Chereads / Cahaya Terakhir Bulan / Chapter 15 - Satu-satunya Semangat yang Tersisa

Chapter 15 - Satu-satunya Semangat yang Tersisa

Pelayan itu kemudian pergi meninggalkan meja dari Dinda dan Deva. Deva yang merasa tak mendapatkan informasi apa-apa dari pelayan. Kembali mengalihkan fokusnya kepada Dinda yang sedang memasang wajah cemberut ke arahnya.

"Kenapa dengan wajahmu? Apa ada yang salah?" tanya Deva.

"Pikir saja sendiri," jawab Dinda ketus.

Bulan sejak tadi diam merasakan ketidaknyamanan berada di kantin. Ia mulai memberanikan diri untuk melihat sekitar. Setelah sejak tadi hanya menundukkan pandangan. Mencoba menghindar dari melihat wajah-wajah orang-orang yang menaruh rasa kesal pada dirinya. Ia melihat sekeliling, orang-orang banyak yang menatap sinis ke arahnya. Tak sedikit yang tertangkap olehnya sedang membicarakan Bulan. Bulan terus melihat sekeliling sampai ia melihat ke belakangnya.

Ia mendapati di meja yang tak jauh dari tempatnya. Deva dan Dinda tengah duduk berdua menikmati santap siang. Bulan memiliki keinginan untuk menghampiri kedua temannya itu. Ia ingin bergabung bersama mereka untuk berbincang hangat di sela-sela jam makan siang. Tapi niat itu seketika luntur dikarenakan sikapnya pada mereka berdua.

Pada akhirnya ia hanya bisa memerhatikan kedua temannya dari jauh. Terbelenggu rasa bersalah membuat melangkah tak bisa. Hanya bisa pasrah sambil mencari jalan keluar untuk menjelaskan kepada kedua temannya. Kenapa ia sampai melakukan semua itu pada mereka. Kenapa dirinya sampai bersikap tidak enak pada mereka.

Bulan yang hanya ditemani oleh rasa bersalah. Kemudian mendapati suara ponselnya berdering. Dering telfon itu cukup untuk membuyarkan fokusnya pada masalah. Telfon itu berasal dari sang ayah. Dengan sigap Bulan langsung menjawab panggilan masuk tersebut.

[Halo, Ayah?] Bulan memulai percakapan melalui panggilan telfon dengan sang ayah.

[Halo, Nak. Kamu apa kabar? Kenapa belakangan ini jarang menghubungi Ayah? Keadaan mu baik-baik saja, kan? Apa ada masalah? Bagaimana pekerjaanmu? Semuanya berjalan lancar?] tanya sang ayah.

[Aku baik-baik saja, Yah. Ayah sendiri bagaimana kabarnya? Aku harap Ayah baik-baik saja, ya, di sana. Aku sangat merindukan Ayah. Syukurlah aku bisa mendengar suaranya Ayah. Maaf karena aku belum bisa menelfon Ayah. Pekerjaanku sangat banyak di sini. Aku sampai tidak memiliki waktu untuk menghubungi Ayah dan sekedar menanyakan kabarnya Ayah. Aku janji ke depannya akan menghubungi Ayah lebih sering lagi. Tidak seperti sekarang.] Bulan merasakan kebahagiaan tersendiri ketika mendapat telfon dari sang ayah.

Sosok sang ayah, seperti semangat tersendiri untuknya. Ketika dunia seolah tak bersahabat dan berpihak padanya. Hanya sosok ayahnya lah yang mengerti tentang keadaannya. Hanya Ayahnya lah satu-satunya orang yang tetap berada di sisinya untuk terus mendukungnya dan memberikan semangat kepada Bulan. Menjadi api yang terus menyala ketika kebanyakan orang berusaha untuk memadamkan semangatnya.

[Syukurlah kalau kamu dalam keadaan baik-baik saja. Ayah mengkhawatirkan keadaanmu karena sudah lama sejak terakhir kamu menghubungi Ayah. Kamu tidak usah terlalu merasa mengabari Ayah menjadi beban. Kabari saja ketika kamu sempat. Ayah bisa memaklumi kalau kamu sibuk sekarang. Posisimu yang sekarang memang mengharuskan kamu bekerja lebih keras dari biasanya. Ayah sangat bisa memaklumi hal itu.]

[Iya, Ayah. Kapan kita bisa bertemu? Aku sangat merindukan Ayah. Banyak sekali hal yang ingin aku ceritakan sama Ayah. Aku sangat ingin bercerita sama Ayah. Aku ingin Ayah mendengar semuanya yang sudah terjadi padaku.]

[Iya, Nak. Nanti kita akan bertemu tapi tidak tahu kapan. Ayah sedang sangat sibuk sekarang. Banyak proyek pekerjaan yang harus Ayah kerjakan. Kamu juga pasti sangat sibuk juga sekarang. Bekerja di perusahaan yang besar tentu membuatmu memiliki tugas berat dan tekanan yang besar. Kamu harus selalu fokus dan dalam kondisi terbaikmu. Jangan sampai kamu kehilangan fokus dan apapun yang membuat konsentrasimu terhadap pekerjaan terganggu, maka kamu harus jauhkan.]

[Tapi, Yah. Kita sudah sangat lama belum bertemu dan berbincang lagi. Apa Ayah tidak merindukanku? Aku bisa mengatur waktu jika Ayah mau untuk bertemu. Aku yakin Ayah juga bisa bertemu. Aku sangat yakin Ayah juga merindukan aku juga. Ayolah, Yah. Kita bertemu dalam waktu dekat. Aku sangat ingin bertemu dengan Ayah,] pinta Bulan berharap agar sang ayah mau menuruti kemauannya.

[Maaf, Nak. Tapi Ayah benar-benar tidak bisa bertemu denganmu dalam waktu dekat ini. Ayah benar-benar harus fokus pada pekerjaan Ayah. Ayah benar-benar sibuk. Ayah juga ingin bertemu denganmu. Ayah juga sangat amat merindukanmu. Tapi keadaan yang tidak memungkinkan kita untuk bertemu dalam waktu dekat. Ayah harap kamu bisa mengerti kenapa Ayah menolak untuk bertemu denganmu.]

[Ta-tapi, Yah. Kali ini saja.] Suara Bulan lirih meminta sang ayah agar mau menurutinya kali ini saja untuk bertemu. Bulan sangat ingin bertemu dengan sang ayah.

[Jangan seperti itu, Bulan. Kau jangan memelas seperti itu. Ayah paling tidak bisa mendengar kamu sampai begitu. Kamu itu sudah besar, Nak. Ayah tidak harus menjelaskan panjang lebar masalah ini. Kamu sudah seharusnya maklum dan paham. Begini saja, bagaimana jika kamu temui ibumu? Kalian sudah lama, kan, tidak bertemu. Ia tidak bekerja dan sibuk seperti ayah. Kalau kau sangat ingin memiliki teman cerita. Cerita saja sementara bersama ibumu. Ayah yakin dia sangat senang jika mendengar keluh kesah dan keberhasilan dari anaknya. Bagaimana? Apa kamu mau?]

Bulan mendengar penolakan dari sang ayah. Membuatnya merasa kembali sedih dan murung. Bahkan orang yang satu-satunya ia harapkan bisa untuk mengembalikan semangatnya pun tidak bisa diharapkan. Bulan benar-benar hanya berjuang seorang diri sekarang. Ia benar-benar harus berjuang sendirian melawan dunia yang sedang tidak berpihak padanya.

Beberapa menit Bulan hanya diam tak memberikan jawaban setelah sang ayah mengatakan hal tersebut. Ia benar-benar merasa kecewa. Tapi ia tak bisa berbuat apapun. Sang ayah tetap pada kesibukannya. Ia sama sekali tidak akan meluangkan waktunya walau hanya sebentar. Pekerjaan terlalu penting untuknya disbanding apapun. Bulan pada akhirnya hanya bisa mengiyakan pasrah semua yang dikatakan oleh ayahnya.

[Bagaimana, Nak? Maafkan Ayah. Tapi memang inilah yang terbaik untukmu.]

[Iya, Yah. Tidak apa-apa. Bulan bisa mengerti, kok. Ayah jaga Kesehatan, ya. Jangan sampai sakit hanya karena kerja terlalu berlebihan.]

[Syukurlah kamu pada akhirnya mengerti, Nak. Terima kasih banyak, ya. Ayah janji, lain kali kita akan bertemu. Kamu boleh bercerita semau kamu dan sepuas kamu. Ayah akan mendengarkannya. Sekarang Ayah harus kembali bekerja. Kamu jaga diri baik-baik, ya. Jaga kesehatanmu juga. Ayah menyayangimu.]

[Iya, Yah. Ayah juga baik-baik di sana. Jaga kesahatan Ayah. Bulan juga menyayangi Ayah.] Bulan kemudian menutup telfon dari sang ayah dengan perasaan agak kecewa.

Meskipun tak berhasil untuk membujuk sang ayah bertemu. Setidaknya ia sudah bisa sedikit mengobati kerinduannya pada sang ayah. Dengan mendengar suaranya melalui sambungan telfon.