"Apa maksudmu dengan kehancuran di desa ini?" tanya Wuri heran.
"Kau lupa ya? Bukankah kau ingin semua kejahatan di desa ini berakhir? Jalan terbaik adalah dengan membongkar semuanya." Sander menjelaskan pada Wuri.
Gadis itu berjalan perlahan mendekat ke arah jendela sisi samping. Rumah yang Sander tempati berbatasan dengan jalan batu dan sebuah kebun milik warga. Di luar terlihat gelap dan dingin. Beberapa kerlip lampu rumah warga tampak di kejauhan. Suara derik jangkrik pun menjadi irama Sang Malam.
"Lalu bagaimana dengan kehidupan mereka ke depannya? Sebagian besar warga kampung ini telah mengandalkan hidup mereka dari program wisata yang Ganda buat."
Sander mendekat ke arah Wuri, pandangan matanya mengikuti arah pandangan mata Wuri.
"Perubahan selalu tidak menyenangkan bagi semua orang. Namun untuk keluar dari semua ini, perubahan besar harus kita lakukan."
Wuri menghela nafas. Desahannya menandakan putus asa. Sander tersenyum menatap gadis mungil yang ada di sampingnya.
"Kau sudah menunggu sangat lama bukan? Sebelum aku meninggalkan desa ini, kau harus terlebih dahulu pergi."
Di luar dugaan, Wuri malah menggeleng.
"Sampai aku melihat sesuatu terjadi di desa ini, aku tidak akan kemana-mana."
Sambil mendengus, Sander meraih bahu Wuri. Memaksa gadis itu untuk berdiri berhadapan dengan dirinya. Wajah polos Wuri melihat ke wajah Sander. Mata mereka bertemu. Keduanya terdiam. Seperti ada magnet yang menarik mereka sekaligus menolak.
"Wuri, tempat ini berbahaya."
"Aku telah bertahun-tahun di desa ini. Kau tidak perlu khawatir."
Sambil menarik nafas, Sander memejamkan mata.
"Besok aku akan kembali ke Jakarta. Berita tentang desa ini akan dimuat segera. Aku akan meminta beberapa pejabat mulai membuka jalan ke desa ini."
Mata Wuri berbinar. Apa yang dia tunggu akhirnya tiba. Meski pun semua perubahan itu berasal dari Sander yang menyebalkan!
"Aku ingin kau segera keluar dari desa ini. Saat jalan menuju desa di buka, banyak orang akan datang dan pergi. Kau tidak perlu khawatir lagi. Gadis-gadis desa akan mendapatkan pertolongan dari orang lain."
"Akan kupertimbangkan. Sekarang aku mau pulang. Minta Ganda untuk membuka pintunya!" sambil berkata Wuri melangkah ke arah pintu dan menyambar tasnya yang tergeletak di meja.
"Tidak! Malam ini kau akan tinggal di sini. Sudah terlalu larut bagi gadis sepertimu berjalan seorang diri."
"Apa?! Tinggal bersamamu? Itu lebih berbahaya dari pada berjalan di luar sana."
Tidak ingin sebuah negosiasi, Sander mengangkat bahu dan berjalan masuk ke kamarnya. Wuri tertinggal seorang diri di ruang tamu. Gadis itu menghenyakkan diri di sofa.
'Aku tidak akan tidur!' tekadnya dalam hati. 'Bisa saja Sander melakukan sesuatu kalau aku tertidur. Yang pasti tidak akan ada seorang pun yang menolongku.'
Udara dingin mulai menggigit kulit. Wuri yang kelelahan meletakkan kepalanya di sofa. Tubuhnya yang mungil mulai mencari kehangatan. Dia pun menaikkan kedua kakinya dan meringkuk seperti bayi di sofa.
Hanya dalam hitungan menit, Wuri yang bertekad tidak akan tidur itu telah terlelap. Dengkuran halus menandakan bahwa gadis itu kelelahan dan tidur dengan nyenyak.
Menjelang jam satu pagi, Sander keluar kamar untuk memeriksa keadaan Wuri. Dia menemukan gadis itu meringkuk di sofa. Jelas gadis itu kedinginan. Sander pun kembali ke kamar dan membawa selembar selimut tebal. Dengan lembut diselimutinya tubuh Wuri.
Lalu Sander berlutut tepat di depan Wuri. Kedua matanya mengamati gadis yang sedang nyeyak tersebut. Guratan wajah berani berpadu dengan kesedihan tergambar jelas di raut Wuri. Seperti sebongkah berlian yang ada di sarang ular.
'Gadis yang sangat berani.' Batin Sander.
Tanpa menyentuh Wuri, Sander pun kembali ke kamarnya. Mereka berdua terlelap hingga pagi. Cahaya matahari pagi yang masuk di sela daun jendela dan jatuh tepat di wajah Wuri membangunkan gadis itu dari tidurnya.
Sejenak Wuri mengerjap. Hah?! Dia tertidur semalaman. Di rumah Sander! Gadis itu pun segera melompat dengan posisi duduk sempurna. Meraba ke samping sofa tempatnya duduk untuk menemukan tasnya.
Wuri mendapati sebuah selimut. Rupanya Sander yang menyelimutinya tadi malam. Pria itu menepati kata-katanya. Dia tidak menyentuh Wuri sedikit pun.
'Apakah pria itu tidak seburuk yang aku pikirkan?' batin Wuri.
'Ah!sudahlah. Sekarang waktunya untuk keluar dari rumah ini. Jangan sampai Sander berpikir bahwa aku suka tinggal bersamanya.'
Wuri menuju pintu dan bertekad untuk mendobrak pintu itu. Bagaimana pun caranya dia harus keluar sekarang!
Saat Wuri menarik pintu dengan kekuatan penuh, ternyata pintu itu sudah dalam keadaan tidak terkunci. Dengan mudah pintu terbuka. Segera Wuri melangkah keluar. Dia langsung bertemu dengan Darmin yang tersenyum menggodanya.
"Bagaimana malammu Wuri? Menyenangkan?" tanya Darmin dengan lirikan nakal.
Tanpa segan Wuri langsung mendekati Darmin dan menampar keras pipi pria itu. Wajah Darmin memerah karena marah. Namun wajah Wuri pun tidak kalah menyeramkan.
"Aku akan membuat perhitungan denganmu dan Ganda. Waktu kalian untuk berkuasa hampir berakhir sekarang!"
Tidak menunggu Darmin memberikan reaksi, Wuri melangkah cepat menuju ke rumahnya. Sampai di dalam rumah, gadis itu pun menangis. Dia duduk di sudut ruangan kamar sambil memeluk photo Mira sahabatnya.
"Maafkan aku Mira … aku telah melakukan yang terbaik. Namun waktuku sudah habis sekarang. Aku tidak sanggup lagi tinggal di desa ini dan melihat kekacauan yang menyakitkan. Semoga Sander memenuhi janjinya untuk membuka desa ini."
Bukan hanya perlakuan Ganda pada para gadis yang membuat Wuri terluka. Namun semua yang terjadi di desa ini membuat Wuri berpikir, mungkinkah hal serupa terjadi di masa lalunya. Hingga kini dia terpaksa hidup sebatang kara.
Kadang Wuri mempertanyakan kenapa para pria seolah tidak punya hati. Setiap kali hati Wuri menangis karena melihat bayi-bayi tanpa dosa yang di tolak oleh ibu mereka. Meski wanita yang membesarkan Wuri mengatakan hal yang berbeda.
Kenyataannya, Wuri tidak mengenal dari mana dia berasal. Ibu Panti selalu memintanya untuk menunggu. Tanpa batas waktu dan tanpa tahu apa yang sedang dia tunggu. Wuri berjuang seorang diri. Mengatasi rasa takut dan kecewa.
Ketika dia melihat pria-pria kota berdatangan untuk bersenang-senang di desa Welasti, kebencian selalu menyelimuti Wuri. Mereka datang tanpa hati dan pergi tanpa arti. Meninggalkan setiap gadis bagai barang yang tidak lagi berguna.
Wuri mulai menyusun barang-barangnya dalam sebuah tas troley. Sander benar, dia harus menyelamatkan diri. Suara pintu diketuk mengejutkan Wuri dari lamunannya. Saat dia membuka tampak Ratna berdiri di ambang pintu.
"Ratna? Sedang apa? Harusnya kau beristirahat sekarang."
Plak!!! Tanpa basa basi Ratna mengayunkan tangan ke wajah Wuri.
"Perempuan rendah. Sok suci!"
Wajah kedua wanita itu memerah.
"Ratna? Ada apa denganmu?!" hardik Wuri.
"Kenapa harus bertanya padaku? Kau sungguh tidak tahu malu! Selama ini aku sangat menghormatimu. Tapi kau telah membuatku kecewa!" Ratna berkata sambil memelototkan mata penuh kebencian ke arah Wuri.