"Mom, setelah ini apa yang harus aku lakukan terhadap gadis itu?"
Erlan mengernyitkan dahi, menatap dengan saksama perempuan di hadapannya.
Baru saja Carlis terlihat begitu tegar ketika berhadapan dengan Clara, kini keadaannya malah sebaliknya.
"Lakukan apa yang ingin kamu lakukan, yang jelas jangan buat wanita itu bahagia," tutur Carlis dengan sorot matanya yang tajam.
"Sedikitpun aku tidak boleh memberinya bahagia?"
"Ya. Bahkan sedikit senyum pun, jangan!"
Erlan terus memperhatikan kedua bola mata ibunya, terdapat beberapa bercak air yang ia tahan agar tidak keluar.
Ia sangat mengerti wanita itu tidak sepenuhnya mengatakan itu semua.
"Mommy yakin?"
Carlis tidak menjawab.
Pertanyaan itu seolah menjadi kalimat yang tidak ingin Carlis dengar. Ia sebenarnya bukanlah wanita jahat, tidak dapat dipungkiri ia juga memiliki hati seorang ibu.
Dendam yang selama ini ia berusaha jinakkan, tiba-tiba mengalir begitu saja. Hingga menumbuhkan daging kebencian di dalam hatinya.
"Kenapa kamu tanya seperti itu? Apa kau mulai mencintainya?" tanya Carlis kepada putra semata wayangnya.
"Tidak, Mom. Hanya saja Erlan takut hati nurani Mommy berkata lain."
Erlan kembali melempar tatapan ragu kepada mommy-nya, wanita di hadapannya itu ia sudah lama mengenalnya. Tentang perasaan dan hati Carlis, justru Erlan lebih mengetahui daripada dirinya sendiri.
"Wanita itu adalah anak dari seorang pembunuh. Karena kebaikan hatiku mengakibatkan orang tidak tahu diri seperti ayahnya bisa masuk ke keluarga ini. Aku selalu mengingat bagaimana detik-detik nyawa menantuku terenggut, cucuku yang bertahun-tahun nyawanya tergadaikan, hidup tapi mati, aku tidak akan pernah lupa. Lalu, masih pantaskah kita memberi hati kepada keturunan pengkhianat sepertinya? Jika kebaikan telah membuat keluarga kita hancur, lantas apa masih bisa kita mempertahankan kebaikan itu?"
Erlan terdiam, sambil menggenggam erat masing-masing kelima jarinya. Penuturan Carlis sekaligus membuat laki-laki itu semakin membuka luka lama yang belum kering.
"Mommy benar, sampai kapan pun gadis itu tidak akan mampu mengganti rugi penderitaan yang sudah kita alami. Bahkan kalau perlu, nyawa harus dibayar dengan nyawa!"
Erlan mengeratkan rahang, kedua sorot matanya memancarkan kebencian mendalam pada wanita yang saat ini telah menjadi istrinya.
"Tidak perlu, jangan gegabah. Bermain-main dengannya lebih menyenangkan daripada langsung merenggut nyawanya," ucap Carlis dengan tatapan kosong. Kemudian menarik ujung sudut bibirnya, tersenyum layak seorang iblis.
"Baiklah, Mom. Semua keputusan berada di tangan Mommy. Tapi, soal pelayan itu, apa Mommy yakin dia tidak akan berkhianat?"
"Tidak akan. Selama ini dia selalu berada di pihak kita, lagipula dia juga pelayan setia almarhumah istrimu, mustahil jika ia akan membela wanita itu," jawab Carlis dengan yakin.
Kedua alis Carlis terpaut sempurna, benar-benar terlihat sangat percaya dengan keyakinannya.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" tanya Carlis.
"Tidak, Mom. Hanya saja Erlan takut kalau pelayan itu akan menggagalkan rencana kita. Jika kedepannya akan menjadi penghalang, bisakah aku menyingkirkannya?"
Seperti biasa, Erlan tidak akan berbuat jauh kalau tidak mendapat persetujuan mommynya.
"Tidak perlu, pelayan itu tidak punya salah terhadap kita," jawab Carlis. Ia tidak ingin anaknya berbuat terlalu jauh.
Meskipun Carlis adalah otak dibalik misi pembalasan dendam, namun ia pantang menyakiti jika tidak disakiti.
"Baiklah, Mom."
Erlan pergi meninggalkan Carlis yang masih duduk di meja makan. Sudah cukup ia mengajukan banyak pertanyaan untuk meyakinkan dirinya sendiri mengenai keputusan Carlis perihal Clara.
Di satu sisi sebenarnya keluarga mereka bukanlah keluarga jahat, di sisi lain, perasaan dendam telah menguasai hati mereka. Lebih sederhananya lagi, mereka hanya ingin keadilan. Mencari keadilan untuk membayar penderitaan dan kehilangan yang selama ini mereka alami.
***
"Hei! Tenanglah, kamu tidak perlu takut. Itu hanya jam biasa, bukan apa-apa."
Clara memegang erat kedua pundak Viola, berharap gadis itu bisa segera tenang.
Selepas itu ia segera mengambil segelas air putih, menyodorkannya, lalu membiarkan Viola meneguknya dengan pelan.
"Terimakasih, Nona," ucap Viola. Setelah minum beberapa tegukan, cukup membuatnya bisa bernapas tenang.
"Kenapa dengan jam itu? Kenapa kamu terlihat begitu ketakutan setelah mendengar denting jam ini?"
Rasa penasaran semakin membuncah setelah Clara melihat raut wajah yang ketakutan pada Viola, tidak hanya aneh, menurutnya Viola sangat misterius. Terlepas dari keyakinannya kalau ia pasti tau tentang rahasia keluarga Erlan, pasti ada hal lain yang sudah ia sembunyikan darinya.
"Saya hanya terkejut, Nona. Suara denting jam itu begitu keras," ucap Viola tenang tanpa mengurangi wajah takutnya.
Clara terdiam. Memaksa Viola untuk berbicara jujur sama saja menunggu daun segar layu.
"Baiklah, tidak apa-apa jika kamu tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Tapi kamu harus tau, aku adalah orang yang tepat jika kamu ingin berbagi cerita denganku."
Viola mengangguk pelan. Lalu segera menjaga jarak dengan Clara, kemudian bergegas melanjutkan mencuci sisa piring yang belum dibilas. Gadis itu sadar bahwa seseorang sedang memantau mereka dari kejauhan.
Sedangkan Clara, ia sadar bahwa ada sesuatu yang Viola sembunyikan darinya.
"Apa yang kalian bicarakan?"
Tanya Erlan mengagetkan Clara yang sedang memikirkan keanehan dalam diri Viola.
"Tidak ada, Tuan. Saya tadi hanya berusaha mengajari Nona bagaimana cara mencuci piring dengan baik dan benar."
Viola menundukkan kepalanya, diikuti dengan kedua tangan yang berhenti mempermainkan busa di antara beberapa piring.
"Oh, ternyata selama ini kamu tidak pernah melakukan pekerjaan berat, ya? Hidup seperti tuan putri, sampai mencuci piring saja harus diajari terlebih dahulu? Bahkan kau tidak lebih baik dari seorang pelayan," ucap Erlan berusaha merendahkan Clara dengan mulut tajamnya.
Tidak, kali ini Clara hanya diam. Seolah mengiyakan omongan suaminya. Jika bukan karena ingin melindungi Viola, pasti ia sudah beradu argumen dengan laki-laki di depannya.
Clara tetap berusaha bersikap tenang, menarik napas secara perlahan, lalu mengeluarkannya senada dengan pergerakan detak jantungnya. Ya, meskipun rasanya ia ingin mencakar habis wajah seseorang di hadapannya itu.
Melihat Clara yang tidak berkutik, Erlan melangkahkan kakinya mendekat ke arahnya. Mendekati daun telinga, lalu berbisik, ''Sayangnya kamu tidak akan menjadi tuan putri di rumah ini! Kasihan, malang sekali nasibmu Tuan Putri."
Terdengar begitu najis di telinga Clara.
"Tidak disangka, Tuan Erlan yang dihormati semua orang, ternyata bisa merendahkan perempuan dengan mulutnya sendiri." Gadis itu tersenyum ironi, tetap berusaha tenang di tengah emosinya yang kian memuncak.
"Kamu?!" Laki-laki itu mengangkat tangan kanannya ke atas, hanya selisih satu jengkal dengan wajah Clara.
"Kenapa berhenti? Tidakkah tamparan akan lebih baik dari sekedar kejulidan seorang Tuan Muda Erlan? Bukankah itu lebih terlihat gentle?" tanya gadis itu dengan nada menantang.
Clara menyatukan kedua alisnya, meskipun kedua kakinya terasa kram karena terlalu lama berdiri, ia tetap berusaha menahannya.
"Kau memang sangat lancang, perempuan gila. Cuihh!"