"Canda, ah. Ngambekan kamu, tuh." Aku kaget, ketika Attaya mencubit pipiku.
"Jadi belanja sembako dulu, kan, buat panti?"
"Jadi dong, ku-cancel entar kamu nangis guling-guling."
Aku meringis dikit. Emang benar sih apa kata Attaya, kalau berani ampe dia meng-cancel acara besok, benar-benar mau kucekik dia ampe lewat. Lagian, siapa suruh janji-janji segala.
"Besok mau berangkat jam berapa?" tanya Attaya kemudian.
"Terserah kamu aja, sih. Pulangnya jajanin aku bakso, ya!"
"Beres. Mau bakso, soto, mi ayam, batagor, apa aja deh yang kamu mau. Mau berapa porsi pun kubelikan, syaratnya cuma satu: harus dimakan habis. Oke, ya?"
Aku mengangguk mantap. "Oke."
"Atta, papamu sudah meninggal emangnya?" kataku, beberapa saat kemudian.
"Iya. Papa meninggal lima tahun yang lalu, saat aku persis seusiamu."
"Sakit?"
"Iya. Kanker getah bening. Dah menjalani perawatan kemana-mana. Tapi dah stadium empat, sih. Jadinya tak terselamatkan."
"Maaf, ya, Atta. Aku tak bermaksud membuatmu sedih."
"Gak apa-apa, santai aja."
"Kamu anak tunggal?"
"Iya. Mama pernah sih mengandung lagi, saat aku berusia delapan tahun. Tapi keguguran. Habis itu Mama gak hamil-hamil lagi."
Aku manggut-manggut mendengar cerita Attaya. "Kamu punya sahabat dekat, gak, Atta?"
Dia langsung mengangguk. "Ada dong. Dia sahabatku sekaligus tangan kananku di kantor. Dia tahu segala hal tentangku. Namanya Beryl. Umurnya setahun lebih muda dari aku."
"Beryl ganteng, gak?"
Attaya langsung menoyor kepalaku. "Heh! Ganjen!"
Aku mengelus-elus kepalaku, sambil mengomel. "Kan cuma nanya. Kalau misal ganteng kan, aku mau lah dikenalin. Siapa tau dia tertarik sama aku, terus mau mengadopsiku."
Attaya sontak tertawa ngakak. "Emangnya kamu kucing, apa?"
"Eh, Atta. Kalau misalnya entar ke depannya aku jatuh cinta pada lelaki lain, gimana? Aku boleh gak nikah sama dia?"
"Kucekik kamu, kalau berani mikir yang enggak-enggak. Kalau sekedar berteman sih boleh aja. Lebih dari itu, awas aja kamu! Jangan berani menjalin hubungan asmara dengan siapapun, sebelum aku melepaskan kamu."
"Bercerai, maksudmu?"
"Iya, lah."
Aku menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan-lahan. Mendengar tarikan napasku yang berat, Attaya menoleh padaku. "Kamu kenapa?"
"Gak apa-apa. Menurutmu kelak kalau misalnya kita dah bercerai, sebaiknya aku balik ke panti atau hidup Mandiri?"
Attaya sontak menolehkan kepalanya padaku. Bola matanya membeliak. "Kenapa sih, dari tadi mikir yang aneh-aneh gitu?"
Aku mengendikkan bahuku. "Kan bisa saja terjadi, Atta. Toh pernikahan kita kan emang hanya di atas kertas. Kapan saja kamu bisa menceraikan aku. Kamu kan gak cinta aku. Aku juga gak cinta kamu. Ah, aku tau, Atta!"
"Tau apa?"
"Aku mau nyari sugar daddy aja, deh, biar hidupku terjamin."
"Apa??"
"Daripada jual keperawanan, mendingan nyari sugar daddy aja, kan. Menurutmu gimana, Atta?"
"Menurutku, nih, kamu harus disembur Mbah Dukun, biar otakmu jernih," ucap Attaya, sambil menggelitiku.
Tubuhku menggeliat geli, menerima serangan gelitikan dari Attaya. "Stop, Atta. Geli, tau!"
Attaya menghentikan gelitikannya, tangannya meraih batang rokok yang tadi ditaruhnya di asbak.
"Attaya, mulai saat ini kita berteman baik, ya."
Attaya menganggukkan kepalanya seraya tersenyum manis. "Oke, kita teman sekarang. Akan lebih menyenangkan lagi, kalau kelak pertemanan kita naik menjadi teman tapi mesum."
"Apa maksudnya? Emang di dunia nyata, ada yah, teman tapi mau dimesumin gitu?",
Attaya ngakak mendengar pertanyaanku. "Banyak, Freya. Di luar sana, banyak terjadi hal-hal di luar akal sehat manusia."
"Ah, terserahlah. Dunia di luar panti, begitu mengerikan bagiku. Ya udahlah, kelak aku mau balik ke panti aja. Aku akan melayani penghuni panti, sampai ajal kelak menjemputku. Aku ingin seperti Bu Ranti."
Tak kusangka, Attaya meraih bahuku--memelukku erat. "Selama kamu menjadi istriku, aku berjanji akan membuatmu bahagia, Freya."
Tanpa kusadari setetes air menetes dari mataku, dan Attaya telanjur melihatnya. "Kenapa menangis, Freya?"
"Gak apa-apa. Aku hanya terharu, ketika mendengar ada seseorang yang berjanji mau membahagiakanku. Kamu tau kan, selama ini aku tak punya siapapun yang menyayangiku. Hanya penghuni panti dan Bu Ratri yang menyayangiku. Mereka adalah teman sekaligus keluargaku di dunia ini," jawabku, sambil terisak-isak.
Attaya memelukku kembali, kali ini lebih erat. Mungkin, dia kasihan melihat nasibku. "Udah, jangan nangis lagi. Nonton film lagi, yuk. Entar kuambilin cemilan di bawah buat nemenin kita melek."
Aku mengangguk, sambil menghapus air mataku. "Kita tadi ketiduran lama, loh. Bakalan tidur malem banget nih, kita. Mana cuma berdua lagi."
"Kalau berdua emangnya kenapa? Takut setan? Tenang, Freya. Setan kalau lihat aku, dia langsung salim loh."
"Iya, percaya. Soalnya kan kamu raja demit," jawabku, sambil memeletkan lidahku padanya. Attaya tertawa ngakak.
Jujur saja, aku merasa benar-benar bahagia dipertemukan dengan seorang lelaki baik seperti Attaya. Dia begitu santai. Juga begitu baik. Dia bahkan tak meminta haknya sebagai seorang suami. Eh, dia gak minta haknya mungkin karena dia dah punya Valerie kalik ya. Duh, lama-lama aku bisa beneran jatuh cinta padanya nih.
Attaya turun ke dapur, mengambil stok camilan sekresek. Ia juga membawa dua botol minuman kaleng. Mataku bersinar-sinar seketika melihat jajajan sebanyak itu. "Makasih, Attaya."
Attaya hanya nyengir mendengar ucapan terima kasihku. Setelah itu kami menonton TV hingga larut malam, sambil mengemil. Aku dan Attaya berbaring bersisian di karpet tebal. Sebenarnya tiap kali tubuhku berdekatan dengan Attaya, jantungku selalu berdebar-debar tak karuan. Habisnya, aroma maskulinnya Attaya tuh, benar-benar menggodaku. Pingin rasanya ngusel-usel tubuhnya. Oh My God, otakku ngeres sekarang.
"Mau ke mana?" tanyaku pada Attya, ketika ia bangun dari karpet.
"Pingin minum yang anget-anget."
"Mau kubikinin kopi?"
"Gak perlu, Freya. Aku ada stok minuman hangat banyak tuh, di mini bar," jawab Attaya sembari terkekeh.
Mini bar? Oh, yang ada di sudut ruangan dekat dengan rak buku itu mungkin ya? Tak berapa lama kemudian, Attaya kembali dengan sebotol minuman berwarna merah. "Apa itu?"
"Red wine."
"Aku boleh ngicipin?"
"Gak boleh. Kamu kan amatiran. Minum setengah sloki aja, entar kamu bisa-bisa dah mabuk."
"Ya udah, minuman kalengmu buat aku aja, ya," jawabku, sambil mengambil minuman kaleng milik Attaya yang masih utuh.
Kulihat Attaya sedikit demi sedikit menuang red wine itu ke gelas kecilnya, lalu meminumnya. "Jangan banyak-banyak, Atta. Entar kamu mabuk loh."
"Gak bakalan mabuk, ah. Aku dah biasa minum ini kok." Attaya menjawab dengan santai. "Eh, kamu mau ke mana, Freya?"
"Ke toilet, mau pipis bentar."
Tak berapa lama kemudian, aku sudah kembali lagi ke ruang santai, menemani Attaya. Kulihat ia tengah menuangkan red wine lagi ke gelas kecilnya. "Eh, gelas ke berapa, tuh? Stop Attaya, entar kamu mabuk. Aku gak ngerti caranya ngadepin orang mabuk."
Eh, tiba-tiba saja Attaya mencondongkan tubuhnya padaku. "Jangan bawel, Freya. Aku hanya ingin sedikit bersenang-senang malam ini."