"Selamat pagi, Bu."
"Iya, selamat pagi, Pak. Kenapa mukanya kayak kaget gitu pas lihat saya. Memangnya saya ini hantu, ya?" tanya Bulan ketika melihat wajah satpam kantornya yang menatap keheranan ke arahnya.
"Ah, bukan begitu maksudnya saya. Saya dengar dari beberapa orang kalau Bu Bulan masuk rumah sakit. Saya kira masih belum sembuh. Begitu saya lihat ibu datang saya tentu terkejut. Masa iya sakit-sakit berangkat bekerja," kata si satpam.
"Saya kira kamu melihat saya kayak habis melihat hantu. Saya memang sebelumnya sakit sampai masuk rumah sakit bahkan. Tapi menurut saya, terlalu lama di rumah sakit membosankan. Saya merasa sudah lebih baik dari sebelumnya. Untuk apa saya mengambil istirahat lebih lama? Tidak melakukan apa-apa di rumah. Lebih baik saya masuk kerja. Banyak pekerjaan yang harus dikerjakan."
"Lekas membaik, ya, Bu."
"Iya, terima kasih banyak, Pak. Saya masuk dulu."
Bulan kemudian berjalan memasuki kantor tempatnya bekerja. Beberapa bawahannya menyapa Bulan yang baru datang. Ia lantas membalas mereka dengan senyuman. Ia terus melangkahkan kakinya hingga tiba di depan ruangannya. Begitu ia membuka pintu ruangannya ia sangat terkejut.
"Kenapa kalian ada di sini? Apa yang sedang kalian lakukan di ruanganku?" tanya Bulan begitu melihat Deva dan Dinda berada di dalam ruangannya.
"Sayang? Kamu, kok, sudah masuk kerja? Bukannya kamu masih sakit, ya? Kok, nggak bilang sama aku kalau kamu sudah masuk. Aku kan bisa jemput kamu." Deva mencoba mengalihkan perhatian.
"Kalian berdua sedang apa di ruanganku? Apa yang kalian lakukan?! Ini ruanganku. Kalian terlalu lancang untuk masuk ke sini." Bulan marah pada mereka berdua. Karena masuk ke ruangannya tanpa izin terlebih dahulu pada Bulan.
"Bulan, aku bisa jelaskan ini semua, kok. Ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Kami tidak melakukan apa-apa. Percayalah," kata Dinda mencoba meyakinkan Bulan.
"Jangan sebut namaku! Aku atasanmu di sini. Kau harus bersikap professional jika di tempat kerja. Kapan waktunya bekerja kapan waktunya berteman bahkan pacaran. Yang kalian lakukan sudah keterlaluan. Sekarang lebih baik kalian tinggalkan ruangan saya. Saya tidak ingin mendengar penjalasan apapun dari kalian," pinta Bulan agar mereka berdua segera pergi dari ruangannya.
Dinda tak membantah apa yang diperintahkan oleh Bulan. Meski ia agak sedikit jengkel dengan cara Bulan mengusirnya, tapi ia tetap keluar dari ruangan tersebut. Sementara Deva masih bertahan di sana. Ia masih mencoba keras menjelaskan dan membujuk Bulan agar mau mendengarkan.
"Aku bisa jelaskan ini semua sayang. Aku sama Dinda tidak melakukan apapun. Kami hanya merapihkan beberapa file mu saja yang berantakan. Kami juga habis membereskan ruanganmu yang agak berantakan. Ini sama sekali tidak seperti yang kamu bayangkan. Ku mohon dengarkan aku," kata Deva meminta Bulan mempercayainya.
"Kau tidak dengar yang baru saja aku katakan?! Aku tidak ingin mendengar apapun penjelasan darimu. Semuanya sudah sangat jelas. Aku memiliki mata yang masih sehat. Aku baru sakit beberapa hari, tapi kau sudah coba-coba bermain dengan yang lain."
"Aku sudah jelaskan padamu. Ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku bisa jelaskan semuanya sejak awal supaya kamu paham." Deva masih berusaha untuk meyakinkan Bulan.
"Aku sudah cukup muak mendengar hal itu. Sekarang kamu sudah bisa meninggalkan aku sendiri. Aku tidak ingin hariku rusak hanya karena meladenimu berdebat. Tinggalkan aku sendiri sebelum aku panggil satpam," ujar Bulan memerintahkan Deva untuk keluar dari ruangannya.
Deva masih bersikeras untuk bertahan di ruangan tersebut. Bulan yang marah membelakangi Deva yang masih berdiri di ruangannya. Tiba-tiba Dinda kembali masuk ke dalam ruangannya Bulan. Ia langsung menarik Deva keluar dari ruangan Bulan.
"Apa yang kau lakukan?! Aku tidak akan keluar dari ruangan ini sebelum dia mau memaafkanku."
"Kau tuli? Bu Bulan sudah meminta kita untuk keluar. Jika di tempat kerja harus professional. Tidak ada hubungan yang lebih dari seorang atasan dan bawahan. Jangan cari masalah lagi. Lebih baik keluar dengan harga diri sebelum diusir oleh satpam."
Deva akhirnya mau untuk keluar dari ruangan Bulan. Meski dengan raut wajah yang kesal dan masih berharap untuk di ruangan itu sampai Bulan mau memaafkannya.
"Maaf, Bu. Kami mengganggu. Permisi," kata Dinda sambil menutup perlahan pintu ruangan Bulan.
"Apa yang kau lakukan? Kenapa kau menarik aku pergi dari ruangannya?" tanya Deva ketika dibawa keluar oleh Dinda.
"Kita sudah berbuat kesalahan. Siapa yang menduga dia akan datang hari ini? Jangan cari gara-gara dengannya. Kita masih bawahannya. Ia bisa gunakan jabatannya untuk menyingkirkan kita. Jika kita ketahuan bermain di belakangnya. Pikirkan itu matang-matang. Emosimu tidak akan membawa perubahan apapun."
"Tapi dia akan marah denganku. Bagaimana aku harus menjelaskan padanya?"
"Tunggu saja waktunya. Aku mengenal Bulan. Dia tidak akan marah dalam waktu yang lama. Tunggu saja sampai emosinya mereda. Ia tentu sedang syok sekarang. Makanya bersikap agak keras."
"Baiklah kalau begitu. Aku mengikuti saranmu kali ini."
Mereka berdua kemudian kembali menuju mejanya masing-masing. Sementara Bulan masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Pacar dan temannya sendiri sedang berduaan di dalam ruangannya. Terkesan sedang ada sesuatu di antara mereka berdua. Bulan mencoba memalingkan pikirannya dari kejadian barusan. Ia mencoba duduk menenangkan dirinya.
Membuka dan menghidupkan layar laptopnya untuk memulai bekerja. Ia berusaha untuk berhenti memikirkan hal tersebut. Mengingatnya hanya akan menambah rasa sakit dalam hatinya. Sekeras ia berusaha, semakin susah pula ingatan itu hilang dari benaknya. Ia tetap memikirkan kejadian tersebut. Barulah ketika ada sebuah panggilan masuk memecah sedikit konsentrasinya memikirkan masalah.
[Selamat siang, apa benar ini dengan ibu Bulan?] tanya seorang wanita yang menghubungi Bulan.
[Iya, benar saya sendiri. Ada apa ya?]
[Kami dari pihak rumah sakit tempat ibu berobat kemarin. Kami ingin menginformasikan untuk control rutin setiap satu atau dua minggu sekali. Hal ini atas permintaan dokter yang menangani ibu. Apa bersedia untuk melakukan pemeriksaan rutinnya, Bu?]
[Memangnya jika saya rutin diperiksa dan menjalani pengobatan. Saya akan sembuh? Jika iya, saya mau melakukan kontrol Kesehatan sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Tapi kalau tidak juga sembuh. Kira-kira untuk apa saya melakukannya?]
[Untuk masalah itu, Ibu bisa langsung konsultasikan kepada tim dokter kami. Kami hanya ditugaskan untuk menyampaikan informasi ini. Jika ibu bersedia maka jadwal pemeriksaannya akan dilakukan minggu depan pada hari sabtu. Ibu langsung datang ke rumah sakit. Apa bisa dimengerti informasi yang kami sampaikan?]
[Iya, biar saya pertimbangkan saja dulu. Nanti jika saya berubah pikiran. Saya akan ke sana untuk memeriksa kondisi saya.}
[Baik, mohon maaf mengganggu waktunya, Bu. Selamat siang.]
Bersambung