Chereads / Roxalen High School / Chapter 2 - Hari Keberangkatan

Chapter 2 - Hari Keberangkatan

Seminggu terlewati sudah. Kugunakan waktuku sebaik-baiknya, bersama Ayah, Ibu, Jake, dan Allen. Musim panas memang masih tersisa, namun liburan musim panas kami telah berakhir. Kami akan kembali ke rutinitas kami masing-masing. Ayah bersiaga di markas pemadam kebakaran, Ibu berkutat dengan laptopnya, Jake kembali memakai kacamatanya untuk belajar di kampus, sementara Allen sudah tidak sabar lagi menunggu malam hari untuk penampilannya di orientasi mahasiswa.

Dan aku akan berangkat ke Roxalen High School.

Pagi ini Ibu menyiapkan sarapan yang sangat tidak biasa. Bahkan menu-menu yang tidak seharusnya muncul di waktu sarapan—seperti teh dan kue tea time, menu makan siang seperti lasagna, salad marmalade, bahkan sirloin steak—tersedia di meja makan, mendampingi menu makan pagi langganan keluarga kami—roti panggang, telur mata sapi, waffle, dan daging burger.

"Ah, otot-ototku bisa tergusur oleh gumpalan lemak andai sarapan tiap pagi seperti ini," Allen menarik kursi meja makan, membuka pembicaraan dengan gurauan khasnya. "Ibu, kau akan membuatku tak bisa melakukan krumping karena six pack-ku bakal hilang."

Jake tertawa sendirian.

"Apa itu rumbing?" Ayah bertanya sambil mengunyah daging.

"Krumping, bukan rumbing, oh…" Allen meralat sambil memutar bola matanya. "Gerakan menari."

Ayah mengangguk-angguk. "Apa six pack-mu kuat menahan berat tubuhmu dan tiga orang lagi dalam satu tali tambang di tanganmu?" tanyanya pada Allen. "Kalau tidak, kau tak akan pernah bisa menyaingi milikku," kata Ayah bangga sambil menarik kaus hitamnya, memperlihatkan perutnya yang berkotak-kotak.

Allen melotot.

Ya, ampun. Kenapa yang kotak-kotak di perut itu selalu dibanggakan para pria? Aku tak mengerti.

"Oh, sudahlah. Berhenti membanggakan otot kalian." Ibu menengahi sambil menuang jus jeruk ke gelasku.

"Tapi kau menyukainya, sayang," Ayah memprotes. "Katakan pada anak-anak, kau jatuh cinta pada pandangan pertama pada six pack-ku."

"Konyol." Ibu mendengus.

Kami semua tertawa. Muka Ibu bersemburat agak merah dan ia berusaha menyembunyikannya di balik majalah Bazaar.

Oh, aku sungguh akan merindukan kehangatan keluarga ini. Aku akan merindukan semua kasih sayang, keributan, dan gurauan anggota keluargaku. Hatiku mencelos, aku akan memasuki dunia yang sama sekali berbeda jika Roxalen High School benar-benar ada. Aku belum bisa membayangkan, kira-kira ada berapa orang abnormal sepertiku. Lima? Tujuh? Oh, apa benar-benar ada sekolah khusus untuk murid dengan jumlah sekecil itu?

"Oh, aku akan merindukan keluarga ini," Allen bersuara seperti perempuan, menyentakkanku dari lamunanku. "Begitu, kan yang kau pikirkan, Serry?"

Aku hanya memutar bola mata.

Oh, apa semua kakakku bisa menebak isi pikiranku? Seharusnya mereka termasuk abnormal, dengan kemampuan khusus membaca pikiran orang. Aku meringis sendiri membayangkannya.

"Diamlah, Allen. Kau hanya akan menggerogoti tekadku."

"Roti yang kau lahap belum kau kunyah dari tadi." Allen menepuk pipiku. Aku refleks langsung mengunyahnya. "Jangan berpikir aku bisa membaca pikiranmu. Kau terlalu mudah ditebak, Serina."

Oh, terjadi lagi.

"Tenanglah, sekolahmu hanya di Inggris." Jake menambahi. "Kita bahkan masih menghirup udara yang sama."

"Kau bahkan bisa mencium bau kentut Jake."

Jake memukul kepala Allen. "Ada apa denganmu hari ini? Kau kebanyakan bercanda."

"Tenanglah. Aku hanya sedikit frustasi karena akan ada yang kurang dalam hidupku setelah ini," jawab Allen sambil mengangkat bahu.

Aku tertawa. "Kau jujur sekali, Al. Aku akan sering-sering mengirimi kalian e-mail."

"E-mail?" Jake membulatkan matanya.

"Tentu saja. Kau pikir sekolah berisi anak-anak dengan kekuatan seperti 'X-Men' itu akan diperbolehkan mengunggah status dan foto di media sosial mereka?" Allen menyela sebelum aku sempat menjawab. "Yay, aku berlatih menembus batu karang hari ini! Begitu?"

Aku tertawa lagi. "Ayah, terima kasih Mac Book barunya," ucapku pada Ayah.

Allen mendelik mendengar kalimat tambahanku. "Apa aku perlu tinggal di asrama universitas juga, Ayah? Aku ingin laptop ROG saja."

"Pastikan penampilanmu malam ini mengantarmu jadi Star of the Year di universitas." Ayah tersenyum menantang. "Aku tahu kau bisa, nak."

"Tentu, aku anakmu."

Mendadak aku ingin menangis. Aku benar-benar tak ingin meninggalkan rumah ini.

"Aku sangat ingin menontonmu, Al," kataku hampir menangis. "Tapi aku sudah harus berangkat setengah jam lagi."

"Aku akan merekam dan mengunggahnya ke cloud drive nanti," Jake buru-buru memberikan solusi.

"Thanks, Jake."

"Sayang, sudah kau pastikan semua keperluanmu sudah siap?" Ibu sudah menuntaskan sarapannya.

"Tentu." Aku tersenyum pada Ibu. Aku tidak ingin—sebisa mungkin—terlihat sedih di hadapan keluargaku hari ini. "Uang keperluan yang Ibu berikan juga sudah kumasukkan kesitu." Aku menunjuk tas kecilku yang berbahan kain jeans biru tua dengan kancing-kancing berwarna perak, hadiah dari Jake.

"Aku akan membawakan kopermu turun." Jake beranjak dari kursi meja makan.

"Kau perlu bantuanku, Jake. Serry pasti bawa lebih dari satu koper." Allen mengekor Jake.

Aku meringis. "Hanya dua."

"Birmingham kota yang ramai, tak jauh beda dengan London," Ayah memberitahu. "Kau harus pandai menjaga diri, sayang. Berhati-hatilah," kata-kata Ayah membuat mataku sedikit berkaca-kaca.

"Aku akan selalu berada di asrama, Ayah. Selain hari libur."

"Kalau begitu berhati-hatilah di hari liburmu."

"Pasti."

Jake dan Allen sudah turun membawa dua koperku ke ruang tamu.

Ibu mendekatiku kemudian mendekapku.

"Makanlah yang teratur. Rawat dirimu baik-baik, Serry." Ibu mengelus rambut panjangku. "Kau satu-satunya anak perempuan yang berharga bagiku. Aku sangat menyayangimu dan kakak-kakakmu."

Sumpah, air mataku seperti mau menyembur keluar.

"Kau akan dewasa dan Ibu akan mendukung apapun yang kau pilih." Ibu mengecup keningku. Aku bisa melihat air mata Ibu di ujung bulu matanya. "Oh… aku akan merindukanmu."

"Kita bisa melakukan panggilan video, Ibu," aku mengingatkannya. "Seperti Ibu dengan klien jika tak bisa keluar saat sakit atau cuaca buruk."

"Ah, ya. Aku benar-benar lupa, Sayang." Ibu memelukku lagi. "Berjuanglah disana, nikmati harimu."

Ibu melepaskan pelukannya. Menatapku agak lama, kemudian mencium kedua pipiku.

"Astaga, Ibu bertingkah seperti tidak akan melihatku lagi," candaku. "Tenanglah, aku tidak amat jauh dari sini."

Ibu mengangguk-angguk sambil mengusap air matanya.

"Kemari adikku sayang." Allen melambaikan tangannya. Aku beringsut menuju ruang tamu dengan bulu kuduk merinding akibat tingkah Allen. "Aku juga ingin memelukmu."

"Sumpah kau aneh hari ini," ejekku sambil memeluk Allen. Badannya keras.

"Kau juga aneh," balasnya. "Badanmu tak berbentuk, astaga."

Aku menginjak kakinya keras-keras.

"Maaf, maaf aku hanya bercanda. Sekarang kau bisa lepaskan kakimu, kan?" pinta Allen.

Aku tertawa. "Kau perlu cari cewek, Al."

"Nanti juga dapat," katanya cuek. "Aku belum menemukan yang unik."

"Aku akan merindukanmu," kataku hampir menangis. Aku menyembunyikan wajahku dalam pelukan Allen.

"Tentu. Aku juga akan merindukanmu, manis." Allen mencium pipiku. "Temukan teman yang baik di sana. Bersenang-senanglah. Ini pilihanmu."

"Aku tak akan mengganggumu lagi," kataku bercanda.

Allen tertawa sambil melepas pelukannya. "Aku punya sesuatu untukmu. Bukalah sesampai di asrama." Ia menyodorkan sebuah kotak kecil berwarna hitam dengan pita pink di atasnya. Kotaknya kecil, seperti kotak perhiasan. Otakku mulai menebak-nebak apa isi kotak itu. Aku sangat menyukai hadiah.

"Jangan penasaran. Toh, kau juga akan tahu nanti. Aku tahu kau sangat menyukai hadiah."

"Kau mulai mirip Jake, Al," kataku agak kesal. "Kalian hampir selalu membaca pikiranku."

Allen tertawa lagi. "Sudah kubilang itu bukan salahku. Kau yang terlalu mudah ditebak, Serry."

Aku melengos. Payah.

"Kemarilah, Jake. Adikmu akan segera pergi, apa yang kau lakukan di pojok sana?" Allen memanggil Jacob. "Apa kau kesulitan membungkus kadomu untuk Serry?"

"Kau berisik sekali." Jake meraung.

"Payah. Kau bisa minta tokonya untuk membungkuskan." Allen geleng-geleng kepala.

"Aku ingin membungkusnya dengan tanganku sendiri." Jake membela diri.

"Dasar perfeksionis."

"Ah, taksiku sudah datang," kataku untuk melerai mereka berdua. Dan kebetulan memang taksinya sudah datang.

Jake membuka kedua lengannya, aku memahaminya dan segera memeluknya.

"Kau berjanji padaku untuk menjaga dirimu," Jake berkata lirih. "Aku pegang itu."

"Tentu, Jake," aku meyakinkannya. "Aku tak ingin mengecewakan kalian."

"Kuharap ada yang menggantikanku di sana."

"Kau tak mengutus temanmu untuk mengawasiku, bukan?"

"Ah, teori konyol itu." Jake tertawa. "Tidak. Aku hanya berharap. Andai saja. Begitu."

"Aku berharap akan bertemu orang-orang baik, Jacob."

"Tentu, kau akan menemukannya. Berharaplah dengan kuat dan berbuat baiklah." Jake menatapku dalam-dalam. "Kau akan menemukannya."

Aku menatap Jake lama.

"Aku menyayangimu, Jake. Sampai jumpa."

"Berhati-hatilah." Jake mengelus kepalaku. Aku segera menunduk sebelum Jake melihat mataku yang berkaca-kaca.

"Tentu," kuyakinkan Jake sekali lagi.

Allen dan Ayah mulai mengangkut koperku ke depan rumah, memasukkannya ke dalam bagasi taksi.

"Ini untukmu. Rawatlah baik-baik." Jacob menyerahkan bungkusan kado berwarna ungu kepadaku. Ukurannya lebih besar dari yang diberikan Allen tadi, aku sama sekali tidak bisa menebak apa isinya.

"Kau terlalu sering memberiku hadiah."

"Aku tidak akan mencatatnya sebagai hutang, jadi kau boleh tenang."

Aku tertawa. "Oh, kau harus sering memberiku kabar, oke?"

"Oke."

Ibu melongok dari luar. "Serina, semuanya sudah siap." Ibu menoleh ke belakang sebentar. "Supir taksinya sudah menunggumu."

"Kelihatannya dia tidak sabaran," celetuk Allen.

Aku keluar rumah sambil menempelkan telunjukku ke bibirku, memberi isyarat agar ia tidak berkata macam-macam lagi. Allen meringis sambil mengangkat bahu.

Aku merasa konyol saat menatap Ayah, Ibu, Jake, dan Allen lama sekali sebelum akhirnya menutup pintu taksi ketika mendengar si supir mendenguskan hidung untuk mengungkap rasa kesalnya. Wajahnya kurang bersahabat, pantas Allen bilang dia tidak sabaran.

"Kau siap?" si supir bertanya dengan suara berat seraknya.

"Yah," jawabku pendek sambil melambaikan tanganku sekali lagi pada keluargaku. "Maaf membuat Anda menunggu lama. Baru pertama kalinya saya akan meninggalkan keluarga dalam waktu yang lama."

Si supir tak menjawab. Ia hanya menatapku melalui kaca spion di atasnya, kemudian menginjak pedal gas perlahan. Mulai menyusuri jalanan, jajaran rumah tetanggaku, semakin menjauhi rumahku yang sudah kutinggali selama enam belas tahun. Sebenarnya tahun ini yang keenam belas, tapi aku sudah meninggalkannya sebelum komplit.

"Derek Schumarn," tiba-tiba si supir memperkenalkan diri. "Nikmati perjalanan panjangmu."

"Serina Gray," balasku.

"Birmingham, uh?" Mr.Schumarn bertanya.

Aku mengangguk. "Saya akan naik kereta, jadi tolong antarkan sampai stasiun kereta bawah tanah, Mr.Schumarn."

"Kakakmu yang mengangkat koper ke bagasi tadi sudah memberitahuku," terang Mr.Schumarn. "Dan membayar biayanya. Oh, tidakkah dia tahu kalau seandainya terjadi kemacetan di jalan, argometer ini akan tetap berjalan dan menambah biayanya?"

Aku tertawa. "Maafkan dia, saya akan membayar jika ada kekurangan."

"Apa dia tak pernah naik taksi?" Mr. Schumarn masih membahas Allen. "Kakakmu."

"Hampir tidak pernah, Sir," aku meladeninya. "Ia lebih suka bersepeda atau berjalan."

"Pantas badannya bagus."

Dalam hati aku bangga juga kakakku dipuji orang. Sungguh lucu—ikatan persaudaraan.

Aku tersenyum sendirian.

Kami terdiam setelah itu, sepanjang perjalanan. Mengingatkanku pada buku panduan yang dikirimkan Roxalen High School, bersamaan dengan seragam, buku pelajaran, dan atribut lainnya. Semuanya terlihat normal saja. Kecuali aku melihat ada satu buku pelajaran yang sangat tebal—berjudul Pemeliharaan Kekuatan Khusus. Ketika kubuka isinya, aku sempat ragu—apa benar-benar ada: telepati, kekuatan mengendalikan api, air, tanah, udara, kecepatan di atas normal, kemampuan mimikri seperti bunglon, dan masih banyak lagi. Apa semua itu benar-benar bisa dilakukan manusia? Apakah benar-benar ada banyak abnormal sepertiku? Aku sangat antusias dengan hal ini.

"Kenapa kau senyum-senyum sendiri dari tadi?" Mr.Schumarn mengejutkanku. Ah, ternyata dia memperhatikanku.

"Err… hanya teringat sesuatu yang lucu," aku mengarang alasan.

"Kemana kau akan pergi?"

"Birmingham. Saya sudah mengatakannya tadi, Sir."

"Maksudku untuk apa. Gadis seumuranmu." Mr.Schumarn melirikku.

"Oh..." Aku sedikit kikuk. "Sekolah."

"Sekolah?" Mr.Schumarn mengernyitkan dahi. "Jauh sekali. Di kotamu banyak sekolah yang bagus, nak."

"Saya ingin bersekolah disana," kataku sambil mengangkat bahu.

"Baiklah." Mr.Schumarn melengos. "Stasiun. Kita sudah sampai."

Aku mengecek keluar jendela. "Ah, ya. Terima kasih."

"Sama-sama," jawaban Mr. Schumarn sedikit tersamar oleh suara deritan pintu taksinya ketika kubuka. Sepertinya engselnya perlu diberi pelumas.

"Apa ada kekurangan biaya, Mr. Schumarn?" Aku teringat.

"Tidak," jawabnya cepat sambil mengeluarkan koperku dari bagasi taksinya. " Kecuali kau ingin memberiku tambahan untuk mengangkat kopermu." Mr.Schumarn melirikku.

Aku tertawa. "Oh, terima kasih, Sir." Kuselipkan selembar uang ke tangannya.

"Kurasa kau bisa cocok ngobrol denganku," Mr.Schumarn tertawa terkekeh-kekeh. "Hati-hati di perjalananmu, nak."

Aku melambaikan tangan sebelum menuruni eskalator stasiun. Mr.Schumarn terlihat tersenyum membalas sambil mengangkat topi kerjanya. Dia tak sepenuhnya seperti apa yang orang lihat dari wajahnya.

Stasiun sangat ramai hari ini. Maklum hari aktif, apalagi hari ini hari aktif pertama setelah liburan musim panas. Hampir tiap jenjang tangga eskalator diisi oleh satu atau dua orang. Aku agak sempoyongan ketika mengangkat kedua koperku di ujung eskalator, sampai hampir terjatuh. Aku nyengir membayangkan jika aku terjatuh di tengah tempat seramai ini.

Setelah membeli tiket di mesin penjual tiket, aku masuk peron. Menyusuri peron demi peron hingga menemukan peron nomor 11. Tempat duduknya penuh. Aku menghela napas dan mulai menurunkan pegangan koperku agar aku bisa duduk di atasnya. Andai ada Ibu, pasti ia akan memarahiku karena menduduki bagian atas koper bisa membuat—entah bagian apanya—rusak.

Kereta baru akan datang sepuluh menit lagi.

"Kau bisa duduk disini," seseorang berkata, setengah berteriak—melawan kebisingan suara kereta yang baru saja berangkat. "Kau bisa duduk disini, kau yang berbaju hijau," ulangnya.

Refleks aku menoleh.

Seorang cowok bertubuh agak ceking, berkulit pucat, dan berambut coklat tua memindahkan tas miliknya ke pangkuannya. Aku menatapnya. Rambutnya ditata sangat rapi dan klimis. Sangat klimis, jadi berkesan agak kuno. Ia memakai kemeja katun lengan pendek bermotif kotak-kotak putih, abu-abu, dan biru lembut. Dipadu dengan celana jeans biru muda yang agak usang, warnanya sudah sedikit pudar.

Aku mengarahkan telunjuk ke wajahku. "Aku?"

"Ya, kau." Ia mengangguk sambil menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya.

"Terima kasih." Aku segera bangkit dari dudukku yang tidak pada tempatnya dan berpindah ke sebelah cowok itu.

Kami terdiam. Aku mengalihkan pandangan ke sepatu kulit warna coklat yang kupakai.

"Birmingham?" tiba-tiba cowok itu membuka pembicaraan. Pertanyaan basa-basi.

"Yah," jawabku pendek. "Udaranya masih agak panas.

"Karena stasiunnya terlalu ramai," ia menjawab sambil mengibas-ngibaskan kerah bajunya.

Tanpa sengaja pandanganku tertumpu pada kerah baju si cowok. Tersemat sesuatu. Bros berbentuk perisai berwarna hitam mengkilat berbingkai garis emas.

Rasanya terlihat familiar.

Aku terus menatap detail brosnya. Benar saja, ada corak motif bendera Inggris berwarna emas yang mengelilingi huruf R yang timbul di tengah. Di bawahnya tergambar pita emas bertuliskan warna hitam yang jika benar-benar diamati—berpendar seperti bintang-bintang berwarna-warni di hitamnya langit.

Ternyata tidak sekedar familiar.

Aku juga memiliki bros itu.

"Roxalen High School…" suaraku sedikit lirih, namun rupanya cowok itu masih bisa mendengarku. Ia refleks berjengit sedikit dari tempat duduknya, kemudian berusaha bertingkah senormal mungkin. Sungguh lucu. Aku masih bisa melihat matanya yang beredar waspada.

"Ini bros sekolahku," katanya sambil tersenyum. "Sekolahmu juga memilikinya bukan?"

"Aku bahkan punya yang sama seperti itu." Aku balas tersenyum, menunggu seperti apa reaksi si cowok.

Dia kaku menatapku. "Serius? Bisa kau tunjukkan padaku?"

"Biar kutebak. Kau murid tahun pertama," aku menerka-nerka.

"Bagaimana kau bisa tahu? Apa kau membaca pikiranku?" cerocos si cowok setengah berbisik.

"Tidak," aku tertawa. "Kukira kau tidak tahu peraturan tentang larangan memakai atribut Roxalen High di luar lingkungan sekolah. Atau mungkin kau melewatkannya di buku panduan bab peraturan siswa."

"Benarkah?" Wajahnya terlihat agak memerah. "Berarti aku sudah membuat kesalahan di hari pertamaku. Bahkan sebelum aku menginjakkan kaki di Roxalen High."

"Tenanglah, kukira itu hanya pelanggaran level A," hiburku. "Mereka tidak akan menghitung poin pelanggaran hari ini."

"Kuharap begitu," jawabnya sambil melepas bros Roxalen, kemudian memasukkannya ke dalam salah satu resleting tasnya. "Aku hanya terlalu senang menemukan sekolah ini. Konyol, bahkan untuk memakai brosnya saja aku tidak bisa menahan diri." Ia menggaruk-garuk kepalanya, salah tingkah.

"Apa Roxalen High benar-benar ada?" pertanyaan itu muncul begitu saja dari mulutku.

"Aku tak tahu pasti," si cowok menjawab sambil melirikku. "Aku tak bisa membuka webnya lagi."

"Sama."

"Bagaimana bisa mereka mengetahui tentang kita?"

"Kau juga abnormal?" tanyaku agak kikuk. "Maksudku—punya kelebihan—maaf aku sering menggunakan istilah itu untuk diriku sendiri."

"Kecepatan di atas rata-rata." Si cowok meringis. "Tapi aku masih agak susah mengendalikannya. Kecepatanku masih belum konstan. Itu merepotkanku."

Aku mengangguk-angguk. "Apa mereka meretas jaringan internet kita?"

"Mungkin," jawab si cowok. "Tidak mungkin jika dua—atau bahkan mungkin lebih—abnormal nyasar ke web Roxalen yang tiba-tiba menghilang begitu saja secara kebetulan."

"Bagaimana denganmu?" si cowok bertanya sebelum aku sempat menanggapi perkataannya.

"Maaf?"

"Oh, maaf. Aku belum memperkenalkan diriku." Si cowok menepuk dahinya. "Clark Luvithor." Ia mengulurkan tangannya padaku.

"Serina Gray." Aku menjabat tangannya.

"Jadi, Serina…" Clark kembali ke topik awalnya. "Maksudku tadi, bagaimana dengan kelebihan yang kau miliki?"

"Aku juga belum bisa mengendalikannya. Sama sekali malah," kataku sambil menelengkan kepala. "Menembus segala sesuatu. Aku belum bisa mengatur intensitas dan waktunya."

"Oh, sumpah. Duet kita bisa mencuri semua dompet di stasiun ini tanpa ketahuan." Clark tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oh, maaf. Aku hanya bercanda."

"Yeah," jawabku sambil sedikit nyengir. Konyol juga cowok ini.

"Jangan dianggap serius." Clark menatapku dengan wajah agak takut.

"Tentu." Aku ganti tertawa melihat ekspresinya yang cepat sekali berubah.

"Keretanya datang." Clark berdiri sambil menoleh ke arah kedatangan kereta. Aku refleks ikut berdiri dan menaikkan pegangan kedua koperku. Sekejap saja, kami mulai berdesak-desakan dengan para penumpang. Ah, andai aku bisa mengendalikan kekuatanku, aku hanya perlu menembus kerumunan sinting ini. Tidak perlu berdesak-desakan di udara panas seperti ini.

Aku mengedarkan pandanganku, mencari Clark.

Ternyata ia sudah duduk tenang di kursi dan sekali lagi—memberiku isyarat untuk duduk di sebelahnya. Ah, sudah kuduga.

Aku berkacak pinggang dengan satu tanganku. Berdiri di hadapan Clark, sambil menelengkan kepalaku. "Menggunakan kekuatanmu, huh?"

Clark tertawa bangga. "Kau melihatku?"

"Tidak sama sekali, Mr.Luvithor." Aku menghempaskan tubuhku di sebelah Clark. "Setidaknya aku senang. Hari ini aku sudah menemukan seseorang yang sama sepertiku."

Clark menatapku penuh perhatian. Kereta mulai bergerak menjauhi stasiun.

"Aku tak pernah menyangka hari seperti ini akan datang." Aku tertawa kecil. "Kukira aku satu-satunya abnormal di dunia ini."

Clark tersenyum, kemudian menyentuh pundakku perlahan, penuh simpati.

"Sebelumnya aku juga berpikiran sama sepertimu," Clark mendukung perkataanku tadi. "Tapi tenanglah. Mulai hari ini kau tak sendirian. Kita tidak sendirian."

Aku tersenyum, tiba-tiba hatiku menghangat. Aku merasa kereta ini seperti membawaku ke suatu tempat dimana aku bisa merasakan kebahagiaan yang sebelumnya belum pernah aku dapatkan.

Sebagai diriku apa adanya.