[Kamu baik-baik saja? Kamu terlihat meninggalkan kantor ketika jam kerja dan nggak kembali lagi. Apa ada sesuatu sama kamu? Bisa kamu cerita sama aku biar aku nggak khawatir?] kata pria dari ujung sambungan telefon.
[Nggak ada apa-apa. Aku baik-baik saja, kok. Nggak ada yang perlu kamu khawatirkan. Mungkin aku kemarin belum sepenuhnya pulih saja. Makanya berasa kayak drop lagi. Aku kemarin langsung pulang ke rumah nggak kemana-mana. Maaf tidak memberitahumu. Keadaan fisikku sudah tidak memungkinkan kemarin.]
[Kamu kalau masih kurang sehat. Nggak apa-apa istirahat saja dulu di rumah nggak usah dipaksain masuk kerja. Nanti masalah kerjaanmu masih bisa aku bantu handle sama Dinda berdua. Kerjaan kamu kan nggak terlalu beda jauh sama yang kami kerjakan. Yang penting kamu sehat benar saja dulu. Nggak usah terlalu mikir soal kerjaan.]
[Nggak apa-apa, kok. Kamu nggak usah repot-repot. Kamu fokus saja pekerjaan kamu. Nggak usah mikirin tentang gimana pekerjaanku. Itu bukan tanggung jawab kalian berdua. Sudah seharusnya aku bertanggung jawab pada kewajiban itu. Kamu tidak perlu terlalu ikut campur. Aku bisa mengatasinya. Terima kasih banyak atas bantuannya.]
[Aku sebenarnya sama sekali tidak merasa keberatan untuk membantumu, sayang. Aku hanya khawatir terhadap kondisimu. Aku benar-benar cemas. Tapi kalau memang kamu maunya seperti itu. Ya sudah, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku harus siap-siap sebentar lagi berangkat kerja. Jaga dirimu baik-baik, ya. Aku menyayangimu.] Deva mengakhiri percakapannya dengan Bulan.
[Iya, kamu juga.] Bulan menjawab singkat lalu menutup panggilannya. Percakapan keduanya pun berakhir.
Bulan melanjutkan aktivitas paginya. Ia membuat secangkir teh untuk menemani paginya. Meminumnya sebelum pergi bekerja bisa membuat hati dan pikirannya lebih tenang. Ia bisa lebih rileks sebelum ditekan dengan beban pekerjaan yang menumpuk.
Tubuhnya kini telah siap setelah melakukan persiapan. Segala yang ia butuhkan untuk menunjang selama ia bekerja telah masuk di tas. Ia kini bersiap menuju ke tempat kerja. Mobil dinyalakan lalu dijalankan menuju ke tempat penuh beban dan tekanan.
"Pagi, Bu," sapa seorang karyawan sambil melempar senyum pada Bulan.
Bulan dengan wajah datar tak memberikan respon baik. Tak seperti biasanya ia yang bersikap ramah. Kali ini sisi lain Bulan yang hadir. Ia berlalu begitu saja tanpa menghiraukan karyawan yang mencoba menyapa. Sikap Bulan tentu menimbulkan tanda tanya pada para karyawan yang melihat hal tersebut. Tidak biasanya Bulan seperti ini.
Bulan tetap berlalu begitu saja. Wajahnya masih datar tak ingin menampilkan Bulan yang murah senyum. Masuk begitu saja ke dalam ruangan. Meletakkan tas di bawah meja. Menyalakan komputer dan menyiapkan segalanya untuk memulai pekerjaannya. Berkas-berkas mulai ia kembali buka. Ada laporan yang belum ia bereskan. Ada file yang belum ia baca dan tanda tangani.
Bulan praktis menjadi bahan omongan beberapa karyawan. Termasuk Dinda dan Deva. Keduanya saling tatap satu sama lain dari meja masing-masing. Mata mereka saling berbicara seolah merasa ketidak wajaran yang terjadi dengan sikap Bulan hari ini. Tapi keduanya tak mengambil langkah lebih lanjut. Keduanya sudah sama-sama tahu sifat Bulan. Memberikan ruang dan waktu untuk Bulan sendiri. Itu lebih baik.
Dalam keadaan seperti ini, sifat dan sikap Bulan sangat amat tidak ramah. Ia bisa memecat siapa saja yang membuatnya kesal. Ia tak bisa berpikir dengan jernih. Segala tindakan didasarkan pada perasaan semata. Sebisa mungkin menghindar dari berurusan dengan Bulan.
Tok! Tok! Tok!
"Permisi, Bu," kata seorang karyawati dari luar ruangan Bulan. Ia membawa sebuah map di tangannya.
"Saya sedang tidak ingin diganggu. Nanti saja, ya," sahut Bulan dari dalam.
Si karyawati itu pun pergi dari depan ruangan Bulan. Hal itu disaksikan langsung oleh Dinda dan Deva. Mereka berdua saling tatap kembali satu sama lain. Setelah itu keduanya kembali fokus pada pekerjaan masing-masing. Tak berselang lama karyawati yang lain mengetuk pintu ruangan Bulan. Ia kembali mendapatkan perlakuan yang sama.
Bulan menolak untuk membukakan pintu ruangannya. Hal tersebut membuat Dinda jengkel. Ia tak bisa semena-mena memperlakukan karyawan yang tengah memiliki kepentingan dengannya. Kalau Bulan memiliki masalah pribadi. Seharusnya ia bisa menyelesaikannya sendiri tanpa harus berpangaruh dengan pekerjaannya.
Dinda yang geram kemudian bangkit. Ia menghampiri si karyawati. Berniat untuk membantunya dan menghadap Bulan langsung ke ruangannya.
"Kamu sedang butuh apa sama Bu Bulan? Biar saya saja yang menemuinya," kata Dinda.
"Ini, saya butuh tanda tangannya dari Bu Bulan. Sudah dua hari saya dimintai berkas file ini. Saya tidak bisa memberikan sama client soalnya belum tertera tanda tangannya Bu Bulan. Kalau hari ini masih belum juga dapat. Saya bisa ditegur keras dan mendapat potongan gaji."
"Berikan map itu sama saya. Biar saya yang temui Bu Bulan langsung. Saya pastikan hari ini kamu mendapatkan tanda tangannya. Kamu bisa kembali ke tempat kerjamu. Nanti saya antar ke sana jika sudah ditanda tangani."
"Terima kasih banyak, Bu. Ini, Bu mapnya. Maaf merepotkan." Karyawati itu menyerahkan map kepada Dinda. Dinda kemudian berjalan mendekati ruangan Bulan.
Sebelum ia berhasil mengetuk pintunya dan masuk. Ia dicegah oleh Deva. Deva ingin kalau dirinya saja yang menemui Bulan. Sebab, kalau sampai Dinda yang bertemu langsung. Mereka berdua bisa berdebat sengit bahkan menimbulkan keributan. Deva tak ingin hal tersebut terjadi. Untuk itu ia berinsiatif untuk menemui Bulan sendiri.
"Biar aku saja yang masuk menemuinya. Kamu duduk saja," ujar Deva sembari berdiri menghalangi Dinda.
"Minggir! Biar aku saja yang mengurus semua ini! Dia sudah kelewatan. Tindakannya ini harus segera diberi teguran agar tidak lagi semena-mena!" Dinda kelihatan sangat emosi.
"Kau jangan lakukan itu. Biar bagaimana pun dia atasan kita. Jangan sampai karena emosi sesaat semuanya jadi berantakan. Tenangkan dirimu. Kita tetap pada rencana awal. Sekarang lebih baik berikan map itu dan biar aku yang menemui Bulan. Kau tunggu saja di luar. Aku tidak ingin ada keributan yang terjadi hanya karena masalah ini."
Dinda menahan amarahnya, tangannya mengepal. Ia menghembuskan nafas.
"Baiklah! Kalau kau sampai gagal mendapatkan tanda tangannya. Jangan salahkan aku yang langsung turun tangan. Kau mengerti?!" Dinda memberikan map itu kepada Deva. Ia mempercayai Deva bisa mendapatkan tanda tangan Bulan.
"Serahkan semuanya padaku. Aku bisa melakukan ini."
Map sudah di tangan Deva. Kini langkah berikutnya adalah mengetuk ruangan Bulan. Deva tahu jika, ia mengetuk pintunya Bulan tidak akan menerimanya. Ia lantas masuk begitu saja ke dalam ruangan Bulan. Membuat Bulan terkejut dengan kehadiran Deva di ruangannya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?! Kamu nggak boleh masuk seenaknya kayak gitu, ya!" Bulan segera bereaksi begitu melihat Deva masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.