Mengenai perkara belanja tadi. Gelora sudah melupakannya, tapi pikirannya terus merambat ke sana kemari mencari celah untuk pergi dari Pragma.
"Silahkan masuk," ucap salah satu bodyguard pada Gelora.
Wanita itu terdiam sebentar, mengamati para bodyguard Pragma. Sebelum kembali berujar. "Saya ingin ke toilet dulu."
Sedangkan Pragma sudah berada di dalam mobil menunggu Gelora untuk masuk.
"Nyonya Gelora, kenapa Anda belum masuk juga." Suara Rudolp terdengar lagi. Membuat Gelora berdesis tertahan, kalau ada Rudolp semua rencananya akan gagal. Sebaiknya kita menjauh dari Rudolp dulu, pikir Gelora menatap Rudolp lamat.
"Diam kamu," ucap Gelora.
"Mau ke mana?" tanya Pragma saat Gelora ingin berbalik masuk ke dalam mall lagi.
"Ke toilet sebentar," jawab Gelora menahan geram.
Pragma menukikkan alis menatapnya. Ia berniat turun dari mobil.
"Ehh kamu tidak usah turun. Di situ saja yah, aku cuma mau ke toilet," sahut Gelora cepat.
Pragma semakin tidak suka dibuatnya. "Aku ikut."
"Ckck tidak usah, aku hanya ke toilet sebentar Rama." Tahan Gelora lagi. Pragma yang sekarang lebih keras kepala dan posesif padanya.
"Pokoknya aku harus ikut," ucap Pragma.
Rudolp lagi-lagi harus mengusap rambutnya frustasi, dengan kasar dia membuka pintu mobil. Keluar untuk melerai perdebatan itu.
"Mari Nyonya, saya antar Anda ke toilet," celetuk Rudolp tiba-tiba. Membuat Gelora menoleh ke arahnya.
"Heh, saya cuma ingin ke toilet. Ada apa dengan kalian semua, kalian ingin menemainiku sampai masuk ke dalam toilet. Hah," sentak Gelora mulai berkoar-koar.
"Bukan dia yang menemanimu masuk ke dalam. Tapi aku, mereka hanya berjaga di luar saja," ucap Pragma sudah turun dari mobil. Dan duduk manis di atas kursi rodanya.
Gelora speechless di tempatnya. Tak menyangkah pergerakan Pragma sangat cepat.
"Kenapa kamu turun?!" Tanpa sadar Gelora meninggikan nada suaranya.
"Sebenarnya kamu ini kenapa sih. Aku hanya ingin mengantarmu, tapi kamu berlebihan seperti ini?" tanya Pragma seraya menyeringai sinis pada Gelora.
Jangan kira Pragma tidak tahu jika Gelora ingin kabur darinya. Sejak si Penelpon itu, yang menelpon Gelora tempo lalu disitu dia mulai curiga. Ditambah tadi, wanitanya itu lama sekali di dalam ruangan ganti. Hanya mencoba tiga baju dia memerlukan waktu lama. Pragma tidak sebodoh itu menyadari niat terselubung Gelora yang bersikap manis kepadanya. Dia tahu semua itu, tapi dia hanya pura-pura bungkam, tidak tahu, mengikuti segala permainan Gelora.
"Ya sudah, ayo," sahut Gelora mulai pasrah pada Pragma.
"Hei kalian di sini saja," ujar Gelora saat ke enam bodyguard Pragma ditambah Rudolp ingin mengikutinya.
"Rudolp dan kau ikuti aku," perintah Pragma tidak ingin memperpanjang perdebatan lagi.
"Jangan membawa Rudolp. Aku tidak mau," tolak Gelora lagi.
"Rudolp sebaiknya kamu tidak ikut," perintah Pragma lagi.
"Siapa juga, yang ingin mengantar Nyonya gila itu ke toilet," decak Rudolp menatap punggung Gelora.
"Hufttt sangat menyebalkan," ucap Rudolp sembari mengeceknya jam di pergelangan tangannya.
***
Di dalam sebuah ruangan. Pria itu berdiri di depan kaca besar menatap gedung-gedung pencakar langit, langit tampak sangat cerah hari ini.
Sedangkan di luar ruangan seorang pemuda sedang berdiri. Memastikan jika ruangan di depannya ini sudah benar. Mengingat bagian HRD menghubunginya jika dia diterima kerja pada perusahaan yang ia impikan. Yaitu perusahan terbesar yang bergerak dalam segala bidang. Seperti perhotelan, pariwisata, teknologi, pertambangan dan masih banyak lagi.
Abraham company nama perusahaan itu. Pemuda itu berusaha menetralkan detak jantungnya yang berdetak, mengingat ia akan di interview langsung oleh Ceonya sendiri.
TOK!
TOK!
"Masuk," ucap suara bariton dari dalam.
Pemuda itu akhirnya menekan handle pintu. Matanya langsung bertubrukan dengan punggung lebar seseorang di depannya, tidak jauh dari posisinya.
"Rupanya Anda sudah datang," sahut pria itu membalikkan tubuhnya untuk menatap karyawan barunya.
"Selamat pagi Tuan," ucap pemuda itu basa-basi, untuk memanalisir kegugupannya pada pria paruh baya di depannya.
"Pagi. Silahkan duduk," balas pria paruh baya itu pada pemuda di depannya. Kalau dilihat sepelantara dengan anaknya.
Setelah duduk di kursi kebesarannya. Ceo itu kembali menatap pemuda di depannya.
"Perkenalan nama saya Zaelan Abraham," ucapnya tegas yang diangguki anak muda di depannya.
"Saya sengaja menginterview Anda secara langsung. Karena saya ingin memberikan beberapa persyaratan kepada Anda," jelasnya menyampaikan maksudnya.
"Iya Tuan. Katakan," ucap pemuda itu penasaran.
Zaelan menatap lamat anak itu, sebelum menyodorkan sebuah map berwarna merah di depannya.
"Buka," titahnya singkat.
Dengan segera dan cekatan pemuda itu membukanya. Matanya membola beberapa saat karena terkejut.
"Sertifikat tanah ayah saya?" tanyanya yang diangguki langsung oleh Zaelan.
Zaelan terkekeh skaptis mendengarnya. "Itu sudah menjadi milik saya Jacob. Karena saya sudah membelinya."
Pemuda itu adalah Jacob Zerran sepupu dari Radit Zerran, masih ingatkan? Sepupu dari suami Gelora lebih tetapnya.
"Tapi Anda membelinya dari si Penipu Tuan," sanggah Jacob padanya.
"Meski begitu, saya sudah menbelinya. saya mengeluarkan uang banyak untuk perkebunan teh itu," imbuh Zaelan tak mau kalah.
"Tapi tetap saja Tuan, penipu itu juga menipu Anda," bantah Jacob tak terima.
"Saya tahu, kamu menginginkan tanah perkebunan itu. Saya bisa memberinya secara gratis kepada kamu, tanpa harus membelinya lagi kepada saya. Bagiamana?" Zaelan memberi penawaran yang menarik padanya.
"Tidak mungkin Anda memberikannya kepada saya, tanpa embel-embel barter?" Jacob balik bertanya.
"Tepat sekali anak muda. Saya ingin kamu menjadi mata-mata saya, sekaligus menjauhkan Pradit dari istrinya itu. Kalau bisa, kamu harus membuat pria itu membenci istrinya," ucap Zaelan panjang lebar membuat Jacob mulai meredang di tempatnya.
"Mana bisa begitu, dia itu sepupu saya," tolaknya mentah-mentah.
"Harus bisa, jika kamu menginginkan sertifikat tanahmu kembali," tekan Zaelan menatapnya tajam.
Jacob tidak habis pikir dengan permintaan konyol pria tua di depannya ini. Mana mungkin dia menjauhkan Gelora dari Radit, jika ke duanya saling mencintai.
"Saya tahu sepupu kamu sedang sekarat," ejek Zaelan memancing amarahnya.
"Kau." Tunjuk Jacob murka melupakan sopan santunnya pada pria itu.
"Tidak pantas untuk mengatakan itu. Dan dari mana kau tahu, kalau Radit koma. Apa kau memata-matai kami?!" Jacob menyentak keras sedangkan Zaelan masih tetap tenang di tempatnya.
"Kalau saya menginginkan sesuatu saya akan mendapatkannya, termasuk setiap detail kabar dari sepupu kamu itu," jawab Zaelan masih tenang melihat Jacob sudah berdiri dari tempatnya.
Jacob semakin berpikir keras, sebenarnya apa yang dilakukan Radit sehingga dia memiliki musuh seperti ini.
"Cepat tentukan pilihanmu anak muda. Saya tidak punya cukup waktu, saya ada meeting dengan klien saya," desak Zaelan mulai tak sabaran padanya.
"Atau hidup wanita ini tidak akan pernah tenang," lanjut Zaelan memperlihat foto seorang wanita yang sedang menata bunga.
Rasanya seluruh saraf Jacob melemas. Wanita itu adalah kekasihnya, wanita yang menemaninya dari hari-hari terkelamnya.
"Ini pilihan yang sulit Tuan. Tolong beri saya waktu, saya merasa ditipu oleh Anda! Niat saya ingin melakukan interview dengan Anda, tapi malah sebaliknya Anda mengancam saya," jelas Jacob menatap penuh mohon pada Zaelan.
Dalam hati pria paruh baya itu berdecak senang. Semua pria sama saja akan luluh jika dia mengancam menyakiti wanitanya.
"Besok sore temui saya di kantor. Tentukan pilihan kamu," ucap Zaelan membuat Jacob mengangguk lemah.
"Baik," sahutnya mengepalkan tangan di ke dua sisi tubuhnya.
To Be Continue.