Setelah berpakaian dan menyisir rapi rambutku, aku segera membuka pintu kamar, hendak turun ke bawah. Eh, di saat yang bersamaan, Attaya juga tengah membuka pintu kamar dari luar. Kami sama-sama kaget. Aku langsung menundukkan kepalaku--malu.
"Mau ke mana?" tanyanya lirih, sambil mengamati baju yang kupakai. Duh, emang ada yang salah dengan bajuku? Hari ini, aku memakai rok jins pendek dan kaos v-neck berwarna hitam polos. Biasa aja sih, roknya juga gak pendek-pendek amat kok. "Ada yang salah dengan bajuku?"
Attaya menggeleng pelan. "You look so beautiful, Freya."
Aku seperti merasa diguyur seember air es. Ces .... baru kali ini aku dipuji seorang lelaki. Duh, jadi makin meleleh aku sama Attaya. Iya, aku memang selemah itu.
"Eh, makasih," jawabku, sambil berjalan meninggalkannya cepat-cepat.
Aku bergegas turun menuruni tangga, menuju dapur. Aku ingin segera sarapan, perutku dah melilit sedari tadi.
"Selamat pagi, Bibik," sapaku pada Bik Asih yang sedang asyik mengelap meja kompor.
"Pagi, Freya. Kamu cantik sekali hari ini. Ayo sarapan, biar agak gemukan." Bik Asih mengambilkan piring untukku, kemudian mengisinya dengan nasi cukup banyak.
"Makasih, Bik." Aku menerima piring nasiku sambil tersenyum manis. "Memangnya, aku terlalu kurus ya, Bik?"
"Iya, soalnya untuk ukuran Indonesia, tubuhmu termasuk tinggi. Jadi, berat badanmu harus seimbang dengan tinggi tubuhmu, Freya," jelas Bik Asih panjang lebar. "Bibik tau, waktu di panti kemarin makanmu sangat terbatas, kan? Nah, sekarang makanlah sepuasmu, di sini dijamin kamu gak bakalan kelaparan.
"Iya, Bik, terima kasih banyak. Bibik baik sekali."
"Bibik kan juga punya anak perempuan, Freya. Bibik senang, Attaya mendapatkan gadis seperti kamu. Eh, Ngomong-ngomong, mana suamimu?"
"Lagi di kamar, Bik. Mandi kayaknya. Bentar lagi pasti turun. Dia kan gak tahan lapar, Bik," jawabku sambil tertawa.
"Ngomongin aku, ya?" Aku begitu terkejut, ketika tiba-tiba Attaya sudah berdiri di belakangku. Aku kok gak mendengar langkahnya ketika dia turun tangga, ya?
Aku langsung menundukkan kepalaku dalam-dalam karena malu yang teramat sangat. Bahkan saat ia duduk di kursi sebelahku, aku tak berani meliriknya sama sekali. Aku pura-pura sibuk menikmati sarapanku.
Setelah Bik Asih menyodorkan piring berisi nasi, Attaya mendorong piringnya ke dekatku. "Tolong ambilin laukku, dong."
Aku memberengut kesal. Masak sih, ngambil lauk aja minta diambilin? Padahal kan piring lauk sama sayurnya ada di depannya tuh. Dasar manja.
"Makasih. Cemberut melulu dari tadi. Kenapa sih, kamu?" Astaga, bisa-bisanya dia nanyain kayak gitu. Padahal tadi pagi dia dan aku, ah sudahlah.
Aku tak menjawabnya, hanya meliriknya sekilas saja. Tiba-tiba, Attaya mendekatiku lalu membisikkan sesuatu di telingaku, "Maaf, ya, aku khilaf tadi pagi."
Langsung kuinjak kakinya, sehingga dia menjerit kesakitan. "Astaga, kamu ganas sekali sih, Freya."
Aku diam saja, sambil memasang wajah jutek. Kulanjutkan sarapanku cepat-cepat. Setelah mancuci piring kotor, aku segera berjalan cepat-cepat melewati Attaya, hendak naik ke kamar.
"Eh, mau ke mana?" Attaya secepat kilat menarik tangan kananku.
"Lepasin, Attaya! Aku mau ke kamar," jeritku, sambil berusaha melepaskan tangannya. Bik Asih tersenyum geli melihat tingkah Attaya.
"Duduk lagi! Tungguin aku sarapan. Habis itu kita langsung belanja, terus langsung ke panti."
Mau tak mau, kuturuti perintah Attaya yang absurd itu. "Gak minta disuapin sekalian?"
"Good idea. Oke, Ayo suapain aku!" perintah Attaya kemudian. Aku shock seketika. Duh, senjata makan tuan.
Bik Asih menertawakanku. Attaya hanya mesam-mesem aja. Terpaksa, kusuapi dia sampai nasi dan lauknya habis.
"Yuk, ke kamar!" Attaya langsung menggandeng tanganku.
"Bentar, aku mau nyuci piring dan gelasmu dulu," sergahku, karena merasa tak enak pada Bik Asih.
"Bik, tolong cuciin piringku, ya. Makasih, Bibik Sayang." Attaya melempar cium jauh pada Bik Asih. Ah, dasar perayu. Ganjen.
"Lepasin tanganku! Aku bisa jalan sendiri, Atta! Emangnya aku balita apa?" Akhirnya, Attaya melepaskan tanganku dari genggamannya.
Sesampai di kamar, Attaya langsung duduk di kasur. "Sini, duduk!"
Aku menuruti perintahnya, duduk di sebelahnya, tetap jaga jarak sih, takut diusilin soalnya.
"Kenapa duduk jauh-jauh gitu, sih? Takut amat sama aku. Aku normal, Non. Kalau tadi pagi, kuakui aku lagi mabuk. Maafin aku, yah."
"Iya," jawabku dengan nada lirih.
"Dah tau mabuk, kenapa kamu malah merespons sih, bukannya malah kabur?"
"Kabur gimana? Orang kamu mengunci tubuhku."
"Terus, kenapa kamu malah membalasku?"
Aku semakin menundukkan kepalaku. Kurasakan, rona merah mulai menjalari pipiku.
"Freya ...." Atta memanggilku, sambil memegang daguku. Begitu tersentuh Attaya, seketika darahku langsung menggelegak. Tubuhku terasa panas dingin. Jantungku berdegup kencang. Keringat dingin mulai muncul di dahiku.
"A-aku tak tau, Atta. Aku kayak tersihir. Aku gak sadar apa yang kulakukan."
Attaya tersenyum manis. "Tapi aku suka kok, kamu ternyata hot juga."
"Atta!"
Ia tertawa ngakak, karena berhasil menggodaku. "Yuk, berangkat sekarang. Biar siang dah di rumah, ngantuk aku pingin tiduran lagi."
Aku langsung beranjak dari ranjang, lalu mengambil tas kecil bulukku. Kumasukkan dompet kosongku dan ponselku ke dalam tas.
"Kenapa pas di mall kemarin kamu gak beli tas sama sepatu sekalian?" komentar Attaya, setelah melihat tas dan sepatu yang kukenakan.
"Lupa."
"Ya udah, nanti kita mampir ke toko, sekalian beli tas sama sepatumu, deh."
Aku mengangguk cepat, mengiakan ucapannya. Hore, belanja lagi.
Setelah menempuh beberapa lama, Attaya memarkirkan mobilnya di depan sebuah minimarket. Kemudian kami masuk, dan memilih-milih barang yang mau kami beli. 30 kg beras, 5 kg gula pasir, 10 kotak teh celup, 6 liter minyak goreng, dan berbagai macam camilan sudah memenuhi trolly kami. Seorang pramuniaga minimarket, membantu Attaya mendorong trolly hingga ke kasir. Ia juga membantu Attaya membawakan semua belanjaan ke bagasi mobil. Tentu saja, Attaya memberikan tip lumayan padanya.
"Makasih, ya, Attaya. It means a lot," ucapku pada Attaya, setelah kami masuk ke mobil.
Ia hanya mengangguk seraya tersenyum manis. Tak berapa lama kemudian, kami sudah memasuki halaman panti. Duh, kangen benar aku sama tempat ini. Padahal baru tiga hari aku meninggalkannya.
"Freya! Ya ampun, Nak." Begitu melihat kedatanganku, Bu Ratri langsung memelukku. "Kamu sehat, Nak?"
Aku mengangguk cepat, kuciumi kedua pipinya yang keriput. Atta maju, kemudian menjabat tangan Bu Ratri dengan sopan. Setelah itu, Attaya bergegas membuka bagasi mobil, lalu mengeluarkan barang bawaan kami. Bu Ratri memanggil beberapa penghuni panti untuk membantu Attaya.
"Terima kasih banyak, ya, Mas Attaya, atas semua kebaikanmu. Semoga rumah tangga kalian selalu dilimpahi kebahagiaan." Bu Ratri mendoakan kami dengan mata berkaca-kaca. Aku dan Attaya saling berpandangan, kemudian kami tersenyum bersamaan.
Dua jam kemudian, Attaya mengajakku pulang. Setelah berpamitan dengan semua penghuni panti, kami pun pergi.