"Ayo dong, bayar kebaikanku!" ucap Attaya, ketika kami sudah berada dalam mobil, di parkiran mall.
"Kamu serius, Atta?" Kutatap wajahnya yang cengar-cengir melulu itu.
"Serius, lah. Masak enggak?"
Aku terdiam beberapa saat. Oke, fine, demi anak-anak di panti, aku akan cium dia sekarang. Lagi pula, cuma cium doang kan, bukannya yang lain. Walaupun yang lain itu aku aslinya juga kepingin, sih. Dibeliin baju lagi maksudku, loh.
"Aku masih nunggu, loh." Suara Attaya mengagetkanku. Kemudian aku beringsut mendekatinya.
"Merem dong, Atta!"
Ia langsung memejamkan matanya. Tapi kulihat bibirnya tersenyum aneh. Pasti dia hanya ngerjain aku nih.
'Cup'
Kukecup bibir Attaya secepat kilat. Attaya tertawa ngakak. Tuh kan bener, dia cuma ngerjain aku doang.
"Itu namanya mengecup, Non, bukan mencium."
"Ya udahlah, kamu aja yang cium aku. Aku gak ngerti sih. Lagian kamu pasti cuma--"
Ucapanku terputus, karena tiba-tiba saja Attaya melumat bibirku. Kedua tangannya menahan kepalaku. Aku seperti tersihir. Diam begitu saja, bahkan sepertinya aku malah menikamati ciuman Attaya. Bibir Attaya terus melumat bibirku. Ia terus mendesakku. Mau tak mau, aku membuka bibirku, membiarkan bibirnya memasuki mulutku. Oh, Tuhan, tubuhku rasanya membara. Tubuhku dipenuhi gelenyar aneh yang membuatku terbang ke angkasa.
Ketika Attaya menarik bibirnya, aku langsung memalingkan wajahku. Duh, malunya sampai ubun-ubun.
"Kamu belum pernah berciuman ya, ternyata," ujar Attaya, sambil menyalakan mesin mobil.
"Kan dah kubilangin, aku belum pernah pacaran, Atta."
"Padahal kamu begitu cantik."
Hah? Apa dia bilang, aku cantik?
"Katamu aku kumal."
"Iya, kumal tapi cantik. Dan kamu gak sadar kalau kamu tuh sebenarnya cantik dan menarik."
"Jangan bikin aku GR, Atta."
"Aku jujur loh. Bukannya lagi ngegombalin kamu. Gak rugi-rugi amatlah dapet istri kamu."
Aku langsung memasang wajah cemberut. Emang nyebelin nih orang, kalau ngomong sekata-kata aja.
"Atta, kamu gak merasa bersalah sama Valerie karna barusan menciumku?"
"Enggak. Barusan kan aku hanya main-main sama kamu."
"Oh, main-main, ya?" Tunggu Atta, kubalas entar kamu. Emang kamu doang yang bisa main-main?
Aku menoleh ke jok belakang yang penuh dengan belanjaanku. Entah berapa kantong tuh. Dua orang pramuniaga tadi membantu kami membawakan barang belanjaan sampai di parkiran. Tentu saja, Attaya memberikan uang tip untuk mereka berdua, juga buat Mbak Pramuniaga Cantik yang tadi membantuku memilih-milih baju itu. Kuakui, Attaya memang murah hati--gak pelit. Pantesan Valerie betah jadi pacarnya.
"Kenapa tadi milih ponsel yang biasa aja?" tanya Attaya kemudian.
"Buat apa beli ponsel mahal-mahal, gak buat bisnis atau sesuatu yang penting banget ini kok. Harga segitu pun bagiku dah tinggi banget loh."
Attaya hanya tersenyum mendengar jawabanku. "Kita mampir ke resto favoritku dulu, ya. Dah laper banget aku."
"Oke, terserah kamu aja."
Tak berapa lama kemudian, Atta membelokkan mobilnya di sebuah restoran. Ia memilih meja lesehan di ujung. Setelah memesan menu, Attaya mengajakku mencuci tangan di wastafel terlebih dahulu.
Begitu hidangan datang, kami menyikat semuanya dengan lahap. Kami sama-sama kelaparan. Melihat selera makanku yang luar biasa, Attaya tak mampu menahan mulutnya untuk tidak meledekku. "Mau nyangkul sawah, Non? Makan segitu banyaknya bisa habis, wei. Luar biasa ...."
"Biarin. Aku laper banget, sih. Mana enak-enak lagi makanannya."
"Pingin pesan sesuatu untuk dibawa pulang?"
"Gak usah. Di rumah pasti ada masakannya Bik Asih."
Setelah kelar makan siang, kami pun beranjak pulang. Sesampai di rumah, aku turun duluan ngebukain pagar untuk Attaya.
"Wah, beli apa aja tuh, banyak bener, Freya," komentar mama mertuaku, ketika kami lewat ruang tengah. Beliau tengah tiduran di sofa ruang tengah, sambil menonton film.
"Beli baju buat Freya, Ma. Kasihan Freya, bajunya dikit banget."
Mama terlihat manggut-manggut.
"Permisi ya, Ma, kami mau naik dulu," pamitku pada beliau. Beliau mengangguk seraya tersenyum. Aku kagum sama beliau, dah berumur lima puluh tahun tapi masih saja cantik. Kulit wajahnya terlihat masih kencang, bersih tanpa vlek. Bener kata orang, money talks.
Dalam setahun ini, beliau beberapa kali mengunjungi panti bersama komunitasnya.
Aku beberapa kali mengobrol dengan beliau. Orangnya ramah sekali. Beliau bilang suka sekali ngobrol sama aku, karena pembawaanku riang dan ceria. Beliau juga suka dengan gaya bicaraku yang ceplas-ceplos. Ketika beliau bilang pingin ngejodohin anak lelakinya denganku, kukira beliau hanya bercanda. Ketika seminggu kemudian beliau mengenalkan anak lelakinya padaku, aku grogi bukan main. Ganteng banget orangnya, ya si Attaya itu, emang siapa lagi. Orang dia anak tunggal Nyonya Bramantya.
Terus terang, waktu itu aku gak begitu suka sama Attaya. Dia memasang wajah jutek waktu dikenalin sama aku. Sikapnya kek sombong gitu deh, nyebelin banget pokoknya. Aku menolak dong, waktu Nyonya Bramantya nanyain aku mau gak nikah sama Attaya. Dah lah gak kenal, orangnya songong gitu, males banget kan? Tapi Nyonya Bramantya meyakinkanku, kalau Attaya tuh orangnya aslinya ramah, baik, penyayang, lucu gitu. Dia sengaja bersikap nyebelin, biar aku menolak perjodohan itu. Bu Ratri--pengurus panti--juga ikut-ikutan melunakkan hatiku. Bu Ratri bilang, ini adalah kesempatan besar dalam hidupku untuk mengubah nasib.
Kapan lagi coba ada orang kaya yang mau menjodohkan anaknya pada gadis kumal sepertiku yang sedari bayi tinggal di panti seperti ini. Kupikir benar juga sih pendapat Bu Ratri. Perkara cinta mah pikir belakangan aja. Entar lama-lama cinta juga akhirnya. Ya, kan? Gitu deh, akhirnya aku dah jadi istrinya Attaya sekarang. Kemarin malam adalah pesta pernikahan kami yang diadakan dihadiri oleh orang terdekat saja.
"Duh, capeknya," keluh Attaya sambil membaringkan tubuhnya di ranjang.
Kulirik dia sekilas. "Sepatunya dilepas dulu, dong Atta!"
"Males, ah. Capek aku."
Mendengar jawabannya, kutinggalkan sejenak kegiatanku menata barang-barang yang tadi kubeli. Kudekati dia, kubukakan sepatunya dengan hati-hati.
"Makasih," cicitnya. "Freya, tata barang-barangmu di lemari yang ada di walk in closet, ya. Aku dah kosongkan sebuah lemari di sana."
Aku menganggukkan kepalaku sambil tersenyum, kemudian menjinjing sepatu Attaya dan menaruhnya di rak sepatu yang ada di walk in closet. Nih orang gak hanya bajunya yang banyak, sepatu, ikat linggang, dasi, kaos kaki, semua serba banyak. Dah persis toko aja.
Aku segera menyeret kantong belanjaku yang bejibun itu, lalu menyusunnya di lemari besar yang sudah disiapkan Atta. Tas kumal yang kubawa dari panti itu kubawa ke bawah bersama kantong-kantong belanja yang sekarang dah kosong. Kutaruh semuanya di gudang di bawah tangga. Kemudian aku naik ke atas, masuk lagi ke kamarku. Kubuka dus ponsel baruku yang tadi dibelikan Attaya. Kukeluarkan ponsel, rubber case, dan chargernya. Kubuka ponselku, kukeluarkan sim card-nya lalu kupasang di ponsel baruku. Setelah terbaca, kumatikan lagi ponselku kemudian ku-charge di atas nakas.
Melihat Attaya yang tertidur nyenyak, aku juga ikutan mengantuk. Memang benar kata Attaya, capek belanja muter-muter. Mana kekenyangan lagi. Kurebahkan tubuhku pelan-pelan di samping Attaya. Tak lama kemudian, aku pun tertidur lelap ....