Chereads / Crazy Thing Called Love / Chapter 8 - Cumbuan Pertama dari Attaya

Chapter 8 - Cumbuan Pertama dari Attaya

Aku langsung menjauh darinya, kembali berbaring di karpet tebal. Sebuah bantal besar menjadi alas kepalaku. Sekilas kulirik Attaya, ia masih asyik minum red wine. Terserahlah, lakukan saja maumu. Toh aku bukan siapa-siapamu, ujarku dalam hati.

Entah berapa lama aku tertidur, tau-tau Attaya menubruk tubuhku begitu saja. Duh, dia dah mabuk beneran nih pasti. Dengan disertai rasa kantuk yang mendera, kudorong tubuh Attaya agar turun dari tubuhku. Akhirnya, setelah bersusah payah, aku berhasil menurunkan tubuh Attaya dari atas tubuhku. Untung tubuhnya lemas, coba kalau dia meliar gitu.

Bau menusuk menguar dari mulut Attaya. Ah, iya, bau red wine yang ia minum. Kuraih tombol remote TV, kupencet tombol power untuk mematikan TV. Aku bermaksud hendak masuk ke kamar tidur. Tapi bagaimana dengan Attaya? Masak sih mau ditinggalkan begitu saja? Nanti kalau dia melakukan hal-hal yang bisa mencelakakan dirinya, bagaimana?

Untuk beberapa saat, aku berpikir sejenak. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengajaknya masuk ke kamar tidur. Nanti aku akan bantu memapah tubuhnya. "Attaya, masuk ke kamar, yuk."

Attaya hanya menggeliat sedikit. Kurasa, ia sudah kesulitan menegakkan tubuhnya sendiri. Ia sudah benar-benar mabuk.

"Ayo bangun, Attaya!" Kutowel tubuhnya beberapa kali.

Kulihat ia membuka matanya sedikit. Sesaat kemudian, ia sudah menarikku ke dalam pelukannya. Ia langsung mengunci tubuhku dengan kedua kakinya. Kedua tangannya memeluk tubuhku dengan erat. Duh, engapnya.

"Anteng, Freya! Temani aku tidur di sini!" cicit Attaya, dengan suara diseret-seret, khas orang mabuk.

Aku menghela napas kasar. Ya sudahlah, aku ngalah aja. Yang penting aku gak diapa-apain. Kukira aku akan langsung tertidur, tapi nyatanya mataku malah tak mampu terpejam sedikitpun. Bagaimana tidak? Tubuhku rasanya panas dingin berada dalam pelukan Attaya. Beberapa bagian tubuh kami bahkan menempel. Tangan Attaya bergelung di perutku. Bergerak sedikit saja, pasti tangannya akan menyenggol bukit kembarku.

Tubuhku semakin terasa panas dingin. Aku merasa terbakar. Hasratku menggeliat. Deru napas Attaya terdengar menderu di telingaku. Embusan napasnya menyapu leher bagian belakangku dengan hangat. Oh Tuhan, rasanya aku semakin gak karuan.

"Attaya, lepasin dong. Gak usah dipeluk, aku janji akan berbaring di sini menemanimu," desisku. Kuharap Attaya mendengar permintaanku dan mengabulkannya.

Attaya tak menjawab, ia hanya mengeluarkan sedikit geraman. Wah, gagal nih. Aku berpikir keras, bagaimana cara melepaskan diri dari pelukan Attaya. Kugerakkan tubuhku sedikit-sedikit, agar pelukan Attaya melonggar.

"Kamu mau merangsang birahiku, ya?" Mendengar ucapan Attaya tersebut, serta-merta aku menghentikan gerakanku. Oh iya, tubuh kami kan menempel. Semakin aku bergerak, akan semakin gawat jadinya. Ya sudahlah, aku akan berusaha memejamkan mataku, dan menghiraukan yang lainnya.

***

Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kaca besar begitu menyilaukan mataku. Kulihat tangan Attaya sudah tak memelukku lagi. Kedua kakinya pun sudah terlepas dari tubuhku--tak lagi menjepit tubuhku lagi. Aku mendesah lega, karena akhirnya aku bisa melepaskan diri darinya.

Aku bangkit dari karpet perlahan-lahan, takut membuat gerakan yang bisa membangunkan Attaya. Baru saja hendak berdiri, Attaya secepat kilat menarik tubuhku, kemudian membaringkanku di karpet tebal itu. "Kamu mau ke mana, Freya?"

"Mau bangun, dah pagi ini."

"Sssttt ! Jangan kemana-mana, temani aku di sini!" Sebelah tangan Attaya memegangi tubuhku.

"Tapi, Atta. Aku pingin mandi, tubuhku lengket keringetan."

"Sekali lagi protes, kucium kamu!" ancam Attaya, dengan mata masih terpejam.

Aku mendesah kasar. Kesal. Ini orang maunya apa sih, sebenarnya? Padahal aku dah menemaninya semalaman, dipeluk lagi. Aku terdiam beberapa saat, menunggu Attaya tertidur lagi. Rencananya, setelah Attaya tertidur, aku akan segera kabur dari sini.

Namun sayangnya, rencanaku gagal. Menyadari tangannya kupindahkan, Attaya langsung menindih tubuhku. Kulihat kedua matanya memerah, mungkin ia masih sedikit mabuk. Bau napasnya pun masih tak sedap.

"Kenapa sih, jadi cewek keras kepala banget? Apa sih susahnya nemenin aku berbaring di sini? Aku toh gak menyentuhmu," protes Attaya kemudian.

"Gak menyentuh gimana? Semalaman kamu melukin aku, Atta. Itu artinya, kamu dah menyentuhku. Kamu pikir--"

Ucapanku terputus begitu saja, karena kemudian Attaya sudah mengulum bibirku dengan cepat. Aku gelagapan seketika. Bibir Attaya terus menerus melumat bibirku. "Buka bibirmu, Freya!"

Aku panik. Sebagian diriku menolak, tapi sebagian lagi menginginkannya. Akhirnya, pertahananku jebol. Kubuka bibirku perlahan. Melihat bibirku terbuka, kegilaan Attaya tak terbendung lagi. Sementara aku, dengan bodohnya malah membiarkan lidah Attata memasuki mulutku. Kurasakan liarnya lidah Attaya menari-nari di sana. Gilanya lagi, aku membalas ciuman Attaya dengan hangat. Bahkan kedua tanganku melingkar di lehernya. Ah, sudah gila aku rupanya.

Rasanya, aku semakin terbakar. Aku menginginkan lebih dari ini. Tubuh perkasa Attaya yang menekan tubuhku, semakin membuat darahku menggelegak. Fantasiku meliar. Oh, aku menginginkan lebih dari sekedar ciuman.

Keinginanku terkabul. Karena sedetik kemudian, tangan Attaya menelusup ke balik kaosku. Sesekali bibir kami terlepas, menarik napas, kemudian kembali berpagutan. Kurasakan tangan Attaya menggerayangi bukit kembarku. Aku tak mampu menahan desahku, saat Attaya bermain-main di sana.

Tiiin ....

Suara bising klakson sebuah mobil mengagetkan kami berdua. Pasti itu mobilnya Mama, pikirku. Aktivitas kami berhenti seketika. Attaya memandangku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Aku menunduk malu. Begitu mudahnya aku menyerahkan tubuhku pada Attaya. Bahkan aku sadar ketika bercumbu dengannya.

"Maafkan aku, Freya. A-aku tak sengaja," desis Attaya, sambil merapikan kaosku. Ia kini berbaring di sampingku, sudah tak berada lagi di atasku.

Aku tak kuasa menjawab. Aku yakin, pipiku pasti semerah udang rebus. Aku sangat malu. Aku yang sok cuek, ternyata semudah itu ditaklukkan Attaya. Aku tak sanggup lagi berada di dekat Attaya, saking malunya.

"Mau ke mana, Freya?" tanya Attaya, ketika melihatku beranjak dari karpet.

"Mau mandi." Aku menjawab tanpa memandangya. Aku berjalan cepat-cepat menuju kamar.

Aku mandi di bawah shower dengan santai. Oh Tuhan, bodohnya aku. Semudah itu birahiku terpancing. Padahal, ini baru hari kedua aku menjadi istrinya. Lalu bagaimana dengan esok, lusa, dan seterusnya? Bagaimana aku bisa mengendalikan diriku, jika aku dan Attaya tidur seranjang? Bagaimana jika aku terpancing lagi?

Kuhela napas kasar, saat aku teringat, sempat melihat celana pendek yang dikenakan Attaya menggembung padat. Astaga .... untung tadi mamanya Attaya pulang. Kalau tidak, pasti saat ini aku dah gak virgin lagi. Rugi dong aku. Attaya kan gak cinta sama aku. Dia hanya cinta sama Valerie.

Aku mempercepat mandiku, lalu memakai bathrobe, dan berjalan menuju walk in closet. Sebelum membuka bathrobe, kupastikan dulu Attaya tak ada di kamar. Bisa gawat kalau tiba-tiba dia masuk ke walk in closet dan melihatku telanjang bulat. Bisa terjadi hal-hal yang diinginkan entar. Oh, Tuhan, mau ditaruh di mana wajahku nanti kalau bertemu Attaya? Mau menghindar ke mana, coba?