"Tenanglah. Kau tidak perlu sampai bersikap seperti itu padaku. Memangnya aku ini siapa untukmu? Aku ini kekasihmu, Bulan. Kau tidak perlu sampai bersikap seolah aku ini orang asing atau penjahat yang hendak mengganggumu," kata Deva mencoba menenangkan Bulan.
Bukannya senang dan tenang mendengar apa yang Deva katakan. Bulan jusru bersikap sebaliknya. Ia benar-benar tak peduli tentang status. Mau itu pasangannya atau bukan. Ia sedang tak ingin diganggu oleh siapapun. Sikapnya akan sama saja pada siapapun itu.
"Apa kau punya wewenang lebih untuk bicara seperti itu padaku? Aku sudah katakan padamu. Aku tidak peduli tentang hubungan. Ketika di tempat kerja dan di waktu kerja. Aku ingin kita bersikap professional pada kerjaan. Aku tidak ingin hubungan kita mengganggu pekerjaanku. Tidak boleh ada hubungan yang lebih dari sekedar partner kerja di tempat kerja. Apa kamu dapat mengerti?" ujar Bulan menjelaskan.
Deva mulai merasa jengkel dengan sikap yang dtunjukkan Bulan. Padahal ia masuk ke ruangannya pun atas dasar pekerjaan. Ia ingin membantunya terhindar dari masalah jika sampai lalai dan tidak menandatangani sebuah dokumen. Tapi niat baik Deva ditafsirkan salah oleh Bulan. Ia mengira masuknya Deva ke dalam ruangannya semata-mata karena ingin membuat Bulan merasa lebih baik.
"Aku ke sini sama sekali tidak ingin memperjelas hubungan kita sebagai seorang kekasih. Sama sekali bukan begitu yang ingin kulakukan di sini. Aku juga sama sekali tidak ingin memanfaatkan hubungan kita dan posisimu yang sekarang sehingga kita bisa bermesra-mesraan ketika jam kerja. Kau jangan salah paham!" Deva mulai terpancing emosinya karena Bulan.
"Lalu apa yang ingin kau katakan ke sini? Katakan saja jangan bertele-tele. Setelah menyampaikannya kau bisa kembali bekerja. Jangan membuang waktumu. Aku dan kamu sama-sama sedang sibuk. Jadi cepatlah katakan. Jangan sampai aku panggil keamanan jika kau tak juga menyampaikan apa tujuanmu," ujar Bulan tanpa melihat ke arah Deva. Ia fokus dengan pekerjaannya. Tak terlalu menghiraukan Deva yang sedang berbicara dengannya.
"Ini sudah cukup terakhir kalinya aku seperti ini. Aku sudah muak dengan semua sikapmu belakangan ini. Aku datang ke sini untuk mengantarkan berkas ini. Banyak berkas yang belum kau tanda tangani. Aku ke sini untuk ini. Supaya kau tidak mendapat masalah. Kalau kau tidak juga menandatangani berkas ini. Masalah baru akan menghampirimu. Ini tanda tanganilah!" Deva membanting keras berkas tersebut di atas meja Bulan. Sambil berbicara dengan nada tinggi pada Bulan.
Hal yang dilakukan Bulan cukup membuat orang-orang yang bekerja di luar ruangan terkejut. Mereka mulai menerka-nerka apa yang sedang terjadi di dalam ruangan Bulan. Dinda yang sejak tadi ingin masuk ke dalam ruangan Bulan. Hanya bisa pasrah menunggu Deva keluar dari ruangannya Bulan.
Bulan terkejut dengan gebrakan yang dilakukan oleh Deva. Ia terkejut sampai membuatnya terpaksa berhenti sejenak fokus pada pekerjaanya. Tatapannya teralihkan kepada sebuah map yang dibanting di atas mejanya. Ia sama sekali tidak menatap ke arah Deva. Meski sudah menggebrak mejanya dengan map. Ia tetap tak terlalu menghiraukan perasaan dan keberadaan Deva.
Deva yang masih kesal sehabis membanting map di atas mejanya Bulan. Ia tak juga mendapatkan respon dari Bulan. Malah di depan matanya sendiri Bulan lebih memperdulikan map yang di atas meja ketimbang dirinya yang sedang marah. Bulan bahkan dengan sengaja mengambil map tersebut lalu membacanya. Seolah semakin tak menghiraukan keberadaan Deva. Deva yang sudah sangat muak kemudian memutuskan untuk berjalan keluar ruangan Bulan. Ketimbang semakin lama ia berada di ruangan Bulan. Yang ia rasakan hanya kekesalan.
Ia keluar sambil membanting cukup keras pintu ruangan Bulan. Membuat orang-orang yang berada di luar terkejut. Perhatian mereka langsung terfokus pada sumber suara tersebut. Termasuk Dinda yang melihat Deva keluar dalam keadaan marah. Sementara Bulan yang berada berada di dalam ruangan. Ia sama sekali tak perduli dengan hal tersebut. Membiarkan pintunya dibanting sekeras itu seolah tak terjadi apa-apa.
"Deva! Tunggu! Kamu mau kemana? Ada apa? Dev?" Dinda segera menghampiri Deva yang berjalan menjauh dari ruangan.
"Tinggalkan aku sendiri! Aku sedang tidak ingin diganggu," ujar Deva lalu berjalan pergi.
Mata yang tertuju pada Deva perlahan memudar. Para karyawan yang terfokus pada Deva mulai kembali fokus pada pekerjaan mereka. Sementara Dinda hanya bisa mengelus dada dan menepuk dahi. Ia kemudian berjalan masuk ke dalam ruangan Bulan. Ia hendak menegur Bulan atas tindakannya. Dinda langsung masuk begitu saja tanpa mengetuk terlebih dahulu pintu ruangan Bulan.
"Bulan! Kita harus bicara," kata Dinda begitu masuk ke dalam ruangan Bulan. Ia melihat Bulan yang kembali fokus pada layar monitor.
"Kamu tidak bisa mengetuk pintu terlebih dahulu? Tidak bisakah melakukan hal sederhana itu sebelum masuk ke dalam ruanganku? Aku sedang sibuk sekarang. Kita bisa bicarakan masalah ini nanti saja. Aku benar-benar sedang tidak bisa diganggu. Maaf, Dinda. Mungkin lain waktu," kata Bulan tanpa melihat ke arah Bulan sebagai lawan bicaranya. Bibirnya bicara tapi wajahnya dan fokusnya tetap pada pekerjaan.
"Kau sudah kelewatan Bulan! Kalau aku sedang bicara padamu! Harusnya kau melihat ke arahku. Aku sedang bicara kepadamu. Tapi kau malah fokus pada layar monitor. Kau kira aku ini apa?" Dinda semakin meradang melihat Bulan yang bersikap seperti itu.
Bagaimana Dinda tidak semakin kesal. Perubahan yang terjadi belakangan ini pada Bulan sudah cukup membuat timbul pertanyaan. Bahkan bukan lagi sebatas pertanyaan melainkan mulai menimbulkan kejengkelan dari para pekerja yang bekerja di bawah Bulan. Mereka sudah mulai merindukan sikap Bulan yang dulu ramah kepada mereka. Bukan Bulan yang sekarang yang bersikap begitu ketus dan judes pada setiap karyawan yang mencoba bersikap ramah padanya.
Meski sudah ditegur keras oleh Dinda. Bulan tetap pada sikap dinginnya. Ia tak menggubris yang dilakukan oleh Dinda. Meski nada bicara Dinda sudah sampai pada membentak. Pekerjaannya seolah sudah membelenggu jiwa dan raganya. Hingga sekejap saja ia tak bisa berpaling dari melihat layar monitor.
"Kalau kau sudah dengan urusanmu. Kau bisa segera meninggalkan ruangan ini. Aku tak punya banyak waktu. Aku rasa kau juga sedang sibuk sekarang dengan pekerjaanmu. Aku sedang tidak bisa diganggu. Aku harap kau mengerti, Dinda. Terima kasih banyak," ujar Bulan secara halus mengusir Dinda. Perlakuan yang didapatkan oleh Dinda hampir sama dengan yang diterima oleh Deva.
Dinda yang sudah tak bisa berkata apapun. Ia memutuskan untuk keluar ruangan Bulan. Terlalu lama di ruangannya hanya akan membuat darahnya naik. Setidaknya ia sudah mencoba menyampaikan. Walau hasilnya sama saja dengan yang didapatkan oleh Deva. Dinda kembali duduk di mejanya. Ia mencoba mengatur nafas dan menenangkan dirinya. Kembali fokus pada pekerjaannya. Sambil menunggu waktu istirahat tiba. Baru ia bisa menyusul Deva yang pergi entah kemana.