"Are you happy now, Freya?" tanya Attaya, saat kami sudah berada dalam mobil.
Aku mengangguk, seraya tersenyum manis. "Makasih, ya, Atta."
"My pleasure, Freya." Attaya menjawab, tanpa mengalihkan pandangannya dari belakang kemudi. "Sekarang kamu pingin ke mana, Freya?"
Aku mengendikkan bahuku. "Terserah kamu aja, deh. Bawa aku ke mana aja, Tuan! Asal jangan ke alam ghaib aja deh."
Attaya ngakak mendengar jawabanku. Oh, God, he looks so sexy kalau lagi tertawa.
"Sedang mengagumi ketampananku, Nona Freya?" Suara Attaya mengagetkanku. Astaga, sedari tadi aku menatap wajahnya dari samping ternyata. Oh, malunya tertangkap basah seperti ini. Aku langsung berpaling darinya, dan mengarahkan pandanganku ke depan.
"Mau ke mana, sih ini?" tanyaku, setelah menempuh perjalanan beberapa lama.
"Ke taman Badaan, lihat orang-orang mengasuh anaknya, sambil makan bakso kerikil dan es jeruk. Mau, kan?"
"Yes! Mau banget." Aku menjawab dengan antusias.
Beberapa menit kemudian, kami pun tiba di tempat yang kami tuju. Setelah memarkirkan mobil, Attaya menggandeng tanganku, kemudian membimbingku duduk di bawah pohon yang rindang. Attaya kemudian memesan dua mangkuk bakso dan dua gelas es jeruk.
"Siang-siang gini, pengunjung kok ya tetap ramai, ya, Atta?" tanyaku kemudian, sambil menikmati bakso kecil-kecil yang sangat lezat ini.
"Ramai lagi kalau dah mulai sore. Taman penuh sama balita dan anak-anak kecil. Lihat anak kecil, jadi pingin punya anak deh, aku."
"Ya sanalah bikin. Kamu kan punya Valerie," ucapku agak emosi. Eh, kenapa tiba-tiba aku merasa marah saat menyebut Valerie, ya? Padahal aku belum pernah bertemu dengannya, hanya pernah melihat sekilas di ponsel Attaya.
Mendengar nama Valerie disebut, Attaya jadi merenung. Entah apa yang tengah ia pikirkan. Mungkin ia merindukan gadis itu.
"Atta, besok kamu mulai ngantor, kan?" Aku berusaha memecah keheningan di antara kami.
Attaya mengangguk perlahan. Matanya menatap mataku lurus, membuatku menjadi salah tingkah. "Ada apa, Atta?" Ada yang salah denganku?"
"Gak ada. Tetiba aku ingat, kalau selama ini aku belum pernah nongkrong di sini dengan Valerie."
"Kenapa?"
"Dia gak mau nongkrong di tempat-tempat terbuka. Dia lebih suka nongkrong di kafe."
Aku manggut-manggut, kemudian bertanya padanya, "Kamu lagi merindukan dia, ya?"
Attaya menggeleng cepat. "Kenapa nanya gitu?"
"Soalnya wajahmu sedih gitu. Kirain kamu lagi merindukan dia. Habis ini, anterin aku pulang! Setelah itu kamu bisa menemui Valerie-mu itu."
"Dih, ngatur-ngatur! Habis ini aku mo pulang, gak mau kemana-mana lagi. Aku mau minta imbalan atas apa yang kulakukan hari ini."
Waduh! Rasa khawatir langsung menyergapku. "Kamu minta imbalan apa? Jangan yang aneh-aneh, loh."
"Kalau yang kayak tadi pagi itu, boleh, gak?" Attaya mengedipkan sebelah matanya padaku.
Langsung kuinjak kaki kanannya. Attaya pun mengaduh kesakitan. Wajahku merah padam, menahan rasa malu yang teramat sangat.
"Astaga! Galak benar sih, kamu, Freya. Bercanda doang, keleus!"
Aku meneruskan makan bakso dengan kepala menunduk, tanpa berani mendongakkan kepalaku, apalagi memandang wajah Attaya.
"Entar sampai rumah, pijitin aku, ya!" ucap Attaya kemudian.
"Gak pakai plus-plus, kan?"
"Kalau kamu mau, sih, aku senang bangetlah pastinya," jawab Attaya berapi-api.
Aku mencebikkan bibirku padanya. Setelah kenyang dan puas duduk-duduk, tepat pukul satu siang, Attaya mengajakku pulang.
Begitu membuka pintu utama, rumah terasa sepi. Mobil Mama gak ada di garasi, mungkin beliau lagi pergi. Aku langsung menuju lantai atas. Attaya berada tepat di belakangku.
Sesampai di kamar, aku langsung membanting tubuhku ke ranjang. Uh, nikmatnya. Attaya menuju kamar mandi, kemudian menyusulku berbaring. Aku panik, saat melihatnya membuka kaosnya. "Mau apa?"
"Katanya mau mijitin. Gimana sih?"
"Kenapa harus buka baju? Kan bisa tuh, dipijit tanpa buka baju," kilahku, sambil menempatkan diri, bersiap memijit Attaya.
"Gak usah kebanyakan protes, deh. Pokoknya pijitin terus, sampai aku tertidur. Oke?"
"Iya ... iya. Bawel ih, jadi laki." Aku memulai memijit tubuh Attaya. Kumulai dari pundak, punggung, lalu ke bawah secara teratur. Beberapa menit berlalu, peluh mulai mengalir dari pelipisku. Aku merasa gerah, padahal AC sudah dinyalakan sedari tadi. Namun, demi menepati janjiku pada Attaya, aku tetap melanjutkan pijitanku. Tak beberapa lama kemudian, Attaya pun tertidur nyenyak. Aku bisa mendengar tarikan napasnya yang sangat teratur.
Kusudahi acara memijit, kemudian aku membaringkan tubuhku lagi, dan langsung memejamkan mata. Siang ini, benar-benar melelahkan.
Aku tak tahu berapa lama aku tertidur, saat kubuka mataku, terlihat Attaya sudah nampak segar dengan rambut setengah basah. Habis mandi ia rupanya.
"Selamat sore, Putri Tidur," sapa Attaya padaku. Aku hanya meringis, sambil menggeliatkan tubuhku. Ah, malas bangun rasanya.
Attaya duduk di ranjang, kemudian menyalakan TV di kamar. "Kamu gak pingin mandi sore, apa?"
"Emangnya jam berapa sih, sekarang?"
"Jam setengah empat, Freya."
"Bentar ah, aku masih ngantuk." Kutarik selimutku lagi, lalu kembali memejamkan mataku. Padahal aku dah gak ngantuk sebenarnya, hanya masih ingin bermalas-malasan aja.
"Mau ke mana, Atta?" tanyaku, ketika melihat Attaya bangkit dari ranjang.
"Eh, kirain kamu beneran tidur lagi. Ini, aku mau ambil cemilan di bawah. Kamu pingin diambilin apa, biar sekalian kuambilin. Itung-itung balas budi, karena kamu dah bikin badanku enak tadi. Pijatanmu enak loh, Freya. Aku mau lah dipijitin tiap hari," cerocos Attaya sambil memandangku.
Kurasakan pipiku menghangat, sepertinya aku tengah tersipu-sipu, mendengar Attaya memuji pijatanku. "Boleh aja aku mijitin kamu, asal kamu bersikap manis terus sama aku."
"Bersikap manis tuh yang kayak apa? Bukannya aku memang selalu begitu tiap hari, ya?"
"Jangan sok pede gitu, ah. Kita sekamar baru beberapa hari doang. Sifat aslimu belum terlihat jelas. Bisa aja kan, aslinya kamu itu jahat?"
"Ih, sembarangan aja kalau bicara. Kalau aku jahat, sejak malam pertama kamu di sini, dah aku unboxing kamu, Freya. Toh, kamu dah resmi jadi istriku, Dan aku berhak meminta apa yang menjadi hakku. Tapi aku gak gitu kan, kenyataannya?"
"Astaga, Attaya! Aku hanya bercanda, ah. Sensi amat sih, kamu."
Attaya tersenyum masam, mendengar jawabanku. Ia kemudian keluar kamar dan turun ke lantai satu. Tak berapa lama kemudian, ia menenteng sebungkus kacang atom, sebungkus kacang kulit, sebungkus keripik kentang, dan sebungkus keripik tempe. Aku melongo ketika Attaya menaruh snack-snack itu di kasur.
"Kamu niat amat sih ngemilnya. Bagi dong!" Aku langsung merangsek ke dekat Attaya, lalu membuka keripik kenyang kesukaanku. Aku duduk menyandar di kepala ranjang dengan santai, sambil mengemil dan menonton TV. Aku sontak terkejut, ketika tiba-tiba Attaya merebahkan kepalanya di pahaku.
"Numpang, ya. Empuk nih, kayaknya," ujar Attaya dengan cueknya.
Aku terdiam, gak tau harus gimana. Jantungku mulai berdebar-debar tak karuan. Entahlah, setiap terjadi kontak tubuh dengannya, aku selalu merasa nervous begini.
"Kan ada bantal, tuh," kilahku, masih dengan perasaan grogi yang teramat sangat.