"Sander!"
Wuri tersentak dan matanya terbelalak. Dia terbangun karena merasa seseorang menyentuh wajahnya. Sentuhan yang membuatnya merasa tidak nyaman. Segera kembali dari 'tidur ayam' dan menemukan Sander ada di hadapannya.
"Se-sedang apa kau di sini?" tanya Wuri curiga.
Sander tersenyum tipis sembari mengerutkan kening. Dia menarik sebuah kursi di samping kanan Wuri. Lalu duduk di sana dengan rasa nyaman. Kembali menatap Wuri, wajah Sander saat itu menampakkan ekspresi lucu.
"Harusnya aku yang bertanya padamu Nona, sedang apa kau di rumahku."
Kata-kata Sander yang tenang membuat Wuri tersadar. Matanya berkeliling mengitari ruangan tempatnya berada. Sesaat Wuri baru menyadari ternyata bukan Sander yang ada di rumahnya tapi dia yang ada di rumah Sander.
Sedikit mengernyit Wuri melihat ke arah Sander. Melihat Sander yang bertelanjang dada dengan hanya handuk membalut dari perutnya hingga ke lutut, Wuri pun sedikit memalingkan pandangan. Wajahnya bersemu merah karena malu.
"Ganda bilang kau ingin bicara denganku."
Senyum kemenangan hadir di wajah Sander.
"Aku bukan hanya ingin bicara, tapi aku ingin segalanya darimu."
Sander mendekatkan wajahnya ke wajah Wuri. Gadis itu sedikit menggeser wajahnya agar tidak bersentuhan dengan hidung mancung Sander.
"Jangan macam-macam padaku, atau,…."
"Atau apa? Kau akan berteriak?" potong Sander segera.
"Atau aku akan membunuhmu!" tukas Wuri cepat untuk mengatasi rasa gugupnya.
Selama ini Wuri belum pernah berdekatan dengan seorang pria lebih dekat dari ini. Boleh dibilang, Wuri adalah gadis yang tidak memiliki pergaulan. Berdekatan berdua dengan pria seperti ini membuatnya sangat merasa gugup.
Sialnya ancaman Wuri justru membuat Sander tergelak. Dia menjauhkan wajahnya lalu berjalan menuju kamar.
"Aku akan memakai pakaian. Setidaknya jika aku harus mati di tanganmu, aku tidak mati dalam keadaan telanjang."
Saat dia membuka kenop pintu, Sander mendadak berbalik dan melihat Wuri yang masih duduk diam di tempatnya semula.
"Wuri, kau tahu desa ini sangat terpencil, dan sekarang aku merasa sangat lapar. Apakah kau bisa membuat makanan untuk kita berdua?"
Mata besar Wuri melotot melihat ke arah Sander. Pria ini sungguh berbahaya, bukan hanya karena wajah tampan dan sepasang mata hijau gelap miliknya tapi juga karena kemampuannya menggunakan kata untuk memanipulasi seseorang.
Tidak menunggu jawaban Wuri, Sander pun menghilang di balik pintu kamar. Berdiri di depan lemari kecil satu pintu Sander bersiul bahagia. Entah apa yang Ganda katakan pada gadis itu hingga dia mau datang dan tinggal di rumah yang Sander tempati.
Kaus putih longgar dan celana pendek warna cream dengan beberapa kantong di bagian samping menjadi pilihan Sander malam itu. Dia perlu mendapatkan sesuatu sebelum kembali ke Jakarta esok hari.
Sander menggosokkan handuk setengah basah itu untuk mengeringkan rambutnya. Meski dengan air hangat namun udara pegunungan membuatnya sedikit kedinginan. Perutnya terasa sangat lapar, seharian ini dia tidak makan sama sekali.
Saat dia membuka pintu kamar, aroma sedap masakan segera menyambutnya. Dilihatnya Wuri sedang berdiri di depan kompor, tampak sibuk memasak sesuatu. Senyum kecil bahagia merekah di wajah Sander melihat pemandangan itu.
Tidak dia duga bahwa Wuri sungguh mau menyiapkan makanan untuknya. Gadis galak yang selalu saja menunjukkan kebencian padanya kini berada satu ruangan dan sedang menyiapkan makanan untuknya.
Tiba-tiba Wuri berbalik dan melihat ke arah Sander. Matanya terkesima, Sander tampak sangat tampan meski rambutnya masih berantakan. Namun pria itu terlihat segar dan menawan. Wajah Eropa yang sexy dengan mata hijau indah.
Hah?! Wuri terkejut dengan pemikirannya sendiri.
"Hey! Sedang apa kau di situ? Memandangiku?!" tanya Wuri menghardik Sander.
Tak kalah terkejut, Sander pun segera mengangkat handuk yang ada di tangannya.
"Aku baru saja keluar untuk menjemur handuk. Aroma masakanmu membuatku terpana. Aku sungguh lapar, apakah kau akan mengijinkan aku makan sekarang?" tanya Sander mencoba tenang dari keterkejutannya karena Wuri berbalik tiba-tiba.
Gadis itu hanya menelan saliva lalu mengangguk dan kembali sibuk dengan masakannya. Sementara Sander berjalan menuju sisi lain di mana kamar mandi berada untuk meletakkan handuk. Lalu dia bergegas menuju meja makan, menyiapkan dua piring dan dua sendok.
Wuri datang dengan sepiring ayam kecap yang sausnya meleleh di antara potongan bawang bombay dengan aroma menggoda. Dia meletakkan piring itu di sebelah nasi putih yang sejak tadi sudah berada di meja.
Sander menatap makanan itu dengan wajah bingung.
"Dari mana kau mendapatkan ayam dalam waktu singkat?" tanya Sander sambil wajahnya menengadah pada Wuri.
Gadis itu hanya memiringkan bibir, "Aku baru saja menangkapnya!" ujarnya ketus.
Jawaban Wuri lagi-lagi membuat Sander tertawa, "Selera humormu bagus juga, Nona. Aku tidak peduli dari mana asal ayam ini. Sekarang aku lapar dan ingin menikmatinya."
Sander menyodorkan piring kosong di hadapannya kepada Wuri.
"Ya Tuhan! Sander, aku ini bukan pelayanmu. Semua makanan sudah ada di atas meja, kau bisa mengambil sendiri. Dasar Tuan Besar sok kuasa!"
Senyum tipis menghias wajah Sander sambil menatap gadis di hadapannya. Segera dia menyendok nasi dalam porsi sedikit dan melengkapinya dengan sepotong ayam dari piring yang berbeda.
Lalu Sander menyodorkan piring itu ke hadapan Wuri. Dia segera mengambil piring kosong lainnya dan menyendok nasi dalam jumlah lebih banyak dengan dua potong ayam kecap hingga piring itu terlihat sangat penuh.
Wajah Wuri tampak bersemu merah dengan perlakukan Sander. Dia yang semula dianggapnya sangat arogan ternyata memiliki sikap lembut.
"Kita lanjutkan nanti pertengkaran, sekarang makanlah. Aku tahu kau juga lapar, seharian kita bersama tanpa memakan apa pun."
Wuri diam dan mulai menikmati makanannya. Setelah beberapa suapan dalam diam, Sander pun membuka suara.
"Kenapa kau ada di desa ini, Wuri?"
Wuri memandang Sander, pria itu bahkan bertanya tanpa menatapnya dan terlihat sangat menikmati makanan yang Wuri sajikan.
"Karena warga kampung ini membutuhkanku," jawab Wuri.
"Membutuhkanmu untuk apa? Benarkah kata mereka bahwa kau seorang bidan?"
"Iya, mereka memerlukan keahlianku terutama para gadis yang mengandung dan akan melahirkan."
"Sudah berapa lama kau di desa ini?" tanya Sander lagi.
"Ini adalah tahun keempatku."
"Kau senang tinggal di tempat ini?"
Wuri menarik nafas panjang, "Tidak ada yang akan senang tinggal di tempat ini. Begitu pun aku, tapi janjiku pada … salah satu temanku, membuatku tetap tinggal dengan semua rasa duka yang kurasa."
Sander mulai memperlambat gerakannya untuk makan. Dia mencoba menelisik lebih dalam tentang Wuri. Tampaknya bukan hanya desa itu yang penuh misteri tapi juga orang-orang di dalamnya.
"Apa yang membuatmu berduka? Tahukah kau Wuri, sejak pertama kita bertemu sampai sekarang belum sekali pun aku melihatmu tersenyum."