"Dalam keadaan sekarat, Mira menceritakan semua kisah pilu hidupnya padaku. Ketika dia memutuskan untuk bersekolah ke Jakarta dan menjadi bidan, dia mempunyai tujuan mulia. Mira ingin berpendidikan dan membantu desanya."
Wajah Wuri memucat mengingat detik-detik terakhir kali dia bertemu Mira. Sander menatap serius ke arah gadis di sampingnya. Wuri lalu melanjutkan ucapannya.
"Dia ingin mengedukasi para gadis yang sudah terlanjur masuk ke lingkaran hitam. Mereka adalah gadis-gadis polos yang tidak mengerti hal lain kecuali uang. Pria-pria yang datang dari kota untuk bermalam dengan mereka bukan hanya menyebabkan kehamilan. Pria itu juga bisa saja membawa penyakit menular."
"Ya aku setuju dengan itu. Pria yang terbiasa dengan berganti pasangan untuk bercinta berpeluang besar menderita sebuah penyakit." Axelle menghela nafas, karena dirinya satu dari pria dengan tabiat seperti itu.
Wuri pun kembali melanjutkan ceritanya tentang Mira.
"Kemiskinan dan kebodohan di desanya membuat Mira sangat prihatin. Malangnya, Mira justru menjadi korban dari lingkaran yang sama."
Lagi-lagi air mata jatuh berderai di wajah Wuri. Sander sangat kasihan melihat keadaan gadis itu. Namun dia tidak bisa berbuat banyak. Sander butuh penjelasan malam ini. Waktunya untuk tinggal di desa ini tidak banyak lagi.
"Apa hubungannya semua itu dengan keberadaanmu di desa ini?" tanya Sander yang mulai tidak sabar.
"Saat terakhir, Mira menggenggam tanganku. Hanya aku satu-satunya dari teman kuliah kami yang tahu keadaan ini. Mira memintaku untuk berjanji."
"Janji apa?"
"Untuk meneruskan tujuan mulia yang gagal dia lakukan. Menjadi bidan sekaligus mengedukasi gadis-gadis di desa ini."
Kali ini Sander menggelengkan kepala. Wuri melihatnya dengan heran.
"Lalu kau setuju memenuhi harapan temanmu dengan janji itu?"
Wuri mengangguk, dia mulai mengeringkan air matanya.
"Aku tidak punya pilihan selain menepati janji itu. Karena sesudah aku menyetujui di hadapan Mira, dia pun pergi untuk selamanya."
"Persahabatan wanita selalu sulit untuk kumengerti," ucap Sander.
"Maksudmu?"
"Kau bodoh Wuri, bagaimana bisa kau membahayakan dirimu sendiri hanya untuk memenuhi janji sesulit itu. Bisa kau bayangkan, seorang diri di desa seperti ini? Seseorang bisa saja mencelakakanmu!"
"Tidak! Ganda tidak akan berani melakukan kejahatan padaku. Setelah membantu banyak gadis, aku membuat barang bukti tentang kejahatan yang dia lakukan. Jika dia melakukan sesuatu maka barang bukti itu akan jatuh ke tangan polisi."
Sander kembali menatap Wuri dengan heran sekaligus kagum. Gadis ini penuh rahasia sekaligus kecerdasan.
"Lalu kenapa tidak kau berikan barang bukti itu kepada polisi?"
Pandangan sinis Wuri berikan kepada Sander.
"Katamu kau seorang editor. Kenapa pertanyaanmu bodoh sekali?"
Wajah Sander memerah dengan celaan dari Wuri. Enggan menanggapi tatapan maah Sander, Wuri menjelaskan alasannya.
"Jika barang bukti itu kuserahkan pada polisi, maka polisi akan datang. Barang bukti itu hanya berlaku jika ada saksi dan korban yang berani membuka suara. Menurutmu, siapa di desa ini yang mau berdiri berhadapan dengan Ganda?"
Sander pun mengangguk, pertimbangan Wuri benar. Jika pun polisi datang, semua orang akan bekerja sama melindungi Ganda. Karena mereka menganggap Ganda adalah orang penting sebagai pintu mereka mendapatkan uang.
"Jadi karena itu Ganda tidak berani mengusikmu. Dan kau pun tidak mengusik mereka. Kau hanya membantu gadis dan wanita di desa ini."
"Perlahan aku selalu mengedukasi mereka. Ada beberapa yang sudah mengerti kemudian berhenti mencari uang dengan cara seperti itu. Namun pekerjaan rumahku masih sangat banyak untuk membawa desa ini keluar sepenuhnya."
Kali ini Sander menggeleng dengan pasti.
"Kau tidak akan berhasil! Lihat saja malam ini, Ganda telah memberikanmu padaku hanya untuk lima puluh juta. Bisa kau bayangkan jika pria lain yang bersamamu saat ini?" tanya Sander penuh penekanan.
"Hmm … Kau salah! Pria lain tidak akan segila dirimu menghamburkan uang hanya untuk satu malam. Tanpa uang yang banyak, Ganda tidak akan mau mengambil resiko apa pun!"
Sekali lagi Wuri memperlihatkan kecerdasannya yang membuat Sander kagum.
"Kau telah mendengar ceritaku. Apa yang bisa kau sarankan padaku sekarang? Dengan cara apa kau akan berdiri membantuku untuk tujuan ini?"
Sejenak keduanya terdiam. Sander beranjak dari lantai menuju sofa. Dia lalu duduk di sana dengan menyandarkan kepalanya di bahu sofa.
Wuri merasa pria itu sedang berakting. Membuatnya hilang kesabaran.
"Jangan katakan kau tidak tahu setelah aku memberikan banyak informasi padamu." Sambil menghenyakkan diri di sofa sebelah Sander, Wuri berkata ketus.
"Terlalu banyak yang ada di kepalaku sekarang. Aku tidak akan hanya diam dengan semua yang terjadi. Aku mungkin pria brengsek. Namun aku bukan penggila ranjang yang memanfaatkan kemiskinan untuk kesenangan," tukas Sander menanggapi sikap Wuri.
"Aku harap itu bukan sekedar janji dan kata-kata manis semata."
"Wuri, kenapa kau selalu menilaiku dengan cara yang buruk? Bukankah aku sudah memberikan banyak bukti padamu. Aku memang bajingan tapi bukan penjahat."
Wuri diam sambil melihat ke ujung kakinya.
"Desa ini sudah terlanjur rusak. Kita butuh sebuah cara luar biasa untuk memperbaikinya. Namun aku memikirkan hal lain sekarang."
"Maksudmu?"
"Kita akan memerlukan waktu dan banyak informasi untuk membongkar kejahatan di desa ini. Tapi, terlebih dahulu kita harus menyelamatkan yang masih belum tersentuh."
"Sander! Aku rasa kau terlalu berputar-putar. Katakan dengan jelas, aku mulai bosan berbicara denganmu. Ingat ya, aku bukan seorang pramuka yang bisa membaca kode dan sandi."
Kata-kata Wuri nyaris membuat Sander tergelak. Meski disampaikan dengan nada sinis, tapi di telinga Sander ucapan Wuri justru terdengar lucu.
"Dengar Wuri, Jika kau menemukan satu koper uang dan keadaan terbakar. Maka yang harus kau selamatkan adalah uang yang tidak terbakar. Baru setelah itu, kau berusaha memadamkan uang lain yang sudah terbakar itu. Karena yang sudah rusak tidak mungkin bisa kita perbaiki. Lebih baik langkah pertama kita fokus pada yang masih utuh dan berharga."
Setelah Sander menyelesaikan ucapannya, Wuri memutar bola mata.
"Sander, apakah semua wartawan, editor atau pembuat berita selalu berkata dengan cara yang bertele-tele seperti ini? tidak bisakah kalian bicara seperti manusia normal?"
"Hey Nona Wuri! Sejak tadi aku melihatmu sebagai gadis yang cerdas. Tapi lihatlah, kau bahkan tidak mampu membaca isyarat dariku."
"Mungkin kau adalah sebuah pengecualian."
"Maksudmu?"
"Mungkin saat bersamamu kecerdasanku menurun tajam!" sentak Wuri.
"Karena kau mulai jatuh cinta padaku?" tanya Sander menggoda.
Wuri memutar bola matanya dengan sinis lalu berdiri dari sofa. Dia ingin beranjak meninggalkan Sander yang menangkap lengan tangannya.
"Wuri, tinggalkan desa ini. Selamatkan dirimu, sebelum aku mulai membuat kehancuran untuk desa ini, kau harus sudah keluar lebih dulu!" ucap Sander tegas sambil menatap mata Wuri yang saat ini berdiri di hadapannya.