Chereads / Please Stay With Me. / Chapter 18 - Merasa Bersalah

Chapter 18 - Merasa Bersalah

Gelora meringis pelan dijaga seketat ini oleh beberapa bodyguard suruhan Pragma. Dua bodyguard di belakangnya, satu di sisi kiri dan kanannya, serta di depannya ada dua. Melihatnya saja Gelora sesak karena dikelilingi.

"Sayang," panggil Pragma mendongakkan kepalanya ke belakang, menatap Gelora yang sedang melamun.

"Lora," panggilnya sekali lagi. Merasa gemas dia mengigit pelan jemari Gelora yang dapat ia raih.

"Ashhh," ringis Gelora tertahan.

"Kamu kenapa sih." Tanpa sengaja dia menoyor kepala Pragma.

"Jangan melamun," sahut Pragma tak mempermasalahkan kepalanya yang ditoyor Gelora.

"Aku merasa jengah dijaga seperti ini," ungkap Gelora menatap ke sekelilingnya. Banyak orang-orang yang menatapnya, bahkan ada yang diam-diam memotret ke arahnya. Untung dia memakai kaca mata hitam sehingga dia tak langsung dikenali.

Pragma terkekeh kecil dibuatnya. "Hanya untuk berjaga-jaga kalau kamu mau melarikan diri."

Huftt

Gelora mengembuskan napas panjang. Rupanya, niatnya untuk kabur terbaca oleh Pragma.

"Aku tidak akan kabur Pragma," elaknya tak ditanggapi oleh Pragma.

Dengan kesal dan sedikit menghentakkan kakinya. Gelora kembali mendorong kursi roda Pragma.

Mereka telah sampai di sebuah tokoh pakaian branded. Di ZARA, Pragma menyuruh Gelora untuk berbelanja, dia juga menyerahkan kartu ATM Platinumnnya kepada Gelora.

"Kamu habisin aja," ucapnya kelewat santai. Membuat Gelora berpikir untuk mengambil 500 juta, setelah itu dia akan memberikannya kepada Mayra.

"Tapi kalau aku cuma mengambil uangnya. Nanti Pragma curiga kalau aku tidak membeli sesuatu," batinnya menatap kartu ATM yang disodorkan Pragma.

"Kenapa Sayang? Kurang yah?" tanya Pragma bingung membuat Gelora mendengus kecil.

"Sangat berlebihan," ucapnya sembari mengambil kartu ATM itu.

"Maaf yah Sayang. Aku tidak bisa menemanimu memilih pakaian, kakiku masih sakit. Aku tunggu di sini saja," ujarnya lagi merasa tidak enak pada Gelora.

"Aku bingung ingin membeli apa." Gelora meringis pelan. Dia jadi merindukan suaminya.

"Beli apa saja," celetuk Pragma.

"Hm yaudah," sahut Gelora berlalu dari sana.

Pragma menatap punggung wanitanya, menatapnya terus-menerus mengawasi segala gerak-geriknya. Hingga dia melihat Gelora memilih beberapa baju dan masuk ke dalam ruang ganti. Tatapannya sama sekali tidak tergindahkan selain ke arah Gelora.

Tak lama kemudian Rudolp datang membawa jus dan makanan ringan untuk Pragma. Sedangkan di luar tokoh, para bodyguard berjaga. Setelah mengantar Zaelan ke kantor, dia langsung bergegas menyusul Tuan mudanya ke mall.

"Silahkan diminum Tuan," ucap Rudolp.

"Duduklah," sahut Pragma menyuruh Rudolp.

"Nanti saja saya meminumnya," lanjutnya lagi.

Berbeda dengan Gelora yang berada di dalam ruangan ganti. Wanita itu mengintip pelan di balik tirai, Pragma masih mengawasinya. Sangat menyebalkan.

Mula-mula dia meletakkan semua baju yang ia bawah di atas meja kecil. Yang memang tersedia di dalam sana.

"Aku harus menelpon ibu," ucapnya sambil mengotak-atik handphonenya.

Pada dering pertama masih tak diangkat.

Ke dua...

Hingga di dering ke tiga barulah terhubung. Gelora menghela napas lega sembari mengusap dadanya pelan.

"Halo ibu. Syukurlah kamu mengangkatnya, bagaimana keadaan Radit ibu?" Tak sadar Gelora mengigit bibirnya.

Di seberang sana Mayra sedikit berdecak pelan. Sudah dua hari ini dia tak melihat batang hidung, Gelora sama sekali. Apakah wanita itu pergi bersenang-senang di saat kondisi suaminya, seperti ini? Terbaring lemah di atas brankar rumah sakit.

"Kondisinya sudah cukup membaik. Tapi saya akan tetap membawa dia ke Singapura, kamu di mana?"

Gelora diam tak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi ia ingin menemui suaminya segera, serta di sisi lain dia ingin mengambil uang Pragma dulu. Astaga Gelora bingung harus apa.

"Aku tidak bisa memberitahu ibu dulu. Hm kapan ibu berangkat ke Singapura?" Gelora sengaja mengalihkan pembicaraan agar Maya tidak curiga padanya.

"Tiga hari lagi saya akan berangkat. Sebaiknya kamu kemari menemui Radit, apakah kamu tidak merindukan suamimu. Bukannya mengurus kamu malah pergi begitu saja," ucap Mayra menohok membuat Gelora mengcengkram erat ponsel di tangannya.

Mata wanita itu memerah dia seperti menyelingkuhi Radit. Jika dia bersama dengan Pragma.

"Maafkan aku Radit. Tolong maafkan aku." Gelora memejamkan matanya erat, lalu kembali membukanya.

"Uang 500 jutanya akan saya bawa besok sore ibu. Tolong jaga Radit saya dulu, bukannya saya tidak merindukan suami saya. Tapi saya berusaha mencari uang untuk pengobatannya," ucap Gelora serak. Menahan sesak yang mendalam, bersama Pragma ini semua ia lakukan agar bisa membiayai pengobatan suaminya.

Di sana Mayra mengangguk sembari menatap anaknya, dari balik kaca pintu rumah sakit. "Baiklah, jaga dirimu baik-baik."

"Bagaimana saya bisa menjaga diri saya baik-baik, jika Radit tidak di samping saya." Tenanglah Gelora tidak mengatakannya langsung, dia hanya memendamnya.

"Saya tutup dulu," ucap Gelora mengakhiri telepon.

Di luar sana Pragma nampak gelisah karena Gelora belum keluar juga dari ruangan ganti.

"Rudolp panggilkan karyawan di sini," ucap Pragma tegas. Tapi sorot matanya berkata lain, dia terlihat ketakutan.

"Baik Tuan," sahut Rudolp dengan cepat beranjak dari tempatnya.

Mata Pragma sama sekali belum beralih dari objek pandangnya di depan. Menatap pintu ruangan ganti di sana, dimana gordennya masih tertutup rapi.

Ceklekk

Akhirnya yang ia tunggu keluar juga. Tapi mengapa mata wanitanya terlihat sembab, tanpa memedulikan kondisi kakinya. Pragma bangkit dari kursi berjalan tertatih-tatih menuju Gelora.

Brakkk

Semakin dekat jaraknya dengan Gelora. Tapi sialnya, ia terjatuh membuat kakinya berdenyut nyeri.

"Arghhhh," erang Pragma kesakitan.

"Tuan," teriak Rudolp tak sadar segera menolong Pragma.

"Anda tidak apa-apa?" tanya Rudolp cemas membopong Pragma.

"Gelora," panggil Pragma tak didengarkan oleh wanita itu.

"Gelora," panggil Pragma sekali lagi.

"Nyonya," teriak Rudolp kesal berhasil menyentak Gelora. Membuat wanita itu cukup terkejut dan segera berjalan ke arah Pragma.

"Ada apa ini. Pragma ke–kenapa?" tanyanya sedikit terbatas saat Rudolp membantu Pragma duduk di sofa, yang terletak di sudut ruangan. Rudolp meluruskan posisi kaki Pragma.

Sedangkan beberapa karyawan berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Pragma. Sembari membawa kotak obat. Mereka semua terlihat sangat khawatir.

Rudolp masih belum menjawab pertanyaan wanita itu. Dia sangat kesal, karena kelalaiannya Pragma sampai terjatuh.

Gelora tertegun melihat ekspresi wajah Rudolp, rahang pria itu mengetat. Sedangkan Pragma memandangnya sendu.

"Kamu kenapa?" tanya Gelora lembut pada Pragma.

"Duduk di sini," ucap Pragma pelan menepuk tempat duduk di sampingnya. Bukannya menjawab Pragma malah menyuruh Gelora untuk duduk.

Dengan segera Gelora menurutinya. Langsung saja Pragma menggenggam tangan wanita itu.

"Ya ampun kakinya berdarah," pekik salah-satu karyawan histeris. Dia takut melihat luka memanjang di kaki Pragma apalagi mengeluarkan darah.

"Sebenarnya Tuan tidak boleh ke mana-mana dulu. Tapi, mengapa Anda beranjak dari kursi sendiri." Rudolp mengomel tidak habis pikir dengan kelakuan Pragma. Jika sudah begini siapa yang patut disalahkan.

"Mengapa matamu sembab?" tanya Pragma pada Gelora mengabaikan Rudolp.

Gelora segera mengalihkan tatapannya. "Mataku tadi kelilipan, iya kelilipan."

"Serius?" tanya Pragma kurang percaya. Karena kesal dengan Tuannya, Rudolp sengaja menekan luka Pragma.

"Akhhhh apa yang kau lakukan," ringis Pragma mengigit bibir bawahnya, mengeratkan genggaman tangannya pada Gelora.

"Mengobati," jawab Rudolp cuek membuat Gelora semakin merasa bersalah.

"Lain kali Nyonya Gelora yang terhormat. Tolong perhatikan kondisi suami Anda. Tadi dia berniat menghampiri Anda yang sedang melamun, tapi dia malah terjatuh," ucap Rudolp begitu menusuk membuat Gelora membisu.

"Sudahlah Rudolp, jangan menyalahkan istriku terus. Ini semua kemauanku untuk menghampirinya," bela Pragma tak mau Rudolp menyalah Gelora terus. Sedangkan wanita itu kembali diam, melihat Pragma membelanya.

"Dasar bucin," umpat Rudolp terang-terangan. Membuat Pragma menatapnya tajam.

"Ka–"

"Lebih baik kita segera pergi dari sini," potong Rudolp cepat bangkit dari tempatnya.

"Kurang ajar," umpat Pragma juga.

"Istriku masih berbelanja," ucapnya menatap Gelora.

Wanita itu menggelengkan kepalanya. "Sudahlah Pragma aku sudah tidak mood berbelanja lagi. Aku lapar," ungkapnya.

Pragma menghela napas lelah sebelum menyuruh pelayan, membungkus beberapa baju yang sempat Gelora pegang. Dan sialnya lagi, Rudolp harus membawa barang belanjaannya.

To Be Continue.