarnya sambil membaca lembaran data tentang diriku.
"Jadi?"
"Aku hanya mengamatimu. Kau terlalu mudah ditebak."
Aku memutar bola mata. Belum genap sehari dan aku sudah banyak mendengar kalimat itu. Dan parahnya lagi, yang terakhir mengucapkannya adalah orang yang baru saja aku kenal. Payah.
Aku merengut dalam diamku.
"Jadi, mari kita lihat seberapa hebatnya dirimu," suara Huddwake terdengar menantang.
"Apa maksudmu?"
"Kau terlalu banyak bertanya, Gray." Huddwake membuat kupingku terasa makin panas. "Ikuti aku saja." Huddwake melangkah terlebih dahulu dengan cepat. Aku mendengus kesal. Dia bahkan tidak membantu membawa bahkan hanya tas kecilku. Oh, apa dia tidak memiliki tata krama sebagai pria Inggris sejati?
Tiba-tiba Huddwake berjalan balik ke arahku kemudian merebut salah satu koperku dari tanganku.
"Aku bawakan. Tapi yang warna pink kau bawa sendiri," katanya datar. Ia mengambil koperku yang berwarna abu-abu dan membiarkanku membawa yang berwarna pink. Aku nyengir. Apa orang ini benar-benar tidak membaca pikiranku? Aku tidak bisa menjaminnya. Bersama Huddwake aku merasa seperti dicurangi. Rasanya tidak aman. Aku berharap bisa bertahan dengan orang ini sampai masa orientasi selesai.
Sepintas aku melihat Clark bersama Lee Kyu Jin. Mereka terlihat akrab satu sama lain. Oh, Tuhan... kenapa harus orang seperti Huddwake yang menjadi pembimbingku? Sangat menyulitkan dan mengancam kejiwaanku. Aku mendesah. Buru-buru kuhilangkan pikiran barusan, khawatir jika Huddwake menjelajahi isi otakku.
Kami meninggalkan halaman, memasuki gedung sekolah dan melewati pintu kaca. Lobi sekolah, ruang guru, kelas-kelas, perpustakaan, dan laboraturium serta lapangan olahraga. Semuanya terlihat normal, hanya aku penasaran dimana letak asrama siswa. Namun mengingat sikap Huddwake terhadap pertanyaan yang kuajukan, aku jadi enggan untuk bertanya lagi. Aku dan Huddwake berhenti di lapangan sekolah.
"Simpan dulu pertanyaanmu," cicit Huddwake sebelum aku sempat buka mulut.
"Oke Mr.Huddwake," jawabku kesal.
"Jangan membuatku kesal." Huddwake mendelik padaku. Menakutkan. Aku cepat-cepat menunduk, menghindari tatapan matanya yang persis serigala.
"Baiklah. Sekarang kau harus melawanku dengan kekuatanmu," kata Huddwake sambil menurunkan pegangan koperku.
Aku mendelik padanya.
"Kau bercanda?" Aku tertawa aneh. "Aku bahkan belum bisa mengendalikan kekuatanku."
"Ini prosedur orientasi siswa." Huddwake menunjukkan selembar kertas padaku. Jadwal kegiatan orientasi siswa. "Semua murid baru harus melakukannya. Termasuk kau, Gray. Artinya, kemungkinan seperti itu sudah dipertimbangkan."
Aku berjalan bolak-balik sambil memegangi rambutku.
Yang benar saja. Aku harus melawan orang ini? Bagaimana caranya?
Aku berani bertaruh bahkan saat aku menemukan suatu cara, sebelum aku sempat melakukan cara itu, Huddwake sudah menemukan cara untuk mengatasi caraku karena ia sudah membaca pikiranku. Sial.
"Delapan puluh persen siswa baru Roxalen High belum bisa mengendalikan kekuatan mereka," jelas Huddwake. "Jadi kau tak punya alasan untuk mengelak dari prosedur ini."
Huddwake tersenyum arogan. Aku menatap mata abu-abunya lekat-lekat.
"Kita mulai sekarang." Huddwake menjetikkan jari tengah dan jempol, membuatku tersentak. Aku terdiam linglung mendapati Huddwake terdiam di tempatnya. Hanya berdiri bersedekap, ia tersenyum menatapku. Huddwake sungguh menyebalkan, gayanya sok. Tapi sebenarnya menurutku ia cukup tampan. Rambutnya hitam legam. Kulitnya tidak begitu putih, ada beberapa bekas luka di lengan bawahnya. Wajahnya bersih, tulang dahi dan pipinya membentuk karakter wajahnya. Bibir Huddwake yang tipis menyungging senyum arogan. Alisnya rapi dan membentuk garis tajam. Tatapan matanya sangat tajam dan fokus. Warna matanya abu-abu jernih, seperti serigala salju. Aku seperti terhanyut ketika menatap mata Huddwake.
Tiba-tiba Huddwake tertawa menyembur hingga menekuk tubuhnya. Aku sendiri merasa kaget, seperti hampir lupa apa yang kulakukan dan kupikirkan tadi.
"Aku lupa memberitahumu, Gray." Huddwake menepuk pundakku. Ia masih menahan tawa. "Aku tidak hanya bisa membaca pikiran, tapi aku juga bisa MENGENDALIKAN pikiran seseorang."
Aku terbengong, mencoba mencerna kata-kata Huddwake.
"Kau…" Aku menatap Huddwake dengan tatapan tidak percaya.
"Aku mengendalikan pikiranmu tadi." Huddwake mendekat padaku sambil tersenyum licik. "Boleh aku lanjutkan? Kira-kira apa yang bagus setelah itu?"
Kudorong Huddwake hingga ia terjengkang. Ia mengaduh. Aku gelagapan, tidak menyangka bahwa ia akan terjatuh karena kudorong.
"Apa yang kau lakukan padaku, Gray?" Huddwake berdiri sambil menepuk celana jeansnya yang kotor terkena debu. "Kau sungguh tak memikirkan apa yang kau lakukan barusan."
"Refleks," aku menjawabnya dengan ketus. "Karena kau membuatku muak."
Huddwake menyeringai galak. "Sudah kubilang lawan aku dengan kekuatanmu, bukan dengan cara konyol seperti tadi." Ia mendekatkan wajah padaku. "Kau bahkan sudah berani menyentuhku di hari pertamamu, huh? Apa sedemikian hebatnya diriku mengendalikan pikiranmu?"
Huddwake tersenyum penuh kemenangan. Aku menggertakkan gigi. Mukaku panas mendengar ucapan si brengsek itu. Bersamaan dengan itu mendadak aku merasa seperti kesadaranku diambil alih. Sama seperti tadi, bola mata Huddwake menarikku semakin dalam. Aku merasa agak mengantuk. Dan aku merasa seperti tergila-gila pada orang yang ada di hadapanku ini. Dia sedang berusaha merasuki pikiranku dan mengendalikannya.
Huddwake brengsek!
Aku mati-matian berusaha melawannya, berusaha menjaga kesadaranku dan mengontrol pikiranku. Dengan sekuat tenaga aku berusaha menggerakkan tangan kananku. Sungguh konyol, rasanya tanganku seperti dibebani berkilo-kilo beban. Berat. Dahiku sampai berkeringat. Huddwake menyentuh wajahku sambil tersenyum picik.
"Apa kau menyukaiku, Serina?" ejeknya. Caranya memandang diriku, aku sangat membencinya.
"Aaaaaaarghh!" aku berteriak sekencang mungkin dan berhasil mengangkat tangan kananku. Kucengkeram kepala Huddwake. Nafasku terengah-engah. Huddwake melirik ke arah tanganku, kaget. Aku terus mencengkeram kepalanya dengan penuh kemarahan, perlahan-lahan aku bisa merasakan tengkorak Huddwake. Belum puas karena melihat Huddwake belum bergeming, aku terus menekan jari-jariku masuk ke dalam, menembus tengkorak Huddwake—ingin kucengkeram otak sialannya yang sekarang tinggal setengah mengendalikan pikiranku.
Huddwake mengerang keras. Aku tersentak, kesadaran dan kontrolku sudah sepenuhnya kembali. Huddwake sudah mengehentikan kekuatannya. Aku cepat-cepat menarik tangan dari kepalanya. Huddwake jatuh terduduk di hadapanku—meringis kesakitan memegangi kepalanya. Kudapati jari-jariku sedikit berlumuran darah.
Darah dari kepala Huddwake.