Chereads / Cinta Arrogant Sang Editor / Chapter 20 - 20. MENCOBA PERCAYA

Chapter 20 - 20. MENCOBA PERCAYA

Kedua mata hitam Wuri yang semula menatap Sander penuh rasa curiga berganti dengan sebuah keteduhan. Mengingat apa yang membawanya tiba di desa ini dan bertahan lima tahun terakhir. Namun dia tidak bisa menutupi wajahnya yang penuh keraguan untuk menceritakan semuanya pada Sander.

Tanpa ingin memaksa, Sander pun berdiri. Segera dia menuju meja pantry yang tidak jauh dari tempat mereka duduk.

"Aku akan membuat teh hangat untuk kita berdua, atau kau lebih menyukai kopi?"

Wuri menggeleng, setelah beberapa hari terakhir dia kurang beristirahat karena menjaga Ratna, tubuhnya terasa sedikit lunglai. Wuri pun beringsut meninggalkan kursi makan dan menuju sofa di sisi lain rumah yang Sander tempati.

Tidak lama berselang Sander kembali dengan dua gelas teh panas di tangannya. Dia meletakkan teh itu di meja, di hadapan Wuri.

"Minumlah, aku tidak ingin kau sakit. Wajahmu terlihat sangat lelah."

Mata Wuri menyipit melihat ke arah Sander yang duduk bersebelahan dengannya.

"Sejak kapan kau peduli dengan wajahku dan sejak kapan juga kau memperhatikan warna wajahku?!" ujarnya ketus.

"Sejak aku menciummu di lift tadi mungkin," ujar Sander ringan dan tenang sambil menyecap teh di tangannya.

Kali ini Wuri merasa wajahnya begitu panas dan merona. Mengingat kejadian tadi siang. Itu adalah ciuman pertama bagi Wuri.

"Kalau kau coba lakukan itu lagi aku akan membunuhmu!" ancamnya pada pria tinggi kekar yang sedang duduk di sampingnya.

Tawa Sander hampir meledak ketika Wuri selesai mengucapkan kalimatnya. Gadis mungil berbadan kecil itu tidak akan menjadi lawan yang seimbang bagi seorang Sander. Membayangkan dirinya dan Wuri masuk ke dalam sebuah pertempuran justru membuat Sander hampir saja tertawa. Namun begitu dia memilih pura-pura ketakutan.

"Oh … ampun, Nona. Aku tidak akan melakukan itu lagi padamu."

Segera dia meletakkan tehnya di meja dan mengangkat kedua tangan tanda menyerah. Wuri merasa tergelitik dengan candaan Sander, tapi gadis itu memilih diam dan tetap waspada. Baginya Sander tetap saja seorang pria yang berbahaya.

"Katakan Wuri, kenapa kau ada di desa ini."

"Untuk apa aku mengatakan padamu? Kau akan menjadikannya sebagai berita dan menghancurkan desa ini?"

Sander menipiskan bibir sebelum berkata, "Jika menurutmu apa yang terjadi di desa ini adalah sesuatu yang tidak bisa ditoleransi maka kau harus membuat tindakan. Seorang diri tidak banyak yang bisa kau lakukan. Jika kau memilih berdiri di sampingku, aku akan bisa melakukan banyak hal."

Sejenak Wuri terdiam, keraguan tetap saja memeluk erat hatinya. Sulit bagi Wuri untuk percaya pada Sander begitu saja.

"Aku mau pulang, rasanya sangat lelah. Aku perlu tidur nyenyak di ranjangku sekarang."

"Pulang? Oh aku rasa tidak malam ini. Kau adalah milikku sekarang."

"Milikmu?! Kau sudah gila ya? Jangan samakan aku dengan Ratna atau gadis lain yang pernah bersamamu karena uang!" Wuri menyampaikan dengan nada dan mata berapi-api.

Dengan tenang Sander menjawab, "Nyatanya begitu. Jika sebelumnya aku membayar seratus juta untuk membawa Ratna satu minggu di rumah sakit. Malam ini aku membayar lima puluh juta untuk membuat Ganda membawamu tinggal bersamaku malam ini."

"Kalian gila ya?! Aku bukan bagian dari para pekerja Ganda. Kurang ajar kalian!"

Wuri segera berdiri dan mencoba membuka pintu rumah Sander. Sialnya ternyata pintu itu terkunci dari luar. Rupanya Ganda sudah menduga jika Wuri mungkin saja coba melarikan diri. Beberapa kali gadis itu penuh rasa emosi menggebrak pintu dan berteriak untuk meminta seseorang membukanya.

"Wuri, dengar … aku hanya memintamu tinggal bersamaku. Aku janji tidak akan melakukan apa pun padamu. Jika kau membuat kegaduhan, itu hanya akan membuat Ganda marah." Sander menjelaskan dengan tenang dari bangkunya duduk tanpa memalingkan wajah ke arah Wuri.

"Aku tidak takut pada Ganda, berani sekali dia menjualku padamu!"

"Siapa bilang Ganda menjualmu? Aku hanya meminta padanya untuk membuatmu datang ke rumahku malam ini dengan imbalan spesial, karena kau adalah gadis yang spesial bagiku."

"Kalian semua sama saja! Buka pintunya! Buka!" Wuri terus saja berteriak.

"Percuma Wuri, tidak akan ada yang menolongmu. Duduklah, aku akan menjamin dirimu aman malam ini."

Raganya yang lelah ditambah rasa marah dan ketakutan membuat Wuri akhirnya menyerah. Gadis itu terduduk dan menyandar di pintu kayu. Dengan kedua lutut terlipat, dia menundukkan kepala di antaranya.

Sander menatap gadis itu, menggelengkan kepala dan mendekat sambil membawa dua gelas teh yang mulai dingin.

"Minumlah, sungguh aku tidak ingin kau sakit. Aku tahu, begitu banyak orang yang membutuhkan bantuanmu di desa ini," ujar Sander lembut sambil menyodorkan gelas teh milik Wuri.

Gadis itu menengadahkan kepala, terlihat wajahnya basah oleh air mata. Dua manik hitamnya melihat sander lekat. Merasa tidak ada bahaya, Wuri pun menerima gelas teh dari tangan kanan Sander dan segera meminumnya. Aliran teh hangat di tenggorokan membuatnya sedikit merasa lebih lega.

Sander mengambil posisi duduk di samping Wuri. Mereka berdua duduk di lantai. Wuri bersandar di pintu dan Sander bersandar di tembok sebelahnya.

"Wuri, bolehkah aku jujur padamu. Pertama kali aku datang ke desa ini, aku memang bertujuan mendapatkan berita. Kau benar, aku ingin sebuah berita yang menggelegar."

Pandangan Wuri yang semula lurus ke depan beralih ke wajah Sander, ditatapnya tajam pria berwajah Eropa yang sekarang ada di hadapannya itu.

"Tapi … setelah aku berada di tempat ini, melihat banyak hal, meski aku belum tahu apa sebenarnya yang terjadi. Aku ingin jadi bagian dari desa ini. Terlebih setelah aku melihatmu. Aku seperti melihat diriku. Sebuah luka, kecewa namun tanpa daya. Seolah kau sedang berjuang sendiri di tengah lautan."

Tangis Wuri yang semula reda kembali pecah. Butiran air mata yang mengering kembali basah dan turun dengan deras di wajahnya.

"Kau tahu, lautan itu luas, dalam dan ombaknya tidak mengenal belas kasihan. Akan menghantam siapa pun yang dia inginkan. Aku melihat lelahmu. Cepat atau lambat kau akan tenggelam jika kau tidak mendapat pertolongan. Peganglah tanganku, Wuri. Cobalah untuk percaya pada seseorang setidaknya sekali ini saja."

Wuri kembali mengusap air matanya. Dia menata nafasnya satu per satu. Mencoba tenang sembari mencerna perkataan Sander.

"Desa ini bagiku seperti tempat matinya kemanusiaan. Semua tergadaikan demi mempertahankan kehidupan yang sebenarnya tidak pernah mereka miliki. Aku mencoba menjadi harapan bagi nyawa-nyawa baru. Aku berusaha membawa mereka yang tidak tahu untuk keluar dari lingkaran yang hanya membuat mereka berputar-putar. Tapi … aku selalu gagal."

"Wuri, katakan padaku. Apa yang terjadi di desa ini dan kenapa kau ada di desa ini?"

Wuri memejamkan mata cukup lama, seolah menahan perih di hatinya. Sebelum akhirnya dia berhasil memulai dengan sebuah kalimat.

"Lima tahun lalu aku tiba di tempat ini. Yang begitu jauh dari definisiku tentang sebuah desa di pedalaman."