Attaya menatap Beryl dan aku bergantian. Sepertinya ia mencurigai kami.
"Kenapa kalian hanya diam? Bicaralah!" Attaya berkata sambil bersedekap.
Aku langsung bangkit dari kursiku.
"Eh, kamu mau ke mana, Freya?" tanya Attaya lagi.
"Mau ke atas. Beryl mau ngomongin tentang kekasihmu--si Valerie. Jadi, buat apa aku duduk di sini bersama kalian? Lagipula, itu bukan urusanku, kan?"
"Duduk lagi, Freya! Kamu boleh mendengarkan pembicaraan kami!" perintah Attaya padaku.
"Gak perlu, Atta. Aku mau ke kamar aja. Aku gak mau tau segala urusanmu dengan Valerie." Aku masih bersikukuh dengan keputusanku.
Attaya menangkap pinggangku, saat aku melintas di depannya--hendak masuk ke kamar.
Ia menarik tubuhku, memaksaku untuk duduk di sampingnya. Ia bahkan merangkulku erat dengan sebelah tangannya, takut aku melarikan diri.
"Lepasin tangannya! Gak enak tuh ada Beryl," bisikku tepat di telinganya.
"Gak papa. Sama dia mah santai aja. Dia tahu semua hal tentangku. Aku juga tahu semua hal tentangnya. Iya, kan, Ryl?" Attaya berkata dengan santai.
Setelah itu, Beryl menceritakan apa yang ia ketahui tentang Valerie, tanpa ditambah ataupun dikurangi. Persis seperti apa yang ia ceritakan padaku tadi. Kulirik wajah Attaya sekilas. Raut wajahnya memancarkan kekecewaan yang teramat sangat. Aku iba padanya. Kuraih jemarinya, kemudian kugenggam erat. Aku hanya ingin memberinya spirit, agar ia tidak depresi setelah ini.
Untuk beberapa saat, kami bertiga terdiam. Aku memanfaatkan hal ini untuk meninggalkan ruang tamu.
"Heh, mau ke mana, sih?" hardik Attaya, melihatku bangkit dari kursi.
"Bentar doang, cuma mau pipis kok."
"Kalau udah langsung ke sini lagi, ya!"
"Oke," jawabku cepat.
Ketika aku baru sampai di ujung tangga atas, sayup-sayup kudengar Attaya dan Beryl bercakap-cakap lagi.
"Freya cantik banget ternyata, Bro. Gak rugilah kamu dijodohin mamamu!" puji Beryl di depan Attaya.
Sayangnya, aku tak bisa melihat ekspresi Attaya, saat Beryl berkata demikian.
"Tapi aku belum mencintainya, Bro." Terdengar Attaya menjawab komentar Beryl.
"Ah, entar lama-lama juga kamu jatuh cinta sama dia. Kalau sampai enggak, ya kebangetan banget lah."
"Berarti kalian belum mantap-mantap, ya? Duh, bodoh benar sih, kamu. Cewek secantik dan seseksi itu dianggurin. Ya udah, gini aja, Freya buat aku aja. Kayaknya selain periang, humoris, dia lembut dan baik hati deh. Aku paling suka lihat cewek kayak dia. Kalem," lanjut Beryl. Mendengar pujian Beryl, pipiku langsung tersipu-sipu.
"Heh! Yang kamu puji itu istriku, tau! Masak istri sohibmu sendiri mau diembat? Tega kamu, ya!"
"Pokoknya kalau kamu sampai gak jatuh cinta sama dia, bodoh kuadrat namanya. Berlian di depan mata masak gak nampak sih?"
"Udah ... udah, jangan ngomongin istriku lagi. Ryl, kayaknya emang udah saatnya deh, aku mengakhiri hubunganku sama Valerie." Terdengar Attaya menghela napas berat.
"Itu sih terserah kamu aja. Tapi jelas bodoh sih, kalau tahu dah dikhianatin berulang-ulang masih aja memaafkan dan menerima. Tapi cinta kan buta, ya, Atta?"
"Kamu nyindir aku ya?" balas Atta.
Beryl tertawa ngakak. Aku melanjutkan perjalananku menuju kamar. Sesampai kamar, kubaringkan tubuhku. Kurenungkan kata-kata Beryl tadi. Mendadak, pipiku jadi memerah. Tuh, si Beryl aja sadar kalau aku cantik, kalem, baik. Eh, si Dodol Attaya gak sadar-sadar. Rabun ayam kalik, ya.
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tapi Beryl dan Attaya sepertinya masih asyik ngobrol. Ketika aku tengah asyik menonton TV untuk mengusir bosan, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Attaya lah, siapa lagi kalau bukan dia?
"Kamu tadi pamitnya pipis doang, kan? Jadi tadi kamu pipis di mana, kok bisa ampe dua jam gak turun-turun? Pipis di Antartika sana, emangnya?" omel Attaya, sambil berkacak pinggang.
"Aku males ah gabung sama kalian. Beryl kan temanmu. Entar aku gak nyambung dengan apa yang kalian bicarakan. Aku takut malu-maluin kamu, Atta!"
"Bullshit, ah! Ayo turun! Beryl dah mau pulang, tuh."
"Ogah, ah. Titip salam aja, ya!" Aku tetap bersikukuh, untuk tidak turun menemui Beryl.
"Beneran nih, kamu gak mau turun?"
Aku mengangguk mantap. Tiba-tiba, Attaya membungkukkan tubuhnya, lalu menggendong tubuhku dengan mudahnya.
"Turunin, Atta!" jeritku panik. Gila benar nih orang.
Attaya tak menjawabku, dia hanya menyeringai saja.
"Jangan berontak, Freya! Aku lagi menuruni tangga, nih. Entar kamu jatuh." Attaya memberiku peringatan.
Sontak tanganku memeluk Attaya erat-erat. Attaya terkekeh melihatku panik begitu rupa. Sesampai di ruang tamu, barulah dia menurunkanku. Duh, malu benar aku sama Beryl.
"Tuh, kelakuan istri idaman. Kalau gak digendong, dia gak mau turun," cerocos Attaya di depan Beryl. Beryl sendiri hanya cengar-cengir mendengar ocehan Attaya.
"Aku pulang dulu, ya, Freya. Lain kali aku ke sini lagi. Aku pingin ngobrol denganmu lebih lama," ucap Beryl padaku.
"Harus seizinku, tau!" Attaya meradang. Beryl terkekeh pelan.
Aku mengulurkan tanganku, menjabat tangan Beryl dengan erat. "Sementara ini, aku di rumah terus kok. Kamu bisa main kapan saja. Aku senang ada teman ngobrol. Aku kesepian di rumah ini."
"Heh! Biacara apa kamu? Ucapanmu itu seolah-olah aku gak pernah ngajakin kamu ngobrol aja."
Aku tak menanggapi ucapan Attaya, males. Entar buntutnya malah bertengkar doang.
***
Setelah Beryl pulang, aku dan Attaya masuk ke kamar. Kami berbaring berduaan sambil menonton televisi.
"Kamu kok gak sedih sih, Atta?" Aku memulai pembicaraan.
"Kenapa harus sedih?"
"Kamu kan lagi ada masalah dengan Valerie," pancingku. Mendengar nama Valerie disebut, wajah Attaya berubah menjadi muram.
"Please deh, jangan sebut namanya lagi. Bikin bad mood."
"Oh, oke," jawabku singkat.
"Kamu kenapa menatapku dengan tatapan setajam kampak gitu? Ada yang salah denganku, ya?" lanjutku, dengan raut wajah penasaran.
"Gak ada. Aku baru ngeh sekarang, kalau rambutmu baru. Wajahmu juga tampak lebih segar sekarang." Attaya masih menatapku, dengan pandangan yang sulit kuartikan.
"Bagus gak rambutku?"
"Bagus. Kamu jadi tambah cantik."
Mendengar pujian yang keluar dari mulut Attaya, hatiku rasanya berbunga-bunga.
"Kamu gak pingin menghiburku memangnya?"
"Boleh, deh. Caranya gimana?"
"Pijitin aku sampai aku tertidur, ya!"
"Loh, kamu kan belum makan malam, Atta."
"Aku lagi gak nafsu makan. Males. Ayo, pijitin!" Attaya mengulangi perintahnya sekali lagi.
"Baik, Tuan. Cepetan tengkurep!"
Attaya langsung menengkurapkan tubuhnya. Baru saja aku duduk di punggungnya, Attaya kemudian berteriak. "Eh, ngapain duduk di punggungku?"
"Ini posisi terenak mijit, tau! Kalau kayak yang tadi sore tuh, badanku malah jadi pegal habis mijitin kamu. Mau gak nih? Kalau gak mau ya udah, aku mau turun. Dah lapar aku."
"Iya, deh. Tapi kamu jangan banyak bergerak ya, Freya!"
"Terus aku mijitinnya gimana, kalau gak boleh bergerak? Emangnya kenapa, sih?"
"Kalau kamu bergerak terus, itu sama aja kamu membangkitkan Mr. P-ku, Dodol! Kalau Mr. P-ku bangun, memangnya kamu mau tanggungjawab?"
Sontak aku langsung turun dari punggung Attaya. Aku ketakutan.