Aku gemetaran melihatnya. Kudekati Huddwake, kemudian kusibakkan rambut hitamnya dengan tangan kiri. Kuraba-raba kepalanya, tidak ada luka sedikit pun.
Tanganku benar-benar menembus kepala Huddwake tadi.
"Hentikan." Huddwake menepis tanganku dengan kasar. Tatapannya tetap tajam.
"Maaf..." kataku dengan suara sedikit bergetar. "Aku hanya ingin memastikan keadaanmu baik-baik saja, Huddwake," aku bersusah payah mengatakannya. Lidahku serasa kelu.
"Aku baik-baik saja." Huddwake berdiri perlahan-lahan. "Singkirkan tanganmu dariku." Ia mendorong tubuhku perlahan, agak menjauh dari tempatnya berdiri.
Aku menelan ludah, agak gemetaran. Aku takut telah menyakiti orang lain dengan kekuatanku. Pandanganku memburam karena sedikit demi sedikit air mataku mulai keluar.
"Jangan merasa bersalah." Huddwake menepuk pundakku. "Aku tadi juga menyakitimu, bukan? Anggap saja kita impas."
Aku masih terdiam sambil menatap jariku yang berlumuran darah.
Huddwake menarik sapu tangan dari saku celananya, lalu membersihkan tanganku. Aku menatapnya penuh rasa bersalah. Ia balas menatapku, kemudian tersenyum tipis.
"Maaf jika aku keterlaluan. Aku hanya berusaha membantu agar kau bisa menggunakan kekuatanmu," Huddwake berkata sembari menggosok sela kukuku, ada sisa darah disana. "Sekarang kau berhutang padaku. Cuci sampai bersih dan wangi." Ia melempar sapu tangannya ke wajahku.
'Orang ini, apa dia berkepribadian ganda?'
"Apa kau butuh sedikit aspirin?" tanyaku kikuk. "Mungkin kau pusing."
Huddwake menatapku agak lama dengan sorot yang datar. "Tidak. Aku memilih kopi. Nanti aku akan mampir ke Roxy Café setelah selesai mengurusmu," ia berkata seakan punya kewajiban untuk memberi makan hewan peliharaannya sebelum bisa bersantai seharian. Aku menggerutu kesal sementara Huddwake memberi tanda cek pada lembar jadwal orientasinya. "Setelah ini kita harus ke ruang administrasi untuk menentukan kelasmu dan mendapatkan kartu ID."
Aku mengangguk dan segera menarik pegangan koperku. Huddwake masih membawakan satu koperku. Sepintas aku melihat Clark berdiri di sudut lapangan sendirian, mengawasi sekelilingnya. Tiba-tiba Lee Kyu Jin sudah berada di sudut yang lain sambil mengacung-acungkan sebuah apel merah. Clark sekejap menghilang, ia berlari menggunakan kekuatannya. Sialnya ia kehilangan kecepatannya di tengah-tengah dan mendapati Lee Kyu Jin sudah tak di tempat.
"Kyu Jin bisa menghilang," Huddwake menerangkan.
"Apa aku harus memakai ember seng di kepala agar kau tak bisa membaca pikiranku?" tanyaku kesal. Huddwake ternyata masih lancang membaca pikiranku.
Cowok itu tertawa terpingkal-pingkal. Butuh berapa menit sebelum ia siap menjawab pertanyaanku. "Itu tidak akan membantu, Gray," ujarnya seraya menahan tawa. "Tak ada yang bisa menghalangiku untuk membaca pikiran seseorang jika aku masih ada di sekitar mereka. Kecuali satu hal, kau harus menghindari tatapan mataku jika tak ingin aku mengendalikan pikiranmu."
Sontak aku mengerjapkan mataku yang sedang menatap Huddwake.
Ah, sungguh tidak adil. Kelemahannya malah tertolong oleh matanya yang memang indah. Lebar, terang, abu-abu jernih, dan tajam. Aku yakin tak ada orang yang melewatkan mata serigala Sam Huddwake. Agak susah untuk menghindarinya.
"Ayo kita jalan. Sudah mulai sore," ajaknya.
Aku segera mengekor di belakang Huddwake.
Kami menelusuri koridor-koridor kelas yang sepi. Aku bisa mendengar suara roda koperku dan gemeletuknya ketika melewati sela-sela lantai. Kami terdiam hingga menemukan pertemuan tiga koridor yang dibuntu dengan sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu oak berwarna gelap. Mataku menelusuri ukir-ukirannya yang indah.
'Auditorium sekolah. Kira-kira apa yang akan kami lakukan disini? Bukankah tadi Huddwake berkata bahwa kami harus pergi ke ruang administrasi sekolah?'
"Oh, hai!"
Tiba-tiba seorang cewek berwajah latin membuka pintu dari dalam. Kulitnya yang kecoklatan terlihat terawat dengan baik. Begitu pula dengan kukunya yang panjang-panjang, dihias dengan nail art manik-manik yang berkilauan. Rambutnya hitam legam panjang sampai pinggang, dikeriting gantung. Cewek itu memakai riasan yang agak mencolok. Aku bahkan bisa melihat bulu mata palsunya yang sangat tebal dan lentik. Ia memakai tank top putih ketat. Lekuk tubuhnya yang—kuakui memang bagus, sempurna—terlihat jelas berkat pakaiannya. Celana jeans biru tuanya terlihat pas dipadu dengan sepatu dengan hak setinggi kira-kira delapan sentimeter berwarna putih. Dia cantik, tapi mengarah ke modis dan… uh, seksi.
Aku terhenyak. Apa dia murid Roxalen High? Dia lebih terlihat seperti akan pergi ke klub malam.
"Kau belum selesai, Sayang?" Cewek itu mengecup pipi Huddwake.
Mataku membelalak. Mulutku ingin terbuka tapi kutahan.
"Apa kau tidak bisa melihat dia masih bersamaku?" Huddwake menanggapi dengan nada datar. "Jangan menciumku sembarangan, Megan. Apalagi di depan murid baru. Kau harus tahu aturan."
Cewek itu terkikik. "Ayolah. Kau masih saja begini. Sudah berapa bulan kita jadian?" Cewek itu memandang ke arahku. "Maaf, kau mungil sekali. Aku tidak melihatmu tadi."
Mendadak perasaanku jadi tidak enak terhadap cewek ini. "Yah," jawabku pendek. Aku tak menemukan jawaban lain.
"Kenalkan, ini Megan Martinez, dari Brazil," Huddwake menyela.
"Aku cewek Huddwake." Martinez menggamit lengan Huddwake. "Dan kau?"
"Serina Gray, Inggris," aku menjawab tanpa minat.
"Wow, Serina. Apa kau memakai gaun kerajaan di rumah?" Martinez membelalakkan matanya berlebihan. "Sepertinya kau belum terbiasa memakai baju normal. Lihat ini, tank top hijau apukatmu kenapa kau padu dengan cardigan hitam seperti ini? Ini seperti gaya musim gugur."
Aku memutar bola mata. Huddwake dan Martinez—pasangan yang serasi. Sama-sama menyebalkan.
"Kurasa tidak ada masalah pada gaya berpakaiannya," Huddwake angkat bicara sambil melirikku.
"Sayang, lihat saja sepatunya. Itu juga untuk musim gugur, membuat kakimu lembap. Kau bisa terserang kutu air kalau memakainya di musim panas seperti ini."
"Terima kasih untuk sarannya, Martinez. Tapi aku sedang nyaman dengan gaya musim gugur ini dan kau bisa tenang karena aku tidak terkena kutu air," kataku sambil tersenyum pada Martinez.
Martinez mengernyitkan alisnya dan berdecak kesal.
"Aku harus melanjutkan tugasku." Huddwake melepaskan gamitan tangan Martinez.
Martinez mendengus. "Oke. Aku temui kau di Roxy Café jika sudah selesai." Ia melirikku tidak senang kemudian pergi. Suara entakan sepatunya bergema di koridor.
Oh, bagus. Sepertinya aku sudah memiliki musuh di hari pertamaku. Bertemu Martinez membuatku agak tertekan. Badanku jadi terasa pegal.
"Bisa kita lanjutkan?" tanya Huddwake. Aku meliriknya kesal. Dia bahkan tidak meminta maaf atas gangguan tadi?
Ah, sudahlah. Mungkin hanya aku yang menganggapnya sebagai gangguan. Mungkin aku yang terlalu lelah sehingga gampang emosi.
"Kau bisa stres kalau pikiranmu selalu sekompleks itu." Huddwake menyeringai.
Aku membelalakkan mata. "Berhenti mengeksploitasi pikiranku." Aku menunjuk ke wajah cowok berengsek itu. "Dan atur cewekmu, Huddwake. Dia membuatku muak."
Huddwake tertawa kecil kemudian memasuki pintu auditorium. "Aku tak peduli dia seperti apa. Aku tak mau mengaturnya dan dia tidak bisa mengaturku."
"Terserahlah." Aku mengikuti langkah Huddwake.
Kami terus menyeberangi auditorium. Atapnya sangat tinggi, berangka kayu jati hitam. Jendela di sisi-sisi auditorium yang tinggi dan besar berhiaskan kaca berukir klasik. Aku bisa merasakan hangatnya sinar matahari senja di sepanjang auditorium. Suasananya menenangkan.
Huddwake memberi isyarat agar aku mengikutinya ke balik panggung. Huddwake menyibak tirai belakang panggung yang berwarna merah tua itu. Aku hanya mengangkat bahu kemudian menuruni tangga kayu yang mengkilap, mengarah ke satu pintu dari besi yang tampak seperti pintu lift
Huddwake merogoh saku celananya, mengeluarkan selembar kartu berwarna hitam emas dari dompetnya. Diarahkannya kode bar kartu tesebut ke depan mesin pemindai di samping pintu. Mesin tersebut mengeluarkan bunyi 'ping' kemudian menampilkan tulisan AKSES DITERIMA. Jantungku berdebar-debar, menanti kira-kira apa yang ada dibalik pintu besi ini.
Perlahan pintu itu mulai terbuka.