"Eh, kamu mau ngapain, Freya?" Suara Attaya terdengar panik, ketika aku bersiap menanggalkan gaun pestaku.
"Memangnya kenapa?" balasku, dengan santai. "Kamu kan dah jadi suamiku, Atta."
"Idih, gadis gak tau malu. Buka baju di depan cowok. Masuk ke walk in closet, sana!"
"Lah, tas bajuku kan ada di sini. Ngapain aku harus ganti baju di sana. Lagi pula, cepat atau lambat hal-hal kek gini bakalan jadi pemandangan sehari-hari juga. Kan kita dah jadi suami istri. Mulai malam ini, mau gak mau kita tidur sekamar, hidup serumah. Kecuali kalau kamu pingin bikin mamamu jantungan."
Attaya mendecih pelan. Kulirik wajahnya yang saat ini lagi kesal. Emangnya dia doang yang kesal? Aku juga kesal tau! Aku pingin balik lagi ke panti, membantu Bu Ratri mengurus adik-adik. Tempatku bukan di sini.
"Kalau gak mau lihat, ya tinggal merem kan," lanjutku, sambil meneruskan membuka gaun yang super ribet itu.
Kulirik Attaya, eh beneran dia merem sekarang sambil duduk di ranjang.
"Attaya, tolong dong bantuin, resletingnya macet nih."
"Jangan drama, Freya!"
"Aku serius, nih. Dah kutarik tapi gak mau gerak. Ayolah, please. Masak aku harus minta tolong mamamu, sih?"
Attaya bergegas bangkit dari kasur, lalu membantuku menarik resleting gaunku yang macet. Tangannya yang halus menyentuh kulit punggungku yang terbuka. Aroma maskulin Attreya benar-benar sangat menggoda. Oh, rasanya.
Setelah beberapa lama, akhirnya resleting itu bisa digerakkan. "Dah, tuh."
"Oke, makasih, Attaya," jawabku, sambil mengambil kaos singlet hitam dan celana pendek dari tasku. Aku hanya punya beberapa setel baju aja di tasku yang kumal itu. Berkebalikan dengan Attaya yang full banget bajunya. Mana branded semua lagi. Tadi sore, sebelum resepsi aku sempat melihat-lihat isi walk in closet-nya.
Setelah ganti baju, aku menuju kamar mandi. Sebenarnya, aku tergoda ingin berendam di bathup besar itu pakai air hangat, tapi aku keburu ngantuk. Malam ini aku capek sekali. Setelah cuci muka dan gosok gigi, aku kembali ke kamar, langsung naik ke ranjang memunggungi Attaya. Sebuah bantal guling jadi pembatas tidur kami.
"Beneran ini kita tidur seranjang?" Attaya mulai memasang wajah kesal lagi.
"Ya udah, kalau kamu gak mau tidur di ranjang, ya sono tidur di sofa. Gitu aja ribet, sih. Aku dah ngantuk nih, mau tidur." Heran ih, berurusan sama Attaya akhirnya selalu bertengkar.
"Ogah! Pegal tidur di sofa. Ya udah, kamu geser dikit tidurnya!"
Aku menggeser tubuhku ke sebelah kanan. Attaya berbaring di sebelah kiri.
Kulirik jam dinding yang terpasang di dinding kamar. Sudah jam 12 lebih sekarang, tapi mataku masih saja terpicing. Padahal, kantuk sudah menderaku sedari tadi. Tapi entah mengapa, mataku tak juga mau terpejam.
"Kamu dah tidur, Attaya?" tanyaku, dengan suara pelan. Siapa tahu, dia sudah terlelap sejak tadi.
"Belum."
Aku tersentak mendengar suara Attaya. Eh, ternyata dia belum tidur juga, sama sepertiku. "Mikirin apa, Atta?"
"Mikirin Valerie. Aku mengkhawatirkan keadaannya sekarang."
Aku terdiam mendengar jawaban Attaya. Of course, dia lagi mikirin Velerie-nya yang cantik jelita dan bertubuh seksi itu. Aku langsung merasa bersalah, karena merasa menjadi penyebab retaknya hubungan mereka saat ini. Gara-gara perjodohan sialan ini, aku jadi pihak ketiga yang menghancurkan hubungan Attaya dengan Valerie yang sudah terjalin selama setahun ini.
"So sorry, ya, Atta. Gara-gara aku, hubungan kalian jadi kacau."
Terdengar Attaya mendecak kasar. "Dah kubilang berkali-kali, ini semua bukan salahmu. Ini semua salah mamaku. Pakai ngejodohin kita segala."
"Iya. Padahal tadinya hidupku begitu nyaman di panti. Di rumahmu, aku merasa seperti orang asing, Atta."
"Entar lama-lama juga kamu akan terbiasa, Freya. Aku lagi mikir nih, gimana caranya ngejelasin ke Valerie tentang hubungan kita."
"Tenang, entar aku bantu. Pertemukan aja aku dengan kekasihmu itu."
"Jangan, ah. Valerie galak banget loh, entar habis kamu dicakarnya."
"Kamu pacaran sama manusia apa kucing sih, sebenarnya?" Aku tergelak pelan.
Ranjang bergerak, karena Attaya mendekatiku kemudian menoyor kepalaku. "Sembarangan aja kalau ngomong!"
Kemudian kami terdiam beberapa saat, sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Di tengah sunyinya suasana kamar, tiba-tiba terdengar bunyi kriuk dari perut Attaya.
"Kamu lapar, Atta?"
"Iya. Aku gak sempat makan tadi di pesta. Banyak minum doang. Habis diajakin ngobrol melulu sih sama saudara."
"Yuk, ke dapur. Aku juga lapar. Pingin bikin mie rebus yang pedas, sepedas mulutmu."
Lagi-lagi, Attaya menoyor kepalaku. Hobi amat sih noyorin kepala anak gadis orang, batinku. Eh, memangnya aku ini anaknya siapa? Kalau aku punya orang tua, ya gak mungkinlah aku terdampar di panti asuhan.
Sesampai di dapur, Attaya duduk di meja makan yang menyatu dengan dapur bersih. For your information, ada dua set meja makan di rumah besar ini. Satunya lagi di dekat ruang keluarga. Sebelum menikah, aku sudah pernah ke rumah ini, diajak mamanya Attaya tentunya. Masak iya masuk sendiri? Diusir dong entar sama Bik Asih--asisten rumah tangganya Attaya yang galak itu.
Dengan sigap, aku mengambil panci, mengisinya dengan air bersih dari keran. Sembari menunggu air mendidih, aku mengambil dua bungkus mie instan dari kitchen set. Juga dua butir telur, sayuran, loncang, cabai, seledri, sosis dan bakso ikan. Hmmm ... yummy!
"Banyak bener sih, campurannya," protes Attaya kemudian.
"Ini namanya mie rebus porsi orang kelaparan. Dah deh, diem aja. Yang penting entar kita kenyang." Kulihat Attaya hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuanku.
Tak berapa lama kemudian, mie rebus ala-ala itu dah siap disantap. Aku membaginya menjadi dua mangkuk besar.
"Gila. Mantap benar porsinya. Tapi kayaknya enak, nih." Attaya mulai menyendoki mie rebusnya.
"Enak, gak? Dah kutambai bumbu loh tadi." Aku meminta pendapatnya. Kalik aja buat dia gak enak, kan?
Kulihat Attaya menyeringai lebar. "Ini enak banget sumpah."
"Serius?"
"Iya, enak banget. Apa karena kita lagi kelaparan, ya, makanya jadi terasa begitu sedap?"
Aku ngakak mendengar ucapan Attaya. "Kayaknya yang terakhir deh yang bener."
Aku bangkit dari kursi, menyiapkan dua gelas berisi air es dingin untuk kami. Tak berapa lama, kami sudah menyelesaikan late supper kami. Tuntas tak bersisa. Bener-bener kek orang kelaparan beneran.
"Gak usah dicuci, Freya! Biar Bik Asih aja yang besok ngeberesin," sergah Attaya, saat aku menaruh piring dan panci kotor ke bak cuci piring.
"Oke, deh."
Kemudian aku dan Attaya kembali masuk ke kamar kami di lantai dua, membaringkan diri di ranjang king size milik Attaya. Perut kenyang, membuat kami langsung terlelap beberapa saat kemudian.
***
Aku tak tahu ini jam berapa, tapi kayaknya dah siang deh. Soalnya beberapa berkas cahaya terlihat memancar dari sela-sela korden dan ventilasi kamar. Kukerjapkan mataku beberapa kali. Duh, masih ngantuk benar rasanya. Baru aku sadar, kalau salah satu kaki Attaya nangkring dengan indah di atas pahaku. Tidur dah kek kuda kepang nih orang. Perlahan-lahan, kupindahkan kakinya dari pahaku. Setelah itu, kulirik jam dinding. Astaga, dah jam sembilan pagi ternyata. Duh, apa kata mamanya Attaya nanti, melihat menantunya bangun jam segini ....