Seorang wanita sedang mendesah-desah tatkala Ben mencium lehernya. Wanita itu tengah berbaring tanpa busana di ranjang hotel. Sejak tadi Ben terus menerus mencium dan menggerayangi tubuhnya.
Wanita itu dengan senang hati menyerahkan tubuhnya untuk Ben. Sementara itu, Ben baru membuka kancing kemejanya hingga menampilkan dadanya yang bidang dan perutnya yang six-pack.
Semua orang bilang kalau Ben adalah pria yang tampan dan seksi. Ben memanfaatkan hal itu untuk menggoda para wanita.
"Apa kamu menyukainya, Lis?" tanya Ben pada wanita itu.
"Lis siapa? Namaku Tina," ralat wanita itu.
"Ah … ya, Tina. Nama yang cantik, sama seperti orangnya yang cantik juga," puji Ben.
Ia kembali mencium bibir Tina dengan penuh semangat hingga sebuah ketukan di pintu mengusik acara mereka. Ben menoleh ke arah pintu, tapi kemudian memutuskan untuk tidak mempedulikan ketukan itu.
Ia mulai membuka kaitan ikat pinggangnya untuk menurunkan celananya, tapi ketukan di pintu kembali mengganggu bahkan ditambah dengan suara bel pintu yang diulang berkali-kali.
"Siapa itu?" tanya Tina.
"Entahlah."
"Sebaiknya, kamu mengeceknya, Ben," kata Tina yang mulai menarik kimono yang berada di sebelahnya.
Ben mendecak kesal. "Oke."
Ia berjalan sambil mengangkang karena ada sesuatu yang besar mengganjal di balik celananya. Sambil membenahi senjatanya di dalam sana, Ben kemudian mengintip di lubang pintu. Tepat saat matanya menempel di lubang itu, seorang wanita sedang memukul pintu dengan sangat keras.
Meski suaranya agak teredam karena bahan kayunya yang cukup tebal, tapi Ben tidak dapat mengabaikan suara bel yang berisik. Ia terpaksa membuka pintu dan terkejut bukan main.
Seorang wanita molek dengan rambut panjang sepinggang sedang berdiri di sana sambil berkacak pinggang. Wajahnya dipenuhi amarah yang berapi-api, sama merahnya seperti warna cat rambutnya.
Wanita itu mendorongnya dan memaksa masuk ke dalam.
"Eh, eh, apa yang kamu lakukan?" cegah Ben, tapi terlambat.
Wanita itu sudah terlanjur masuk ke dalam dan melihat Tina yang baru saja menutupi tubuhnya dengan kimono satin yang tipis. Wanita itu lalu menggelengkan kepalanya dan mendengus dengan keras seperti banteng.
"Benedict!" seru wanita itu diikuti sebuah tamparan keras yang mengenai pipinya dengan sangat keras.
Tina segera mengambil pakaiannya dan masuk ke dalam kamar mandi.
Ben mengusap pipinya dan berkata, "Lisa, aku bisa menjelaskan segalanya."
"Tidak usah!" bentak Lisa. "Kamu mau menjelaskan apa lagi, huh? Kamu mau bilang kalau wanita itu bukan siapa-siapa? Atau kamu mau bilang kalau kamu sedang dijebak?"
Ben mendesah. "Lisa, kamu jangan marah-marah dong, Sayang. Nanti kecantikanmu itu bisa luntur. Aku tidak ingin hal itu sampai terjadi. Kamu adalah wanitaku yang paling cantik," goda Ben sambil mencoba mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Lisa.
Wanita itu langsung menampar tangan Ben dengan keras. "Jangan sentuh aku!"
Tampaknya Tina menggunakan ilmu kilat. Ia baru saja keluar dari kamar mandi dan sudah mengenakan pakaian lengkap, meski kurang bahan. Ben suka melihatnya mengenakan baju sabrina crop top yang menampilkan perutnya dan belahan dadanya yang seksi. Celana pendeknya membuat kakinya yang jenjang terlihat mempesona.
Sayang sekali, wanita secantik Tina harus mendapatkan perlakuan sekasar ini.
"Ben, aku kecewa padamu! Aku pikir kamu serius mencintaiku, tapi ternyata kamu …" Tina menggelengkan kepalanya. Ia mendengus kesal. "Aku harus pergi sekarang!"
"Tina, maafkan aku. Aku—"
"Tutup mulut!" potong Tina.
Tina melirik sekilas ke arah Lisa dengan tatapan membunuh. Tampaknya Lisa nyaris menerkam Tina jika wanita itu tidak segera membalikkan badannya dan keluar dari kamar itu.
Ben hendak mengejar Tina, tapi Lisa malah menahannya. "Kamu masih mau mengejarnya? Apa kamu sudah tidak peduli lagi padaku? Seenaknya saja kamu bercinta dengan wanita lain di belakangku. Aku sakit hati, Ben."
Nada bicara Lisa berubah menjadi sedih dan memelas. Ben membalikkan badannya dan menyadari bahwa hari ini Lisa sedang mengenakan kaus ketat tangan panjang yang terdapat retseleting di bagian dadanya. Hal itu sudah pasti akan mempermudah Ben untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.
Lekuk pinggang dan pinggul Lisa memang sangat menggoda. Berhubung senjatanya gagal bertempur tadi, tak ada salahnya jika ia sedikit melunak pada wanita di hadapannya ini.
Belum juga Ben memulai, Lisa sudah maju terlebih dahulu. Ia menyentuh pipi Ben yang baru saja ia tampar dan kemudian mengusapnya dengan lembut. "Maafkan aku, Ben. Apa ini terasa sakit?"
"Sedikit. Hatiku lebih sakit lagi," ucap Ben dengan suaranya yang dalam.
"Benarkah?"
Lisa menurunkan tangannya, menyusuri kulit telanjang Ben. Kebetulan Ben belum sempat mengancingkan kemejanya. Hal itu membuat Lisa dengan mudah menyentuh dadanya dan kemudian meraba-raba perutnya.
"Aku lebih sakit hati lagi, Ben. Kamu selingkuh dariku," ucap Lisa dengan suara yang manja.
Ben langsung luluh mendengar wanita mendesah manja seperti itu. Ia menarik pinggang Lisa dan kemudian mencium bibirnya dengan rakus sambil merengkuh wajahnya dengan sebelah tangannya.
Hanya butuh waktu sekejap bagi Ben untuk melucuti pakaian Lisa yang sangat mudah untuk diakses. Mereka bergerak dengan sangat cepat dan tiba-tiba saja Ben dan Lisa sudah berada di atas kasur yang habis Ben gunakan bersama Tina.
Tampaknya Lisa tidak peduli. Mereka terus saja melanjutkan permainan mereka hingga mereka sama-sama terpuaskan.
Setelah mereka selesai bercinta, Lisa pun mendapatkan sebuah panggilan.
"Halo? Ya. Kenapa? Aduh, kenapa bisa marah-marah begitu? Ya sudah, aku ke sana sekarang ya."
Lisa menutup teleponnya dan bergegas mengenakan pakaiannya. "Aku harus pulang. Katanya Jim marah-marah sambil menangis karena mainannya rusak. Dia terus menerus merengek ingin agar aku cepat pulang. Aku harus pulang sekarang sebelum suamiku pulang."
"Oh, oke. Sampai ketemu lagi, Lis."
"Oke." Lisa berjinjit untuk mencium bibir Ben sekilas. "Sampai ketemu lagi."
Ben mengantarkannya sampai ke depan pintu dan kemudian mendesah lega ketika Lisa sudah pergi. Lisa adalah wanita cantik seksi yang diabaikan oleh suaminya. Ben berpacaran dengannya sudah sekitar lima bulan.
Ben tahu jika semua ini adalah hal yang tidak baik. Ia ingin mengakhiri hubungannya dengan Lisa, tapi wanita itu terlalu lengket padanya. Sepertinya besok-besok Ben akan meninggalkannya saja. Ia tidak ingin berurusan dengan suaminya Lisa.
Akhirnya, setelah membereskan barang-barangnya, Ben pun keluar dari kamar hotel. Ia melakukan check-out di lobby. Sang resepsionis terus menerus tersenyum padanya sambil mengaitkan rambutnya ke balik kupingnya.
"Baik, Mas. Ini tagihannya. Ada dua buah kaleng bir dan paket menu makan siang. Totalnya empat ratus dua puluh ribu rupiah," kata respsionis itu dengan suara yang lembut mendayu-dayu.
Ben mengeluarkan kartu kreditnya dan kemudian menekan nomor pin di mesin EDC.
"Terima kasih, Mas. Uhm, bolehkah saya simpan nomor teleponnya?" ucapnya malu-malu.
Tadinya Ben hendak berkata 'terima kasih kembali', tapi setelah mendengar resepsionis itu berkata seperti itu, Ben jadi memperhatikan wanita itu dengan saksama. Ternyata wanita itu cantik juga. Ia melihat nama yang disematkan di dada kanannya; Elva.
"Ah, Elva. Tentu saja boleh," ucap Ben dengan suara yang menggoda.
Elva pun tersenyum manis. "Terima kasih ya, Mas Ben."
"Panggil Ben saja, supaya lebih akrab."
"Oke, Ben. Nanti aku akan mengirimu pesan ya."
Ben mengangguk. "Oke. Sampai ketemu lagi, Elva."
Ben melambaikan tangannya dan kemudian berjalan keluar dari pintu lobby. Sang petugas vallet parkir telah menyiapkan mobilnya di depan pintu supaya ia tinggal naik dan pergi dari sana. Namun, seorang wanita mencegahnya untuk masuk dan menyuruh Ben untuk duduk di kursi penumpang.