Chereads / Cahaya Terakhir Bulan / Chapter 11 - Larut

Chapter 11 - Larut

"Siapa yang akan merasa tenang ketika tubuhnya seolah sehat dari luar padahal dalamnya sakit. Siapa yang akan merasa baik-baik saja ketika mengetahui ada tumor ganas yang menggeragoti tubuhnya dan membuatnya harus terpaksa menjalani sisa hidup dalam penderitaan. Kalau memang ada orang tersebut, beri tahu aku sekarang. Aku ingin tahu bagaimana orang tersebut melalui ini semua!" Emosi Bulan semakin meluap-luap. Tak peduli dengan siapa ia berbicara. Rasa kecewa tak bisa menerima kenyataan lebih besar ketimbang rasa takutnya tengah berbicara dengan siapa.

Dokter sekaligus dua orang perawat yang menemaninya tak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya diam, memberikan ruang untuk Bulan meluapkan semua kekecewaannya. Semakin mereka debat Bulan, semakin meledak-ledak emosinya. Cara terbaik adalah membiarkannya meluapkan semua kekecewaannya.

Bulan menangis tersedu-sedu di dalam ruangan. Dua orang perawat yang berada di ruangan tersebut segera menghampiri Bulan. Mereka mencoba untuk menenangkan Bulan agar tak terlalu berlarut-larut dalam kesedihannya. Beberapa menit Bulan menangis di dalam ruangan pemeriksaan. Akhirnya, tangisnya pun berhenti.

Kesedihan masih menyelimuti dirinya. Ia terpaksa menyudahi air matanya. Percuma ia terus menangis. Kenyataannya tak akan berubah. Ia akan tetap harus menjalani hidupnya yang sudah ditentukan kapan harus berakhir.

"Jadi yang saya harus lakukan adalah ikut kemoterapi, Dok? Apakah semangat saya sudah cukup untuk membuat saya sembuh atau paling tidak tegar selama menjalani ini semua?" tanya Bulan sambil menyeka air matanya.

"Segala sesuatunya kehendak Tuhan, Bu. Jika memang Tuhan berkehendak untuk memberikan kesembuhan pasti ada jalan untuk ibu untuk sembuh. Sekarang, ibu harus tetap semangat menjalani semua ini. Semangat hidup itu lah yang nanti nya akan membantu paling tidak untuk ibu bisa bertahan sambil terus menjalani pengobatan."

"Baik, Dok. Kalau begitu saya permisi dulu."

"Iya, Bu. Jangan lupa nanti saya berikan obat untuk pereda nyeri sementara bila rasa sakitnya sewaktu-waktu kambuh. Tidak perlu dikonsumsi rutin. Cukup dikonsumsi ketika rasa sakit di kepala mulai terasa. Saya juga memberikan beberapa vitamin untuk menambah imunitas ibu agar tidak drop dan malah menimbulkan penyakit lainnya."

"Baik, terima kasih banyak, Dok."

Bulan keluar dari ruangan pemeriksaan. Ia berjalan kemudian duduk di ruang tunggu rumah sakit. Menunggu antreannya mengambil obat. Ia termenung di ruang tunggu. Tatapan matanya kosong, pikirannya kacau selaras dengan perasaannya. Tidak kali ini, ia tidak boleh memberitahu dunia kalau ia sedang bersedih. Tidak boleh ada air mata yang mengalir lagi di pipi. Cukup! Kesedihan itu harus dirasakan nya sendiri.

Sebisa mungkin Bulan menahan tangisnya. Ia mencoba menghibur dirinya sendiri dan mengalihkan pikirannya dengan menyaksikan tayangan yang ada di televisi. Ruang tunggu itu tak terlalu ramai. Hanya ada beberapa orang termasuk dirinya yang menunggu mengambil obat. Bulan terus memaksa matanya melihat ke arah tv. Meski pikirannya terus berusaha meracuninya. Memikirkan bagaimana semua ini ke depannya harus ia jalani.

Sekujur tubuh Bulan gemetar. Ia masih mencoba untuk tetap tenang. Hingga tiba-tiba dari pengeras suara terdengar seseorang memanggil namanya. Sudah waktunya untuk mengambil obat. Ia kemudian bangkit untuk segera mengambil obat tersebut.

"Ini obatnya diminum tiga kali sehari, ya, Bu. Yang ini ketika merasakan sakit kepala saja. Kalau yang ini vitamin diminum ketika pagi dan malam hari," kata suster yang memberikan Bulan obat. Suster tersebut menjelaskan obat apa saja dan bagaimana cara minumnya kepada Bulan.

"Apa tidak ada obat penenang, Sus? Atau obat tidur barangkali. Saya khawatir malam akan sulit untuk tidur," tanya Bulan.

"Maaf, Bu. Tapi hanya ini yang diberikan resepnya oleh Dokter. Jika ibu menginginkan obat itu, ibu bisa berkonsultasi lagi pada tim dokter. Atau ibu bisa membeli obatnya di luar."

"Oh begitu, ya, Sus. Baiklah kalau begitu. Terima kasih." Bulan mengambil kantung obatnya lalu hendak pergi.

"Iya, Bu. Sama-sama. Semoga lekas sembuh," kata si suster ketika Bulan hendak berjalan pergi.

Bulan tertahan sejenak tapi tak berbalik badan. Kata-kata itu cukup mengikatnya dan menahan langkah kakinya. Pertanyaan besar langsung muncul di benaknya. Apakah mungkin dirinya dapat sembuh? Atau itu hanya kata-kata penenang yang memang orang rumah sakit sengaja berikan.

Tanpa ia sadari, ia sudah membuat antrian di belakangnya cukup panjang. Karena ia praktis berdiri tepat di depan tempat pengambilan obat. Begitu mendapat teguran barulah Bulan kembali melanjutkan langkahnya menuju ke parkiran mobil. Ia memasuki mobilnya lalu mengendarainya keluar dari tempat parkir. Melaju di jalanan yang perlahan-lahan dibasahi oleh hujan yang turun.

Malam hari pun tiba. Juan sedang merenung di atas ranjangnya. Di bawah lampu kamar yang ia redupkan. Hanya terdengar jam dinding yang berbunyi dan suara rintik hujan yang perlahan mereda. Di sebelahnya terdapat ponsel yang sejak tadi tak berhenti bergetar tanda pesan singkat yang masuk. Atau beberapa menit sekali berdering begitu masuk panggilan.

Bulan tak terlalu menghiraukan ponselnya. Meski terus berdering dan ada panggilan masuk dari kekasihnya. Ia tak ingin diganggu oleh siapapun. Malam ini ia mencoba untuk tenang. Ia ingin beristirahat. Mengistirahatkan tubuhnya yang lelah dan pikirannya yang penat. Tak boleh ada siapapun dan apapun yang mengganggunya untuk saat ini. Termasuk orang-orang terdekatnya.

Dagunya dipangku oleh lutut. Kakinya menekuk mencoba ia jadikan tempat menyembunyikan wajahnya. Beberapa menit sekali ia mencoba mengganti posisinya. Berharap menemukan posisi ternyaman untuk menenangkan diri sebelum tidur. Jam terus bergulir hingga tak terasa tepat tengah malam. Rasa kantuk mulai hadir, Bulan mencoba tetap terjaga.

Rasa kantuk semakin liar menjalar ke sekujur tubuhnya. Terutama bagian matanya yang hampir sepenuhnya dikuasai oleh kantuk. Sayup-sayup matanya menahan agar tak jatuh dalam lelap. Tapi semakin dipaksakan semakin ingin terlelap. Bulan mengalah, ia merebahkan tubuhnya. Tak lagi berusaha sok kuat melawan kantuk.

Ia tak boleh egois. Meski tak menerima tubuhnya sedang sakit, tapi ia tak bisa menyakiti dirinya sendiri. Tubuhnya butuh untuk beristirahat. Ia pun membiarkan rasa kantuk itu bekerja. Mengambil alih kesadarannya yang perlahan-lahan mulai menghilang. Matanya pelan tapi pasti mulai terpejam dan ia pun tenggelam dalam malam.

Pagi hari tiba, ia bangun dalam keadaan cukup segar. Ia kemudian membuka gordyn jendela untuk melihat suasana di pagi hari. Ponselnya ia genggam mencoba melihat apa saja yang terjadi semalam. Ia tak sempat dan tak mau membukanya malam tadi untuk itu baru ia buka sekarang. Banyak pesan masuk dari kekasihnya juga panggilan tak terjawab. Bulan merasa jengkel tapi ia mencoba bersikap biasa saja.

Kekasih atau bukan itu tak penting. Ia tak peduli tentang status sekarang. Rasa cintanya mendadak pudar. Karena sebuah perkataan dari dokter yang membuatnya begini. Tiba-tiba ponselnya berdering memecah suasana pagi. Panggilan itu dari sang kekasih.

[Halo? Iya? Ada apa?]