Huddwake segera menyeret koperku menjauhi kerumunan di ruang administrasi, menuju ke salah satu sudut ruangan yang berlorong. Lantainya dilapisi karpet hitam. Langit-langit lorong melengkung dengan rangka besi berlapis perak. Aku jadi teringat hamster yang dulu pernah kupelihara—beringsut menyusuri pipa-pipa rumah hamster, hampir sama seperti Huddwake dan aku sekarang. Hanya saja tubuh kami tidak menghimpit lorong seperti hamster-hamster gendut itu.
Lorong berakhir, suara berdengung seperti tawon kembali menyeruak. Kali ini aku melihat ruangan yang ternyata jauh lebih ramai dari ruang administrasi Roxalen High. Lampu kecil berwarna-warni menyusun kata 'Roxy Café' seperti semut-semut yang berbaris mengeluarkan cahaya berkedip-kedip. Para siswa asyik bercengkrama di meja masing-masing. Meja dan kursi Roxy Café disusun berjajar melingkar mengitari bar yang berbentuk setengah lingkaran. Di dalam bar tersebut ada sekitar lima orang bekerja. Aku tidak tahu ada berapa orang yang bekerja di dapur di belakang bar. Terlihat beberapa cowok duduk di depan bar. Seorang bartender melempar-lempar shakernya ke udara dengan penuh gaya, kemudian menuangkan isinya ke gelas-gelas para cowok yang asyik bercengkrama itu. Aku melebarkan mata, mencoba mencari tahu apa yang dituangkan si bartender dari shaker peraknya.
"Roxy Café tidak menyediakan alkohol, Nona," Huddwake tiba-tiba angkat bicara. Ia setengah berteriak agar suaranya tidak tenggelam di tengah-tengah keramaian.
Aku hanya melotot dengan menyiratkan pandangan yang mengatakan 'aku tahu itu'.
"Untuk makan pagi akan dikirim ke kamar masing-masing. Makan siang dan makan malam kalian harus mengusahakannya sendiri di Roxy Café. Tenanglah, harganya jauh lebih murah ketimbang harga di luaran. Bahkan bisa gratis kalau kau mendapatkan keringanan khusus dari sekolah. Roxalen High sebisa mungkin mengusahakan yang terbaik untuk para orang spesial," mendadak nada bicara Huddwake jadi terdengar sangat resmi.
Tiba-tiba pandanganku tertumbuk ke sudut Roxy Café. Ada beberapa siswa yang sedang menampilkan live performance. Aku tertegun menatap si vokalis. Wajahnya tak bisa begitu jelas terlihat karena terlalu jauh dan terkena sinar lampu di atas panggung yang berputar warna-warni. Tapi aku tahu jelas dia cowok. Ia sedang menyanyikan lagu melow. Suaranya begitu merdu, berat namun menyentuh. Aku langsung menyukai suaranya.
"Kau menyukainya?" Huddwake bertanya. "Dia memang hebat. Sergei Ivanov dari Rusia, kemampuan bernyanyinya tak diragukan lagi. Dulu dia selalu ditolak, tidak diakui karena keanehannya. Tapi setelah setahun disini, dia terbiasa dan menerima untuk menyalurkan bakat bernyanyinya disini."
Aku mengangguk-angguk.
Tiba-tiba seseorang bertepuk sangat keras ketika Ivanov menuntaskan lagunya. Bertepuk sambil menjerit histeris lebih tepatnya. Ah, ternyata si Martinez.
"Ternyata cewekmu fans Ivanov." Aku mengangkat bahu. "Fans berat kelihatannya."
"Ivanov sergei punya banyak fans disini. Kalau Megan memang fans nomor satu. Ia selalu ingin jadi yang nomor satu dalam segala hal."
"Kau curhat?"
"Kau duluan yang mulai."
Aku tertawa. "Baiklah. Bagaimana kalau kita lanjutkan? Aku sudah agak lelah, lain kali saja aku menonton Ivanov lagi," aku mengajak Huddwake meneruskan perjalanan.
"Kau curhat," balas Huddwake.
Aku hanya tertawa dan menyeret koperku menjauhi Roxy Café. Huddwake segera menyusul. Sepanjang perjalanan menuju asrama melewati koridor, kami bertemu banyak murid. Sebagian besar menyapa Huddwake dan ia hanya menanggapinya dengan senyuman.
"Kira-kira ada berapa total jumlah siswa Roxalen High?" tanyaku memulai pembicaraan.
Huddwake terdiam sejenak. "Mungkin sekitar tiga ratus. Total."
Aku mengangguk-angguk. Jika sebelumnya aku akan berpikir tiga ratus itu angka yang sangat banyak sekali, karena aku selalu menganggap diriku sendirian. Tak pernah berharap akan ada orang-orang lain yang sama sepertiku—berkemampuan khusus. Tapi sekarang, aku berada di lingkungan orang-orang berkemampuan spesial. Dibandingkan dengan jumlah orang normal di luar sana, angka tiga ratus sangatlah kecil. Sekitar dua milyar manusia yang akan terus berkembang biak dibanding dengan tiga ratus. Betapa sedikitnya jumlah kami.
Koridor berakhir dan jalan dibagi menjadi tiga. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, kemudian menoleh ke arah Huddwake.
"Kiri asrama putra, lurus asrama guru dan pegawai, kanan asrama putri," Huddwake memberi keterangan dengan cepat.
"Bahkan guru juga diasramakan?" Aku mendelik.
"Tidak semua," jawab Huddwake singkat. "Ayo kita ke kanan."
Aku segera menuruti Huddwake. Tidak jauh dari pertigaan koridor tadi kami menemukan pintu besi lagi. Kali ini di atasnya dengan papan lampu neon bertuliskan ASRAMA PUTRI. Aku mendapati mesin pemindai yang sama seperti pada pintu yang pertama kami temui di belakang panggung. Refleks aku segera mencabut kartu ID yang baru kuterima tadi dari saku celanaku. Huddwake mengangguk-angguk membenarkan.
Dengan kikuk aku mendekatkan kartu ID ke arah layar pemindai.
Akses diterima. Pintu mulai terbuka. Dalam hatiku rasanya girang sekali entah kenapa, seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru. Aku segera melangkah menyeret koperku masuk dengan semangat. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku menghentikan langkah dan menoleh ke Huddwake.
"Kau tak mengantarku masuk?"
"Tugasku berakhir di depan pintu asrama putri. Jika pembimbingmu perempuan pastinya ia akan mengantarmu sampai ke depan pintu kamar," cerocos Huddwake dengan tampang datar. "Sekali aku melewati pintu ini aku langsung kena pelanggaran level C."
"Ah, ya. Aku ingat pernah membacanya di buku panduan bagian peraturan siswa."
"Tentu. Ah, dan ingat. Kamarmu nomor A5."
"Ya. Itu bukan angka yang terlalu rumit."
"Bisakah kau kurangi separuh omonganmu?" Huddwake meletakkan koper abu-abuku di ujung pintu asrama. Aku mendelik mendengar omongan Huddwake. "Bicaralah yang penting saja dan langsung ke inti, oke?" Huddwake tersenyum arogan kemudian membalikkan badan, meninggalkanku. Aku hanya melengos. Menghadapi Huddwake membuat sarafku tegang dan mata berakomodasi —kebiasaanku mendelik jika mendengar omongan tidak enak.
Aku segera mengambil koperku yang ditinggalkan Huddwake, menelusuri koridor pendek dengan lubang-lubang dinding berbentuk persegi panjang yang ditutup dengan kaca berisi air biru dan ikan kecil berwarna-warni. Dalam otakku sempat terbesit pertanyaan: kira-kira berapa banyak uang yang digunakan untuk mendanai fasilitas dan operasional sekolah ini? Aku merasa jumlah uang administrasi yang kubayarkan tidaklah terlalu besar. Siapa kira-kira donaturnya?
Tapi aku segera lupa ketika menemukan bundaran yang cukup besar, kelihatannya berfungsi sebagai ruang bersama. Para cewek berkumpul mengenakan baju santai mereka dan asyik mengobrol. Beberapa menulis, membaca buku, atau bermain catur. Ruang santai ini beralaskan karpet bulu lembut berwarna beige. Dua buah sofa panjang yang melengkung serta rak buku dan meja kecil berwarna putih gading. Bantal berwarna-warni pastel tertumpuk, beberapa dilempar-lempar oleh cewek-cewek yang sedang bercanda. Di sisi-sisi bundaran ada tiga tangga turun, di tiap pintu tangga ada petunjuk huruf A, B, dan C.
Dengan langkah agak kikuk aku berjalan munuju tangga A yang berada paling dekat dengan koridor menuju pintu masuk asrama. Beberapa cewek memperhatikanku, kelihatannya mereka siswa senior karena terlihat sudah sangat familiar dengan ruangan ini. Hanya sekadar ekspektasi. Aku berusaha bersikap setenang mungkin menanggapi tatapan asing mereka, aku yakin diriku bukan satu-satunya murid baru yang melewati bundaran ini hari ini.
Suasana menjadi lebih tenang setelah aku menuruni tangga A, menjauhi bundaran. Tangga itu berujung ke koridor panjang yang berkelok ke arah kanan. Mataku menelusuri koridor dan tertumbuk pada CCTV di langit-langit koridor. Ah, ya. Wajar jika sekolah ini memerlukan pengamanan ekstra, karena keberadaan kami yang perlu dilindungi dan dirahasiakan. Di sisi kanan kiri koridor berjajar pintu-pintu kamar yang saling berhadapan. Jarak antar pintu sekitar satu setengah meter dihias dengan meja kecil berwarna perak dengan vas bunga bening di atasnya.
Kamar A1 mawar, kamar A2 daisy, kamar A3 felicia ungu, kamar A4—oh, mengenaskan—kering kerontang dan airnya terlihat kumuh. Ternyata dari vas bunga di depan kamarnya saja sudah bisa menggambarkan pemiliknya. Aku menemukan kamarku di sisi kiri koridor. Vasnya masih kosong. Aku membatin, sepertinya teman sekamarku belum datang. Di atas mesin pemindai sidik jari dekat pintu kamar, terdapat sebuah plat metal dengan tiga lampu persegi yang berjajar ke bawah. Tiap lampu ternyata bertuliskan nama penghuni kamar—kesimpulanku setelah melihat namaku tertulis di lampu paling bawah. Lampu dengan namaku masih belum menyala, tapi dua lampu di atas namaku sudah menyala.
Dara Fiwtriny.
Martha Rasyid.