"Eh, iya, aku mau. Daripada di rumah doang, kan? Mendingan aku jadi karyawan mamamu aja, lah." Dengan antusias, aku menyahuti ucapan Attaya.
"Heh, sembarangan! Masak istriku jadi karyawannya Mama?"
"Lah, terus entar kalau kamu dah mulai ngantor, aku di rumah ngapain, dong? Bantuin kerjaannya Bik Asih kan sebentar doang dah kelar kalik."
"Terserah kamu lah. Mau tidur kek, mau ngelapin genteng kek, mau nguras kolam renang kek, terserah, Freya!"
Aku langsung cemberut. Kupandangi wajah Attaya dengan raut kesal. "Besok aku boleh ikut ke kantormu gak, Atta?"
Attaya sontak terkejut mendengar pertanyaannku. "Mau apa? Mijitin karyawan-karyawanku?"
"Ya gak apa-apa, sih, kalau kamu ngizinin. Pokoknya aku gak mau di rumah melulu. Aku bisa mati bosan, Atta."
"Jangan drama, Freya! Belum dijalanin kok dah ngomel. Kamu kan bisa tuh belajar masak sama Bik Asih, baca buku di atas, nonton film atau apaan gitu kek. Kalau bosan, bilang aja sama Mama, siapa tau entar Mama bersedia mengajakmu ke salon atau minimarketnya sebentar."
"Aku pingin ke toko bangunannya aja sih sebenarnya. Yang banyak cowoknya. Bisa ngobrol seru sama mereka."
"Heh, ganjen! Karyawan Mama di tpoko bangunan isinya bapak-bapak, tau! Seorang doang yang masih bujang."
"Lah, mau bapak-bapak, mau bujang, terserah, deh. Kamu pikir aku mau ngegodain mereka? Aku cuma butuh teman ngobrol, Atta!"
"Ngobrol aja sama tembok kalau gitu."
Aku memelototkan mataku. Setelah usai sarapan, aku memberesi meja makan, lalu mencuci piring kotor kemudian mengeringkannya sekalian. Setelah itu, aku kembali naik ke atas mencari Attaya. Kucari di kamar, walk in closet, kamar mandi, gak ada. Aku kemudian keluar dari kamar, berjalan melewati ruang santai, menuju pintu yang mengarah ke balkon. Benar saja, ternyata Attaya ada di sana. Sedang duduk santai sambil merokok. Langsung kuhenyakkan bokongku di sampingnya. Kakiku kutumpangkan di meja.
"Kamu nyariin aku?" Attaya menanyaiku.
"Iya. Aku bingung mau ngapain."
"Tidur aja lagi. Kamu masih ngantuk, kan? Buktinya tadi kamu tidur di bathub."
"Masak iya, habis sarapan langsung tidur? Gendut entar, aku."
"Kalian para cewek, ribut melulu masalah berat badan. Naik sekilo aja dah histeris."
"Emang cewekmu kek gitu?" Aku mulai kepo.
Attaya terdiam. Tak beberapa lama kemudian, ia pun menjawab, "Ya, gitu, deh."
"Kamu dah lama pacaran sama dia? Siapa namanya, ya, aku lupa."
"Namanya Valerie, Freya. Baru setahun, sih."
"Sebelum sama Valerie kamu pacaran sama siapa, Atta?"
"Sama Maureen setahun. Sama Alicia setahun. Kamu?"
"Aku belum pernah pacaran," jawabku sambil tertunduk malu.
Attaya menatapku dengan mulut melongo. "Kenapa gak pacaran?"
"Mana sempat pacaran. Sibuk ngebantuin Bu Ratri ngurusin panti."
Attaya terlihat manggut-manggut. "Waktu SMA kamu gak pernah ngalamin cinta monyet emangnya?"
"Pernah sih naksir kakak kelas, namanya Allan. Tapi dia pacaran sama teman sekelasnya. Aku gigit jari, deh."
Attaya ngakak mendengar ceritaku. Ia masih asyik menghisap rokoknya.
"Atta, hari ini kita mau ngapain?" tanyaku kemudian.
"Entar jam dua, kamu ikut aku ke mall."
"Mau ngapain?"
"Macul. Ya belanja, lah! Pakai nanya segala."
"Oh, kamu mau beli baju?"
"Bukan buat aku. Lemariku dah penuh baju."
"Kamu mau ngebeliin baju buat aku?"
"Iya, Freya. Bajumu kondisinya ngenes semua gitu. Bagaimanapun juga, kamu kan dah jadi istriku. Masak iya, bajuku kinclong sementara bajumu kumal semua? Apa kata orang nanti?"
"Ah, masa bodoh dengan penilaian orang di luar sana."
"Gak bisa gitu, dong, Freya. Kamu kan dah gak jomlo sekarang, dah punya suami. Penampilanmu harus berubah. Gak boleh seasal dulu."
"Terserah kamu, deh."
Aku terdiam, Attaya juga. Kulihat Attaya mengambil sebatang rokok lagi dari bungkusnya, kemudian menyulutnya. Wah, perokok berat nih dia kayaknya. "Sehari kamu ngerokok habis berapa bungkus emangnya?"
"Cuma sebungkus. Tapi tiga hari ini aku cuti kan, jadinya aku juga bingung mau ngapain di rumah. Makanya aku ngerokok melulu. Padahal kan, lebih nikmat dirokok sih sebenarnya daripada merokok." Attaya mengedipkan sebelah matanya padaku.
"Dirokok? Maksudmu apa?"
Attaya kemudian mencondongkan tubuhnya ke arahku, membisikkan sesuatu di telinga. Aku langsung menghujaninya dengan cubitan. "Jorok! Bisa-bisanya kamu ngomong kek gitu sama aku. Oh, Tuhan, telingaku ternoda."
Attaya menangkap kedua tanganku sambil tertawa ngakak. "Kalau dah jadi suami istri kan boleh ngapain aja, Freya."
"Itu kan suami istri beneran. Kita kan cuma bohongan," kilahku cepat. Aku berusaha melepaskan kedua tanganku, tapi kalah tenaga. Sampai-sampai aku tak menyadari kalau dadaku menempel erat di tubuhnya, karena tertarik oleh tubuhnya. Bahkan sebagian dadaku menyembul keluar, karena model kaosku yang berbentuk v-neck berdada rendah.
Attaya cepat-cepat melepaskan tanganku. Tadi aku sempat melihatnya matanya memelototi dadaku.
"Duh, ya ampun, berat benar cobaanku," keluh Attaya tiba-tiba.
"Kenapa emangnya? Karena terpaksa meninggalkan Valerie lalu harus menikahiku? Kamu kira kamu doang yang tersiksa? Aku menyesal menerima lamaran mamamu, tau!"
"Bukan itu, Dodol! Cobaanku berat, soalnya kamu bolak-balik kayak mancing aku gitu. Yang ganti baju di depanku lah, tidur telanjang di bathub lah, dan barusan dadamu nempel di tubuhku, nyembul lagi. Buat lelaki normal sepertiku, itu namanya cobaan berat, Non. Ngerti gak sih?"
Pipiku memerah seketika mendengar ucapan Attaya barusan. Masak sih segitunya? Tapi dari yang kubaca sih, laki-laki emang nafsuan sih, dikit-dikit kepancing gitu. Aku langsung bergidik ngeri. Berarti mulai sekarang, aku harus bersikap hati-hati sama Attaya.
"Atta, aku boleh tidur di kamar sebelah, gak?"
"Jangan aneh-aneh, Freya. Kamu kepingin jantung mamaku berhenti berdetak, ya? Kita nikah baru dapat sehari, tau!"
Aku mendengkus kesal. Terus aku harus gimana, dong? Sekamar salah, gak sekamar lebih salah. "Aku gak pindah kamar, kok, Atta. Bajuku tetap di kamarmu. Aku pindah kamar tiap pas mau tidur aja. Boleh, ya?"
"Kenapa sih, jadi orang ngeyel banget?"
"Bukannya ngeyel, Atta. Kan kamu sendiri yang bilang, katanya cobaanmu berat. Ya udah, aku ngalah pindah kamar aja, biar kamu aman."
"Lupakan apa yang tadi aku bilang, deh. Pokoknya kamu jangan sekali berpikir macam-macam. Tolong jangan bikin mamaku sedih, dia tuh punya penyakit jantung."
"Punya penyakit jantung kok sibuk terus gitu, sih?"
"Soalnya kalau diem di rumah terus, Mama stress."
"Atta, kenapa mamamu gak setuju kamu pacaran sama Valerie?"
"Kata Mama, Valerie bukan wanita baik-baik. Mama pernah lihat dia jalan sama cowok lain di sebuah kafe."
"Beneran gitu, emangnya?"
"Aku tanyain dia sih, enggak katanya."
"Kamu lebih percaya pada mamamu atau Valerie?"
"Valerie lah."
Aku ngakak mendengar jawaban polos Attaya. "Oke, fine. Aku percaya cinta memang buta. Cinta sama bodoh kadang-kadang juga sulit dibedakan."
"Apa maksudmu, Freya?"
"Gak ada. Aku gak ngomongin kamu kok. Aku ngomongin diriku sendiri."
"Gak usah sok bijak ngomongin ini itu tentang cinta, kalau kamu sendiri belum pernah pacaran. Ngerti?"
"Sok tua, kamu!"
"Kamu tuh, masih ingusan pun sok-sokan nasehatin aku."
"Aku dah 22 tahun, tau! Ingusan dari Hongkong?"
Hening. Aku dan Attaya sama-sama terdiam.
"Freya, kamu punya ponsel gak, sih?"
"Punya lah. Tapi ponselnya sebuluk aku. Layarnya pecah-pecah. Dulu dikasih sama donatur panti, tuh."
"Oke, deh. Kamu memang benar-benar memprihatinkan. Gak baju, gak sandal, gak ponsel, sama buluknya. Cepetan ganti baju, kita berangkat sekarang juga!"
"Ke mana, Atta?"