Ada sebuah koridor di balik pintu besi tadi. Koridor ini buntu, berujung dengan dinding berhiaskan ukiran logo Roxalen High yang terbuat dari perak. Penerangan di koridor hanyalah lampu-lampu kecil yang ditanam di lantai, membuat suasana jadi agak temaram. Di sisi-sisi koridor terdapat pintu-pintu lift, masing-masing sisi kanan dan kiri terdapat empat pintu lift.
Huddwake menekan tombol lift yang ada di ujung kiri koridor.
"Kartu ID yang akan kau terima nantinya berfungsi sebagai salah satu pendukung sistem keamanan Roxalen High—selain pindaian sidik jari, juga berfungsi standar sebagai kartu identitas siswa," ia menerangkan sambil memasukkan kembali kartu ke saku celananya. "Kau tak akan mendapatkannya sampai kau berhasil melewati uji kekuatan yang diberikan pembimbingmu."
Aku menyeringai. "Yah, kuharap aku takkan pernah kehilangan kartuku."
Pintu lift terbuka. Kosong.
Kami segera masuk.
"Kau tak akan menginginkan hal itu terjadi, kecuali kau benar-benar punya tekad baja untuk melalui administrasi yang sangat rumit demi mendapatkan kartu ID yang baru," Huddwake berkata setelah menekan tombol LG1. "Dan uang denda pastinya."
"Baiklah," aku mengiyakan peringatan Huddwake.
Lift berdenting.
Begitu pintu lift yang kami tumpangi terbuka, suara ribut yang berdengung seperti kerumunan tawon menyeruak masuk ke telingaku. Dari tempat-tempat yang sebelumnya kutemui di Roxalen High, ruangan inilah yang paling ramai. Ruangan ini bergaya futuristik, dominan berwarna hitam dengan aksen lampu-lampu LED putih hangat. Murid-murid mengantri di depan meja panjang setinggi setengah badan. Di belakang meja panjang hitam itu, duduk sekitar lima pegawai berseragam hitam yang sibuk memelototi layar yang ditanam di meja mereka. Jemari para pegawai beradu dengan layar sentuh, mengetik dengan cepat, dan mencetak lembaran-lembaran administrasi siswa.
"Uh, agak ramai," Huddwake mengeluh sambil mengusap rambut hitamnya. "Aku lupa kalau sore ini adalah akhir daftar ulang siswa lama, bersamaan dengan pendataan siswa baru."
Aku mengawasi sekitarku, tak bisa membedakan mana siswa baru dan siswa lama yang baru saja kembali dari liburan musim panas. Semua murid dari seluruh penjuru dunia berkumpul di sini. Dan semuanya sama sepertiku—memiliki kelebihan khusus. Mungkin setelah beberapa hari selanjutnya di Roxalen High, aku benar-benar tidak lagi menganggap diriku sebagai abnormal.
"Masuklah antrian sebelah sana." Huddwake menunjuk ke antrian kedua yang terdekat dari tempat kami berdiri. "Mrs.Thompson yang bekerja paling cepat."
Aku segera menaruh koper yang kubawa di dekat kaki Huddwake. Ia menarik lenganku ketika aku hendak beranjak menuju antrian.
"Berikan kertas ini pada Mrs.Thompson." Huddwake menyodorkan kertas jadwal orientasi yang sedari tadi dipegangnya. "Ini untuk menentukan kelasmu. Jangan coba-coba membacanya atau aku akan mengeksploitasi pikiranmu seumur hidup."
"Oke," aku setengah berteriak karena kesal.
Dasar Huddwake tukang atur. Padahal aku sama sekali tidak ada niatan bahkan untuk membuka lembaran ini. Langkahku agak mengentak-entak karena kesal. Seorang cewek yang berdiri di ujung paling belakang antrian kedua tersenyum melihatku. Wajahnya oriental, jelas orang Asia jika bukan campuran. Kulitnya benar-benar mulus putih bersih. Hidungnya kecil. Rambut cewek itu hitam sebahu dicat kecoklatan.
"Halo," cewek itu menyapa ramah. "Apa kau murid baru?"
Aku jelas-jelas mendengarnya, gadis itu berbicara dengan bahasa Jepang. Anehnya aku bisa mengerti apa yang ia bicarakan, padahal aku sama sekali tidak menguasai bahasa Jepang. Aku mengernyit bingung. Gadis itu menatapku, menunggu jawaban.
"Err… ya," aku menjawabnya dengan bahasa Inggris. "Maaf, apa kau bisa memahami apa yang kubicarakan? Aku tak bisa berbicara dengan bahasa Jepang."
Cewek itu mengangguk dengan penuh semangat. "Sejujurnya bahasa Inggrisku buruk sekali. Tapi entah kenapa disini aku bisa memahami bahasa apapun yang digunakan orang untuk berkomunikasi denganku."
"Telingamu mendengar bahasa aslinya namun otakmu menerjemahkan dalam bahasamu sendiri?" tanyaku memastikan.
"Seperti itulah."
"Oh, ini sungguh aneh."
"Tapi aku senang. Pembimbingku berbicara dengan bahasa Swahili dan aku bisa memahaminya. Dengan begitu aku bisa memahami semua bahasa manusia dan hewan." Cewek itu melonjak senang.
"Kau bisa mengerti hewan?" aku bertanya, kemudian langsung bingung sendiri dengan pertanyaanku.
"Ya, aku bisa mengerti. Tapi aku belum menguasai cara berkomunikasi dengan mereka," cewek itu berbicara sambil menggosok bawah hidungnya. "Untungnya tadi aku bisa menyuruh sekelompok burung yang lewat untuk mematuki pembimbingku, jadi aku bisa menang. Sayangnya aku kehilangan kontrol kekuatan di tengah-tengah. Aku tak tahu lagi cara untuk mengontrol burung-burung itu sehingga mereka balik mematukiku."
Aku tertawa membayangkannya. Dan juga, cewek ini cepat sekali kalau berbicara.
"Oh, tak apa. Sebenarnya kau tak perlu menang, hanya perlu memenangkan 'standar' yang ditetapkan oleh pembimbingmu," tambahku. Cewek itu mengangguk-angguk. "Kenalkan, aku Serina Gray. Baru datang dari London."
"Oh, kau orang lokal Inggris?" tanya cewek itu dengan penuh antusias. "Aku Rinwa Daisuke dari Jepang. Senang berkenalan denganmu, Serina! Lain kali mungkin kau bisa menjadi pemanduku untuk berkeliling keluar Roxalen."
Seseorang menegur Daisuke saat aku baru mau membuka mulut untuk menyanggupi permintaannya. Ternyata seorang wanita paruh baya—yang Huddwake menyebutnya sebagai Mrs.Thompson—mengingatkan Daisuke untuk segera maju. Sudah giliran Daisuke, kami terlalu asyik mengobrol. Benar juga kata Huddwake, Mrs.Thompson bekerja dengan cepat. Daisuke meringis sambil menggaruk-garuk kepalanya, kemudian menghadap Mrs.Thompson.
Tak berselang lama, Daisuke menyelesaikan gilirannya. Ia tersenyum-semyum padaku sambil melipat lembaran jadwal orientasinya. "Aku masuk kelas A," katanya senang.
"Oh, itu bagus," aku ikut senang. Daisuke orang yang menyenangkan. "Semoga kita bisa bertemu di kelas yang sama."
"Tentu. Kau kelihatan hebat, Serina." Daisuke menepuk pundakku penuh dukungan. Aku tertawa tanggung mendengar perkataannya. "Aku duluan, oke? Longaa sudah menungguku." Ia menunjuk ke arah pembimbingnya. Aku mengangguk sambil melambaikan tangan pada Daisuke.
Mrs.Thompson berdehem.
Aku tersentak kaget dan langsung maju ke depan meja administrasi.
"Halo, aku Anneliese Thompson, petugas administrasi kode 201 Roxalen High School. Bisa kau berikan lembar data orientasimu?" Mrs.Thompson berbicara sangat cepat dengan nada angkuh. Aku bisa langsung mengerti bahwa yang ia maksud dengan lembar data orientasi adalah apa yang kumaksud dengan lembar jadwal orientasi. Aku langsung menyodorkan kertas yang sudah setengah lusuh itu pada Mrs.Thompson.
"Oh, Sam Huddwake," Mrs.Thompson mendesis. Aku menyorongkan kepalaku pada beliau, mengantisipasi agar aku bisa mendengar lebih baik jika Mrs.Thompson melanjutkan kalimatnya, namun ternyata tidak.
Si Huddwake itu, ternyata dia terkenal juga.
"Pindai kelima sidik jarimu." Mrs. Thompson memberikan isyarat berupa sedikit lambaian tangan, membimbingku untuk mendekati perekam sidik jari di sisi kiri mejanya.
"Huddwake merekomendasikanmu ke kelas A," Mrs.Thompson berkata sambil memindai sidik jariku satu persatu. Matanya tetap menatap ke layar komputer di bawah mejanya. "Aku tak menyangka, tapi selamat."
Sedetik setelah Mrs.Thompson mengucapkan selamat. Terdengar bunyi—yang menurutku seperti bunyi mesin pemindai dokumen Ibu di rumah—dan diakhiri dengan bunyi stempel. Mrs.Thompson mengembalikan lembar data orientasi, ditambah dengan sebuah kartu ID. Bentuk dan coraknya sama seperti milik Huddwake, hanya warna dasarnya yang berbeda. Milikku putih.
"Semoga harimu baik, nak," kata Mrs.Thompson sambil tetap menatap pekerjaannya.
"Thanks, Mrs.Thompson." Aku tersenyum pada beliau dan segera berbalik kembali ke Huddwake yang kelihatan tak sabar menunggu. Ia menggerak-gerakkan kaki sambil bernyanyi, tapi tetap saja sembilan puluh persen gestur tubuhnya menunjukkan bahwa ia gelisah. Aku hanya melengos menatap pemandangan itu.
"Nih." Kusodorkan kembali lembar data orientasi pada Huddwake.
"Kau tidak membacanya, bukan?"
"Kenapa repot-repot bertanya? Acak-acak saja isi otakku dan kau akan langsung tahu," jawabku sewot.
Huddwake tertawa aneh. "Sudah pintar kau sekarang," nadanya kedengaran kesal.
"Tentu," jawabku cuek. "Ayo, sekarang apa kegiatan selanjutnya?"
Aku bisa mendengar Huddwake menggeram. Nyaliku agak ciut juga.
"Tak ada. Aku hanya perlu mengantarmu ke asrama siswa." Huddwake menjawab ketus. "Dan setelah itu akhirnya aku bisa bersantai di Roxy Café."
Aku memutar bola mata. Rupanya si brengsek ini sudah tak sabar ingin bertemu ceweknya yang super menyebalkan itu, si Martinez.
Huddwake melirikku tajam. Ups, sepertinya dia membaca pikiranku lagi. Aku hanya tertawa menyeringai, sudah tak peduli.