"Selamat pagi."
Murid-murid segera membalas sapaan wanita itu.
"Saya Prof. Hilda Tray," wanita itu berbicara dengan bahasa Spanyol. Seorang cowok yang duduk di belakangku bercanda dengan sebelahnya, ia berbisik bahwa ternyata Prof. Tray adalah matador. "Aku masih bisa menerima kalau kalian menyebut Prof. Tray sebagai Lady Red, Countess Elizabeth, atau Bloody Mary. Tapi tidak dengan matador, itu terdengar konyol meskipun aku benar orang Spanyol."
Aku bisa merasakan cowok yang duduk di belakangku menegang di bangkunya. Suaranya yang sedari tadi berbisik-bisik sudah tidak terdengar lagi.
"Sedikit catatan penting untuk kalian murid kelas A. Saya adalah guru mata pelajaran Matematika yang akan mengajar tiga kali dalam seminggu dengan total enam jam pelajaran. Sekaligus menjadi guru penanggung jawab kelas kalian, dan saya bisa mendengar sekalipun dalam jarak sejauh sepuluh kilo meter kalau saya mau, apalagi hanya mendengar bisikan-bisikan kalian di dalam kelas." Prof. Tray mencerocos dengan cepat. Ia mengambil nafas jeda sambil menyalakan netbooknya. "Siapa namamu, nak?" Prof.Tray mengarahkan telunjuk pada cowok di belakangku.
"Baris ketiga dari kiri, deret keempat." Prof. Tray memperjelas.
"Ray Snooteisko, ma'am," cowok itu menjawab kaku.
"Baiklah, Snooteisko. Datanglah ke kantorku setelah kelas dibubarkan nanti," kata Prof. Tray sambil mengetikkan sesuatu di netbooknya. "Aku perlu memberimu sedikit tambahan materi."
Kelihatannya Snooteisko harus menyimpan kekesalannya di dalam hati. Kalau tidak, Prof. Tray akan bisa mendengar gerutuannya. Mendadak aku berpikir bagaimana tegangnya kelas ini andai Prof. Huddwake yang mengajar kami. Aku memutar bola mata, tidak sampai hati membayangkannya.
"Baiklah, kalian bisa sedikit rileks karena kita tidak akan memulai pelajaran hari ini." Prof. Tray duduk menyilangkan kedua betisnya yang besar. "Kita hanya akan melakukan sedikit perkenalan." Prof. Tray membuka map merahnya, mengeluarkan list absensi dan memanggil siswa satu persatu.
Prof. Tray memberi tahukan jadwal pelajaran dan berjanji mengirimkannya pada e-mail kami masing-masing lengkap dengan kalender akademik sekolah. Dia menginstruksikan para siswa untuk membuat akun e-mail di website Roxalen High, dengan menggunakan nama kami masing-masing sebagai alamat e-mailnya.
Ia juga menjelaskan kegiatan-kegiatan di Roxalen High—mulai dari ujian tengah dan akhir semester, pesta penutupan tahun ajaran, kompetisi seni, olahraga, pelajaran, dan bahkan kompetisi khusus untuk menguji kekuatan spesial para siswa Roxalen High. Prof. Tray menjelaskannya dengan sangat cepat, lebih cepat daripada cara Daisuke berbicara.
Saat Prof. Tray membuka sesi pertanyaan, dua cewek yang duduk bersebelahan di deret bangku terdepan dengan antusias mengangkat tangan. Ruud Maya, cewek berkacamata tebal dari Belanda. Ia sempurna memenuhi kriteria penampilan cewek jenius—rambut dibelah tengah, berkacamata tebal, kancing kemeja teratas dikancingkan, dan mengencangkan dasinya hingga terlihat seperti mencekik leher. Ia bertanya tentang sistem penilaian di Roxalen High, dan kelihatannya Prof. Tray menyukainya.
Sedangkan cewek di sebelah Maya menanyakan tentang soal Matematika yang tak kunjung bisa ia pecahkan. Prof. Tray dengan senang hati menyuruhnya datang ke kantornya nanti, dan mereka segera terlibat dalam percakapan yang akrab yang mengungkap bahwa cewek itu bernama Yuana Hadjiib—cewek yang sering mengikuti olimpiade Matematika di berbagai tingkat wilayah negaranya, Malaysia.
Dari pancaran sinar mata dan nada bicaranya yang penuh gairah ketika berbicara mengenai Matematika, dia lebih terlihat sebagai cewek gila Matematika bagiku. Aku langsung bisa menebak Maya dan Hadjiib akan menjadi murid kesayangan Prof. Tray.
Ketika Prof. Tray meninggalkan kelas, Snooteisko baru mengeluarkan raungan yang kelihatannya ia tahan selama jam pelajaran tadi. Teman-temannya menertawakan nasibnya sejadi-jadinya dan Snooteisko segera menyumpahi Prof. Tray. Kuharap dia tidak sedang menajamkan telinganya untuk memantau Snooteisko.
Kami diizinkan kembali ke asrama untuk kegiatan bebas. Orientasi akan dilanjutkan besok pagi. Aku, Dara, dan Daisuke segera keluar dari kelas untuk mencari Clark. Ternyata kelas kami adalah satu-satunya kelas yang sudah dibubarkan. Mungkin itu berkat Prof. Tray yang berbicara sangat cepat.
Tepat di sebelah kelasku adalah kelas B. Beruntung, saat aku mengintip lewat jendela aku langsung menemukan Clark duduk di deretan bangku kedua. Ia duduk tepat di sebelah jendela yang kuintip. Clark menyadariku dan tersenyum, kemudian menuliskan sesuatu di secarik kertas.
Ia menulisnya dengan terburu-buru, sambil sesekali menoleh ke arah guru penanggung jawab kelasnya yang sedang asyik mengoceh di depan kelas. Clark menempelkan kertasnya ke jendela agar aku bisa membacanya.
7 PM DI ROXY CAFÉ, OK? LIVE PERFORMANCE-NYA BAGUS. BAWA JUGA TEMAN-TEMANMU.
Clark menunjuk Dara dan Daisuke yang berdiri di belakangku. Aku mengangguk untuk mengiyakan dan memberi isyarat agar Clark kembali memperhatikan gurunya.
***
Seharian ini kuhabiskan waktu dengan berkutat di depan laptop untuk menjelajahi website Roxalen High dan membuat akun e-mail di dalamnya agar bisa menerima jadwal pelajaran dan kalender akademik dari Prof. Tray, setelah itu menonton film horor Kanada bersama Dara. Aku merasa hampir menjiwai seorang hermit.
Sementara itu, Martha sama sekali tidak terlihat di kamar semenjak kelas dibubarkan tadi. Ia juga berada di kelas yang sama denganku, kelas A. Martha duduk di deretan bangku paling belakang, bersebelahan dengan cowok Maroko yang dahinya dipenuhi dengan jerawat kemerahan.
Namanya Muqizra Hamid, dia adalah cowok Martha—entah sejak kapan mereka jadian. Hamid mengenakan kacamata berframe bulat seperti mulut botol susu. Dara tak menyukai cara tertawa Hamid yang menurutnya mirip ringkikan kuda.
Pukul enam sore aku baru beranjak dari fase pengangguranku, bersiap-siap untuk menemui Clark di Roxy Café. Dara memintaku untuk memakai kamar mandi terlebih dahulu karena ia masih malas beranjak dari depan laptopnya.
"Rinwa tidak bisa ikut kita." Dara langsung menyambutku begitu aku keluar dari kamar mandi. "Dia mengirimiku e-mail, katanya dia harus menemani teman sekamarnya untuk mengurus sesuatu."
"Oh, oke," aku memaklumi. "Pakailah kamar mandinya. Aku sudah selesai."
"Oh,ya. Aku lupa mengatakannya kemarin. Kamar mandi dibersihkan hari Rabu dan Sabtu sesuai urutan abjad—Dara, Martha, kemudian kau Serina."
"Kau mengaturnya bersama Martha?"
"Yah, kemarin ketika kau belum datang. Err... lebih tepatnya Martha yang mengaturnya."
Aku tertawa melihat ekspresi Dara. "Oh, baiklah. Aku menurut saja."
Dara melangkah masuk ke kamar mandi. "Aku akan membersihkannya besok lusa."
"Ya, kau pioner," candaku.
Dara tertawa kemudian menutup pintu kamar mandi. Aku bisa mendengarnya menyanyikan sebuah lagu walaupun ia sudah memutar kran yang mengeluarkan suara keras karena airnya mengucur sangat deras.
Aku sendiri membuka lemariku, memilih baju yang akan kukenakan. Aku merasa malam ini agak spesial karena ini adalah malam perdanaku menonton penampilan Ivanov, apalagi dia sendiri yang mengundangku secara langsung.
Setelah lima belas menit aku mengobrak-abrik, menjajal, menata kembali isi rakku, akhirnya aku menjatuhkan pilihan pada kaus berkerah Sabrina warna merah muda dan celana pendek putih berbahan katun elastis. Sebenarnya aku kurang puas. Apa boleh buat, aku kekurangan stok baju-baju cewek yang manis. Aku sedikit beruntung karena kalung pemberian Allen yang berkilat merah muda dan perak terlihat manis—senada dengan warna bajuku
Kuputuskan untuk menyisir rambut dengan hari-hati agar tak terlihat kusut lagi seperti tadi pagi. Beberapa detik aku menimbang-nimbang, menatap lip gloss pink milikku di kotak kosmetik. Sudah lama sekali aku tak memakainya, Ibu membelikanku bersama dengan sepaket lengkap kosmetik lainnya saat aku berulang tahun kelima belas.
Akhirnya aku memakainya juga. Hampir saja benda itu menjadi artefak di dalam kotak kosmetikku. Mukaku terasa panas, malu pada diriku sendiri.
Tak lupa kusisipkan dua buah jepit rambut kesayanganku di belakang kepala agar rambutku tidak berantakan. Dan terakhir, memilih sepatu kets putih polos untuk alas kakiku.
Sumpah, aku tak ingin kelihatan konyol lagi kali ini.