Minggu pagi.
Aku bangun pukul setengah enam pagi. Membantu Bik Asih di dapur, lari di treadmill sebentar, kemudian mandi. Attaya masih tertidur pulas. Sepertinya, ia bekerja terlalu keras, sehingga kecapekan.
Setelah itu, aku menemani Mama sarapan.
"Habis ini, temani Mama duduk di teras ya, Freya?" ucap Mama, sambil bangkit dari kursi. Beliau sudah selesai sarapan, sementara aku belum.
Duduk mengobrol dengan Mama sangatlah menyenangkan.
"Hari ini Mama gak kemana-mana, ya?" tanyaku pada Mama yang tengah menyerutup kopinya.
Mama menggelengkan kepalanya. "Hari ini Mama mau di rumah aja. Emangnya si Atta gak ngajakin kamu jalan-jalan hari ini? Kemarin dia lembur sampai malam, kan?"
"Iya, Ma. Kemarin dia lembur, pulangnya pun jam sepuluh malam. Aku juga gak tahu dia ada rencana ke mana hari ini."
Ketika Mama hendak membuka mulutnya lagi, tiba-tiba terdengar suara Attaya membahana ke seluruh ruangan.
"Tuh, Atta memanggilmu. Sana naik, dia orangnya gak sabaran soalnya," perintah Mama padaku.
Gegas aku meninggalkan teras, lalu menaiki tangga cepat-cepat. Takut T-Rex keburu ngamuk.
"Apaan sih, teriak-teriak kek debt collector nagih utang?" Aku berkata dengan nada tinggi, sesampainya aku di kamar.
"Salahmu gak ada di kamar. Aku kan nyariin kamu."
"Memangnya kamu bayiku, sehingga aku harus selalu menungguimu?"
Attaya memelototkan matanya padaku. Ia paling sebal kalau aku membantah kata-katanya.
"Kamu jadi istri songong banget, sih. Gemas aku pingin menghukum kamu."
"Dihukum apaan? Kalau hukumannya menyenangkan, sih, aku mau. Diajak nge-mall misalnya. Atau diajak makan-makan di resto gitulah."
"Beneran kamu ingin tahu hukuman apa yang patut dijatuhkan buat kamu karena selalu membantah kata-kataku?"
"Iya, apaan?"
"Melumat bibirmu, sampai kamu megap-megap," ucap Attaya dengan tenang.
Aku bergidik seketika. "In your dream!"
Attaya tertawa mendengar ucapanku. "Freya, habis ini aku mau pergi, ya. Mungkin aku pulangnya sore. Aku mampir ke rumah Beryl soalnya."
"Aku gak diajak, ya?" tanyaku, dengan tampang memelas.
"Gak bisa, Freya, sorry. Aku akan menyelesaikan masalah dengan Valerie hari ini."
"Mmm ... apa kalian mau putus?"
Attaya menjawab pertanyaanku dengan nada tegas. "Gak ada jalan lain kecuali putus."
"Kamu yakin?"
"Berisik, ah, nanya melulu kamu, nih."
"Udah kan ngobrolnya? Kalau udah, aku mau turun."
"Gak boleh! Kamu nemenin aja aku di sini."
"Astaga, Atta. Bawel banget sih kamu jadi orang."
"Biarin lah. Kamu kan istriku, jadi ya menemaniku itu salah satu kewajibanmu."
"Baik, Paduka Yang Mulia, aku akan di sini menemanimu sampai kamu jadi mumi."
"Nah, gitu dong. Jadi istri tuh yang nurut."
Aku mencebikkan bibirku pada Attaya. Sementara ia hanya cengar-cengir saja.
"Aku mau mandi dulu, ya, Freya. Habis itu, temani aku sarapan," ujar Attaya kemudian.
Huh! Attaya dah benar-benar kek majikan aja. Harus dilayani sepanjang hari. Kutunggu dia selesai mandi, sambil menonton televisi di kamar.
15 menit kemudian, terdengar Attaya memanggilku dengan suara nyaring.
"Apa Atta?"
"Sini bentar!"
Gegas aku turun dari ranjang, kemudian menemui Attaya. Dia sudah selesai mandi rupanya.
"Freya, menurutmu aku harus pakai kemeja yang mana hari ini?"
Mataku membeliak seketika. Kirain mau disuruh apa gitu. Ternyata hanya disuruh milihin kemeja.
"Aku suka yg ini!" jawabku, sambil menunjuk kemeja panjang warna biru. Ketika aku menarik tanganku dari lemarinya, tak sengaja aku menabrak tubuh Attaya, yang saat ini hanya berbalut handuk sebatas pinggang saja. Uh, darahku langsung berdesir tak karuan. "Sorry, Atta. Salahmu pindah tempat gak bilang-bilang."
Attaya hanya cengengesan saja mendengar ucapanku. "Lalu, kenapa kamu memandangi tubuhku terus? Pingin ngelus-elus, ya?"
"Idih, GR!" Aku langsung membalikkan tubuhku, siap meninggalkan walk in closet. Namun aku kalah cepat. Attaya menarik tubuhku. Tubuh kami berdekatan, nyaris tanpa jarak. Jantungku mulai berdegup tak karuan. Kurasa, Attaya ingin mempermainkanku lagi.
Attaya mendorong tubuhku, hingga aku terdesak ke dinding. Aku berusaha meronta, tapi aku kalah tenaga. "Atta, kamu mau apa?"
"Hanya ingin menjalin hubungan yang intens denganmu, Freya," jawabnya, dengan suara parau. Duh, jangan-jangan Attaya dah horny nih. Aku semakin ketakutan. Tapi di sisi lain, aku malah menikmati sensasi ini.
"Kalau kamu bergerak terus, entar handukku jatuh, loh. Aku gak tanggungjawab kalau Mr P-ku mengamuk, menuntut dipuaskan."
Aku langsung terdiam membeku. "Atta, aku mau--"
Ucapanku terputus seketika, karena Attaya secepat kilat mengulum bibirku dengan bergairah. Attaya mengalungkan kedua tanganku ke lehernya. Sementara sebelah tangannya menahan kepalaku agar tidak terbentur dinding, dan tangan sebelahnya lagi berada di pinggangku.
Melihatku hanya membeku--tak membalas ciumannya--Attaya semakin memepet tubuhku. Bisa kurasakan kejantanan Attaya mengeras, menempel di tubuhku. Aku semakin deg-degan.
Melihatku megap-megap, Attaya melepaskan bibirku beberapa saat. Setelah memastikan aku mendapat cukup suplai oksigen, Attaya kembali melumat bibirku. "Buka bibirmu, Freya Sayang! Let me in."
Mendengar Attaya mengucapkan Sayang, refleks aku membuka bibirku. Bahkan sekarang, aku berani membalas ciumannya dengan hangat. Lidah Attaya menari-nari di mulutku. Tangan kanan Attaya kini menelusup di balik kaosku. Tangannya bergerak cepat melepas pengait bra-ku. Setelah itu, ia menyingkapkan kaosku ke atas, hingga kedua bukit kembarku menyembul bebas.
Aku memejamkan mataku, bibirku tak henti-hentinya mendesah dan mengerang, merespons Attaya yang kini tengah bermain-main dengan kedua bukit kembarku. Darahku sudah menggelegak sedari tadi. Gairahku terbakar. Apalagi, setelah handuk Attaya terjatuh dan terlihatlah kejantanan Attaya yang sudah mengembang sempurna.
Attaya membopongku ke ranjang. Ia membaringkan tubuhku dengan hati-hati. Setelah mengunci pintu kamar, ia melucuti pakaianku, kemudian meneruskan serangan-serangannya. Mendengar erangan dan desahanku, gairah Attaya semakin membara.
"Tahan sakitnya ya, Freya! Ini akan sedikit sakit," ucap Attaya lirih, di telingaku.
***
Tubuhku bersimbah keringat, napasku pun masih memburu. Kulihat, Attaya pun demikian. Wajah Attaya terlihat memerah. Tadi ia menelungkup beberapa lama di atas tubuhku, setelah kami bercinta untuk yang pertama kali. Organ intimku rasanya perih sekali, karena persenggamaan barusan. Kulihat ada noda merah di sprei kasur.
Attaya beringsut mendekatiku, lalu merengkuhku ke dalam pelukannya. "Apakah masih perih, Freya?"
Aku mengangguk pelan. "Ada noda darah di sprei kasurmu, Atta."
Attaya mengeratkan pelukannya padaku. "Itu karena kamu masih virgin, Sayang. Dan aku beruntung mendapatkanmu. Mulai saat ini, tubuhmu milikku Freya. Juga hatimu."
"Apakah itu artinya kamu sudah mencintaiku, Atta?"
Sekarang, gantian Attaya yang tersipu malu. "Sebenarnya, aku sudah menyukaimu sejak pertama kali kita tidur seranjang, Freya. Hanya, aku malu mengungkapkannya."
Aku tersenyum lebar mendengar ucapan Attaya. "Love you too, Atta. Aku jatuh cinta padamu, pada saat kamu mau berbaik hati mengantarkanku ke panti, dan membeli banyak sembako untuk panti. Tapi waktu itu kurasa tak mungkin aku bisa menaklukkan hatimu, karena kamu sudah punya Valerie."