Walau menatap ke arah depan, namun kepiluan jelas terlihat di dua netra hitam Wuri. Sambil menikmati teh dari gelas yang ada di tangannya, Sander menyimak dengan sabar apa yang ingin gadis itu katakan.
"Aku dan Mira berkenalan sejak awal kami kuliah. Dia adalah gadis yang pintar dan ceria. Meski begitu, pribadinya sangat sederhana. Berbeda dengan gadis kota yang lebih stylist dan modern. Karena Mira memang berasal dari desa di pedalaman Bogor yang bernama Welasti."
Sejenak Wuri terdiam, air matanya tidak lagi mengalir. Satu per satu nafasnya mulai teratur. Dia kemudian melanjutkan.
"Semua berjalan lancar, sampai di tahun ketiga kuliah kami. Saat itu kami telah menyelesaikan tugas akhir. Tiba-tiba Wuri mendapatkan panggilan dari desa. Setelah sidang akhir kuliah, dia pun berpamitan dan kembali ke desanya."
Sander mencoba mencerna semua penjelasan Wuri. Berbagai pertanyaan bermunculan di benaknya namun dia menahan diri untuk tidak memutus penjelasan Wuri.
"Hanya dalam satu minggu, Mira kembali ke Jakarta. Tapi … dia bukan lagi Mira yang aku kenal. Wajahnya selalu pucat, lesu, pendiam dan terlihat sangat tertekan. Saat kami berbicara satu sama lain, Mira bahkan selalu menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang salah."
"Apa yang terjadi?" Sander akhirnya tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
Wuri menghela nafas berat, sulit baginya untuk meneruskan cerita tentang Mira.
"Satu hari menjelang wisuda, Mira menghilang. Dia tidak pernah datang ke acara wisuda di kampus. Padahal, Mira mendapatkan gelar lulusan terbaik tahun itu. Tidak ada yang tahu di mana Mira."
Kembali air mata mengalir, membasahi pipi Wuri. Sander sesaat berdiri, meraih sebuah kotak tissue yang ada di meja makan dan menyerahkan pada Wuri. Lalu dia kembali duduk di sebelah gadis itu. Wuri segera mengambil selembar tissue dari tangan Sander dan menghapus air mata di wajahnya sebelum kembali melanjutkan cerita.
"Bayangan Mira terus mengejarku. Hatiku berbisik, sesuatu yang buruk telah terjadi pada sahabatku itu. Mungkin bagi orang yang tidak pernah mengenal Mira dari dekat, semua hal tentangnya biasa. Mira memang pendiam, tidak populer dan banyak teman. Boleh dibilang aku satu-satunya teman yang dia miliki."
"Kau tidak berusaha menghubunginya?" tanya Sander kemudian.
"Semua nomor ponselnya tidak aktif. Satu minggu setelah wisuda, aku berusaha mendapatkan alamat Mira dari kantor administrasi kampus. Mereka memberikan padaku dan juga memberikan bukti kelulusan Mira. Toga, ijazah, karena Mira memang sudah membayar lunas semuanya. Mereka memintaku untuk menyerahkan pada Mira."
Wuri sejenak terdiam, meminum teh di gelas untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Mengingat kembali masa lalu yang telah menjadi alasan keberadaannya di desa Welasti.
"Dengan perjalanan sulit, akhirnya aku berhasil menemukan rumah Mira. Ketika aku tiba di rumahnya, aku melihat seorang perempuan setengah baya duduk di teras. Pandangan wanita itu tampak kosong dan sedih."
"Siapa dia?" kembali Sander bertanya.
"Ibu Mira, ternyata wanita itu sedang berduka. Ketika aku menjelaskan diriku dan meminta izin untuk menemui Mira, wanita itu malah menangis. Lalu dengan berat hati, dia mempersilahkan aku untuk masuk ke kamar Mira."
Sampai di sini tangis Wuri meledak. Dia kembali menyembunyikan wajah di antara dua lututnya yang terlipat. Bahunya bergetar hebat. Sander yang duduk di sampingnya, menatap bingung pada gadis itu. Dia pun melingkarkan lengan di bahu Wuri.
"Kau butuh waktu untuk menenangkan diri? Sepertinya kisah ini tidak mudah untuk kau ingat. Maaf, aku sudah memaksamu."
Wuri mengangkat wajahnya, bukan hanya tampak lelah dan pucat, namun kedua matanya pun begitu sembab dan mulai bengkak karena terlalu banyak menangis. Wuri menguatkan hati untuk melanjutkan ceritanya.
"Aku menemukan Mira di dalam kamar. Dia tergolek tak berdaya, aku lihat darah di bagian bawah tubuhnya. Dia mengalami pendarahan hebat selama beberapa hari. Bau busuk dan anyir mulai tercium di ruangan itu."
"Kenapa ibu Mira hanya diam? Tidak bisakah dia melakukan sesuatu?"
Wuri menggeleng, "Kau sudah melihat desa ini. Untuk bisa mencapai tempat ini dan juga keluar dari tempat ini bukan urusan mudah. Ayah Mira tidak pernah kembali sejak kepergiannya dari desa ini. Sementara Mira hanya hidup berdua dengan ibunya."
"Apakah tidak ada yang peduli dengan hidup seseorang di desa ini?" suara Sander terdengar mulai emosi.
"Desa ini di bawah kekuasaan Ganda. Dari ibu Mira, aku baru tahu bahwa kepulangan Mira di hari terakhir ternyata untuk mendapatkan uang. Agar dia bisa membayar biaya wisuda. Tapi, ibu Mira tidak memiliki uang yang dibutuhkan. Waktu pembayaran hampir selesai. Bahkan untuk makan pun Ibu Mira sudah kehabisan uang. Selama ini dia bekerja di ladang wortel milik Ganda. Sialnya tahun itu, wortel gagal panen. Sehingga upah yang seharusnya diterima pun menghilang."
Semua penjelasan Wuri bagi Sander terlalu bertele-tele. Dia ingin segera tahu apa yang terjadi di desa itu. Waktu Sander untuk tinggal hanya tinggal malam ini. Dia sudah membayar mahal untuk keberadaan Wuri. Namun Sander tetap bersabar menunggu Wuri melanjutkan kisahnya.
"Lalu ibu Mira datang kepada Ganda untuk meminjam uang. Bersama dengan Mira. Alih-alih memberikan pinjaman, setelah melihat Mira, Ganda justru menawarkan hal lain."
"Hal lain?" Sander merasa hampir gila dengan penjelasan Wuri yang bertempo pelan.
"Malam itu, Mira tidak kembali ke rumah. Dia malah tinggal di rumah tamu Ganda. Seorang pria dari Belanda dengan uang yang sangat banyak. Pria itu bahkan membayar sepuluh kali lipat demi mendapatkan Mira."
Dengan isakan berat, Wuri terus berusaha melanjutkan cerita.
"Itulah sebabnya ketika terakhir Mira kembali ke Jakarta, dia terlihat sangat lemah, pucat dan selalu kehilangan fokus. Karena ternyata dia memang telah kehilangan kebanggaannya sebagai wanita. Meski begitu, Mira tetap berusaha untuk hidup dan kembali menata segalanya. Dia percaya bahwa setelah mendapatkan gelar bidan, semua akan kembali membaik."
"Dia berhasil mendapatkan gelar itu bukan?"
"Ya, Mira mendapatkan gelar itu. Sehari sebelum gelar itu disematkan, dia mengetahui jika dirinya hamil. Itulah alasan Mira menghilang di hari wisuda kami. Dalam perjalanan menuju desa, Mira mengalami pendarahan. Sayangnya, di desa ini tidak ada dokter atau bidan yang bisa menolong. Tetangganya yang tahu pun bukannya membantu tapi justru mencibir."
"Lalu Ganda?" tanya Sander.
Wuri tersenyum sinis, "Kau tahu kan pria itu hanya akan melakukan sesuatu jika bisa mendatangkan uang. Hidup Mira dan ibunya bagai orang asing yang dibiarkan mati perlahan. Bahkan saat itu, uang pun tidak ada artinya bagi mereka. Semua orang berusaha menutup mata."
"Lalu, apa hubungannya denganmu yang tinggal di tempat ini. Tempat ini berbahaya untukmu, Wuri. Berutungnya yang menginginkan dirimu adalah aku, bisa kau bayangkan jika saat ini kau bersama pria lain?"
Wuri memicing sinis pada Sander.
"Apakah aku harus berterima kasih dan memujamu sebagai pria baik?"
Sander tersenyum lucu, "Lanjutkan, apa yang terjadi dengan Mira setelahnya."